Masa Depan Kaum Tani dan Ketahanan Pangan

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Hari Pangan se-Dunia yang jatuh pada 14 Oktober 2009, bisa dijadikan sebagai pelecut semangat untuk berupaya mempertahankan ketahanan pangan nasional. Sebagai bangsa agraris, Indonesia termasuk salah satu negara yang mempunyai potensi dan pengembangan produksi beras cukup besar. Itulah sebabnya, Indonesia perlu mencanangkan tanggap akan bencana yang akan menimpa dikemudian hari, termasuk krisis pangan itu sendiri.

Jika krisis pangan melanda bangsa Indonesia, maka bisa dipastikan kaum tani akan merasakan langsung dampak yang akan terjadi. Namun, yang perlu kita sadari, bahwa bencana kemanusiaan yang dihadapi kaum petani, tidak bisa lepas dari proses penyingkiran secara sistematik petani kecil sebagai produsen pangan. Proses peminggiran ini, merupakan akibat kekalahan petani kecil dan konsumen dalam perebutan kebijakan pangan yang memihak pada Perusahaan Transnasional (TNC) bidang Agribisnis.

Menurut Isabelle Delforge (2003), dalam ”Dusta Industri Pangan”, kekalahan petani kecil tersebut terjadi di berbagai sektor dan tingkatan. Sesungguhnya, bencana tersebut telah terjadi sejak peradaban manusia menerima keyakinan dan mitos bahwa ”efficiency” sebagai satu-satunya prinsip dasar yang niscaya dipergunakan dalam pengelolaan lingkungan alam, ekonomi, dan hutan.

Apa yang dipaparkan Delforge di atas, secara tidak langsung telah menegaskan bahwa kaum tani selalu terpinggirkan akibat kebijakan-kebijakan yang menyudutkan, sehingga kaum tani semakin termarginalkan. Apalagi, ditambah dengan semakin gencarnya gerakan globalisasi dan liberalisasi perdagangan pangan yang dilandasakan pada kebijakan neoliberalisme. Maka, kesengsaraan petani pun akan terus menerus menjadi dilema bagi pembangunan nasional ke depan.

Sindrom Ketahanan Pangan

Dari cacatan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), jumlah penduduk bumi yang mengalami kelaparan akut pada tahun ini berkisar pada angka 40 juta orang. Dengan demikian, total penduduk dunia yang kelaparan menjadi 963 juta orang dari sekitar 6,5 miliar penduduk dunia saat ini. Sungguh angka yang sangat tinggi, namun inilah fakta yang harus kita terima akibat bencana kemanusiaan ini (krisis pangan). (Kompas, 10 Desember 2008)

Itulah sebabnya, Direktur Jendral FAO, Jacques Diouf, meluncurkan suatu laporan tahunan soal kerawanan pangan dunia yang menyebutkan bahwa krisis pangan banyak dialami keluarga miskin, mereka yang tak punya lahan, dan perempuan Ibu rumah tangga. Dalai alphorn ”State of Foods Insecurity in World 2008”, Doug menyerukan negara-negara kaya agar menginvestasikan 30 miliar dollar AS per tahun dalam pertanian.

Meskipun produksi pangan dunia meningkat, melebihi pertumbuhan penduduk, namun kelaparan tetap saja terjadi. Ini terjadi bukan karena kelangkaan pangan, melainkan akibat kebijakan neoliberal bidang pangan di tingkat Internasional yang mengingkari kedaulatan dan hak dasar petani. Dulu, kita percaya bahwa pangan adalah Hak Asasi Manusia (HAM). Gizi pangan yang memadai merupakan hak dasar dan esensial bagi kehidupan, seperti dapat dilihat dalam Deklarasi HAM PBB ”The UN Declaration of Human Right dan The UN Covenant on Economic, Social and Cultural Rights”.

Deversifikasi Pangan dan Kesejahteraan Kaum Tani

Sebagai lembaga pangan, dinamika perubahan Bulog begitu sangat fundamental bagi eksistensi ketahanan pangan kita. Betapa tidak, sejak berganti nama menjadi BUMN, Bulog diharapkan mampu menopang keberlanjutan swasembada pangan, khususnya beras dalam mendorong kesejahteraan kaum petani. Itulah sebabnya, Bulog menjadi salah satu modal ekonomi yang paling menjanjikan untuk tetap mempertahankan stabilitas harga beras dan produksi lainnya.

Dalam konteks ini, setidak-tidaknya ada empat tugas publik yang tetap akan diemban oleh Bulog. Pertama, jaminan Harga Dasar Pembelian Pemerintah untuk Gabah (HDPP). Kedua, stabilisasi harga di pasar. Ketiga, konsistensi raskin bagi kaum pinggiran. Raskin adalah program perlindungan sosial (social protection program) yang ditujukan buat rumah tangga miskin (targeted food subsidy), umumnya mereka yang beresiko tinggi terhadap food insecurity. Keempat, sebagai cadangan atau stok pangan nasional.

Perubahan kelembagaan Bulog, bagi saya, menjadi momentum awal bagi kaum tani untuk tetap mempertahankan produktifitas beras. Itulah sebabnya, saya berkeyakinan bahwa ide tentang perubahan Bulog ini dapat membantu kesejahteraan kaum tani yang terlunta-linta akibat harga beras yang tidak stabil. Maka, sebagai lembaga pangan, Bulog mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk terus memantau perkembangan harga beras dunia, agar pemberdayaan terhadap kaum tani dapat direalisasikan.
Dari sekian komoditas yang menjadi fokus ketahanan pangan, peningkatan produksi beras merupakan prioritas utama yang perlu dikembangkan. Maka, rencana pemerintah untuk mengembangkan deversifikasi pangan sangat relevan bila dioptimalkan. Deversifikasi pangan di sini, bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras.

Menurut Deputi Menko Perekonomian, Bayu Krisnamurti, konsumsi beras masyarakat Indonesia relatif sangat tinggi dibandingkan dengan negara lain. Bahkan, Indonesia menempati urutan tertinggi sebagai negara yang mengkonsumsi beras. Maka tidak berlebihan, kalau deversifikasi pangan dalam konteks peningkatan produksi beras menjadi sebuah keniscayaan. (Kompas, 23/ 12/ 08).

Konsep ketahanan pangan sangat berbeda dengan konsep kedaulatan pangan. Menurut Albert Howard (1999), kedaulatan pangan adalah hak tiap orang, masyarakat, dan negara untuk mengakses, mengontrol aneka sumberdaya produktif serta menentukan dan mengendalikan sistem (produksi, distribusi, dan konsumsi) pangan sendiri sesuai dengan kondisi ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya khas masing-masing.

Berdasarkan konsep kedaulatan pangan di atas, maka untuk dapat mencapai kedaulatan pangan salah satu cara yang dipakai adalah dengan mengoptimalkan sumberdaya lokal, yaitu diversifikasi pangan. Dengan adanya diversifikasi pangan, maka kita tidak akan lagi tergantung pada beras.

Oleh sebab itulah, perlu diadakan kajian yang mendalam tentang feasibilitas dalam mewujudkan diversifikasi pangan, yaitu mencakup telaah tentang orientasi kebijakan pangan pemerintah beserta political will pemerintah, budaya masyarakat terhadap beras (mentality rice), kandungan gizi dari bahan pangan lain pengganti beras, serta berbagai hambatan dalam penerapan diversifikasi.

Pada titik inilah, deversifikasi pangan menjadi harapan bagi masa depan Bulog, agar tetap eksis dalam menjaga perkembangan harga dan ketahanan pangan nasional. Sebagai bagian dari masyarakat, saya mempunyai harapan bahwa Bulog nantinya bisa menjadi sentum ekonomi bangsa, khususnya masalah ketahanan pangan yang sangat vital bagi eksistensi kaum tani di masa depan.

Mohammad Takdir Ilahi,
(Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta, Sedang Studi Perbandingan Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Alamat: Gg. Ori 02. No. 6-F Papringan Depok Sleman Yogyakarta.

Komentar

Postingan Populer