Oleh. Mohammad Takdir Ilahi
Warisan cagar budaya yang mencerminkan kekayaan sejarah dan kreativitas anak bangsa, ternyata dihadapkan pada satu persoalan pelik yang mengancam kepunahan warisan lelulur kita. Ancaman kepunuhan itu akibat maraknya kebutuhan ruang dan penjualan sejumlah bangunan cagar budaya di berbagai daerah, khususnya di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Sebagai warisan sejarah, cagar budaya perlu dipelihara dan dilestarikan dengan penuh kepedulian dan perhatian secara sungguh-sungguh. Ini karena, cagar budaya merupakan warisan paling monumental yang memotret kekayaan budaya dan tradisi nenek moyang kita terdahulu guna memberikan secercah harapan bagi terciptanya bangunan kebudayaan dan peradaban bangsa yang cemerlang.
Komitmen dalam melestarikan warisan cagar budaya memang menuai banyak tantangan dan persoalan krusial yang cukup dilematis. Persoalan cagar budaya di Yogyakarta, misalnya, telah terdapat pemusnahan sejumlah bangunan cagar budaya untuk pemenuhan kebutuhan ruang, keperluan ekonomi, serta tidak ada kemampuan orang untuk merawatnya. Terjadinya pemusnahan itu akibat pemilik bangunan cagar budaya tidak bisa bertanggung jawab terhadap kelestariannya.
Sebagai contoh, di Kotagede terdapat sejumlah bangunan rumah yang merupakan bangunan-bangunan bersejarah sudah mulai dijual, sehingga cenderung akan direnovasi menjadi bangunan yang tidak sesuai aslinya. Pertimbangan modernisasi yang terjadi di Yogyakarta, membuat cagar budaya di daerah itu semakin hilang nilai otentiknya. Sejumlah bangunan masjid kuno, sekolah, dan bangunan tempat tinggal yang memiliki arsitektur asli yang mencerminkan warisan budaya telah kehilangan nilai historisnya.
Ada juga Plengkung gading, Masjid Perak, serta sejumlah bangunan di Pengok dan Kotagede, keberadaannya saat ini jauh dari arsitektur aslinya.
Tidak heran, bila Kepala Seksi Pelestarian Pemanfaatan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta (BP3Y) Tri Hartanto di Yogyakarta, pernah mengatakan bahwa pemerintah, DPRD, dan masyarakat perlu bersatu untuk melestarikan cagar budaya yang masih ada sehingga warisan budaya di Yogyakarta tidak hilang dan punah secara cuma-cuma.
Partisipasi Generasi Muda
Salah satu strategi alternatif untuk menghindari ancaman cagar budaya secara berkelanjutan adalah dengan mendorong generasi muda agar terlibat langsung dalam sosialisasi pelestarian berbagai bangunan cagar budaya yang dianggap memiliki nilai sejarah monumental. Keterlibatan dan partisipasi generasi muda dalam pelestarian cagar budaya sangat penting guna menumbuhkan kesadaran dan persaan memiliki agar terus menerus mensosialisasikan kepada masyarakat secara langsung. Sosialisasi tentang pelestarian cagar budaya ini bisa mendorong partisipasi masyarakat yang belum tahu tentang situs-situs yang bernilai sejarah sehingga mereka bisa memantau keberadaannya dan mencegah sebisa mungkin dari ancaman kepunahan dan pemusnahan.
Pada titik inilah, peran serta generasi muda sangat dibutuhkan dalam rangka mempelajari situs-situs bersejarah secara lebih mendalam. Apa yang dilakukan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Direktorat Nilai Sejarah, dengan menerbitkan buku-buku sejarah purbakala dan menggelar Lawatan Sejarah Nasional patut kita apresiasi. Mengingat penerbitan buku-buku sejarah itu bisa membangun kecintaan (nasionalisme) generasi muda terhadap sejarah dan budayanya.
Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik, bahwa sejarah bisa menuntun kita agar tidak menuju arah yang salah atau agar tidak mengulangi kesalahan. Seperti kata orang bijak mengatakan ”Kalau kau tidak tahu masa lalumu, maka jangan harapkan kau akan mampu bermimpi tentang masa depanmu”. Pernyataan Menbudpar itu, sesungguhnya mengingatkan kita agar tidak melupakan warisan monumental yang diproduksi sejarah dan kebudayaan nenek moyang kita, sehingga nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom values)dapat dipertahankan secara berkelanjutan.
Sebuah bangsa yang besar dapat dicitrakan dengan kekayaan sejarah dan budayanya. Dengan kata lain, kita akan bisa mengenal bangsa lain, apabila kita sudah mengenal dan memahami sejarah dan budayanya. Kita bisa mengambil contoh, Museum Manusia Purba Sangiran yang berada di kawasan perbukitan tandus yang terletak di perbatasan Kabupaten Sragen dan Karanganyar, Jawa Tengah.
Dalam berbagai penelitian ahli sejarah purbakala (geologi), Sangiran merupakan situs sangat monomental bagi sejarah geologi di Indonesia, karena menyangkut lapisan stratigrafi dari 2 juta sampai 200.000 tahun yang lalu. Cagar budaya itu merupakan data terpenting untuk mengungkapkan proses evolusi manusia purba, budaya, dan lingkungan yang melingkupinya.
Bahkan, UNESCO telah menetapkan Sangiran sebagai Warisan Budaya Dunia (World Culture Heritage) sejak tahun 1996. Walau sudah 12 tahun berjalan, barangkali belum banyak generasi muda yang tahu, dan ironisnya, masyarakat setempat tidak tahu akan itu. Itulah sebabnya, keterlibatan generasi dalam pemeliharaan situs-situs sejarah sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat agar tidak semena-mena membongkar atau memusnahkan warisan cagar budaya tersebut.
Jika masyarakat sudah mengenal situs-situs bersejarah itu, saya yakin bahwa ancaman kepunahan cagar budaya bisa dikendalikan. Dengan cacatan, kita tetap berkomitmen untuk menyelamatkan warisan leluhur nenek moyang kita tanpa ada intervensi dari pihak lain yang berkehendak untuk memusnahkan berbagai situs sejarah di Indonesia.
Mohammad Takdir Ilahi, (Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta, Sedang Studi Perbandingan Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Warisan cagar budaya yang mencerminkan kekayaan sejarah dan kreativitas anak bangsa, ternyata dihadapkan pada satu persoalan pelik yang mengancam kepunahan warisan lelulur kita. Ancaman kepunuhan itu akibat maraknya kebutuhan ruang dan penjualan sejumlah bangunan cagar budaya di berbagai daerah, khususnya di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Sebagai warisan sejarah, cagar budaya perlu dipelihara dan dilestarikan dengan penuh kepedulian dan perhatian secara sungguh-sungguh. Ini karena, cagar budaya merupakan warisan paling monumental yang memotret kekayaan budaya dan tradisi nenek moyang kita terdahulu guna memberikan secercah harapan bagi terciptanya bangunan kebudayaan dan peradaban bangsa yang cemerlang.
Komitmen dalam melestarikan warisan cagar budaya memang menuai banyak tantangan dan persoalan krusial yang cukup dilematis. Persoalan cagar budaya di Yogyakarta, misalnya, telah terdapat pemusnahan sejumlah bangunan cagar budaya untuk pemenuhan kebutuhan ruang, keperluan ekonomi, serta tidak ada kemampuan orang untuk merawatnya. Terjadinya pemusnahan itu akibat pemilik bangunan cagar budaya tidak bisa bertanggung jawab terhadap kelestariannya.
Sebagai contoh, di Kotagede terdapat sejumlah bangunan rumah yang merupakan bangunan-bangunan bersejarah sudah mulai dijual, sehingga cenderung akan direnovasi menjadi bangunan yang tidak sesuai aslinya. Pertimbangan modernisasi yang terjadi di Yogyakarta, membuat cagar budaya di daerah itu semakin hilang nilai otentiknya. Sejumlah bangunan masjid kuno, sekolah, dan bangunan tempat tinggal yang memiliki arsitektur asli yang mencerminkan warisan budaya telah kehilangan nilai historisnya.
Ada juga Plengkung gading, Masjid Perak, serta sejumlah bangunan di Pengok dan Kotagede, keberadaannya saat ini jauh dari arsitektur aslinya.
Tidak heran, bila Kepala Seksi Pelestarian Pemanfaatan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta (BP3Y) Tri Hartanto di Yogyakarta, pernah mengatakan bahwa pemerintah, DPRD, dan masyarakat perlu bersatu untuk melestarikan cagar budaya yang masih ada sehingga warisan budaya di Yogyakarta tidak hilang dan punah secara cuma-cuma.
Partisipasi Generasi Muda
Salah satu strategi alternatif untuk menghindari ancaman cagar budaya secara berkelanjutan adalah dengan mendorong generasi muda agar terlibat langsung dalam sosialisasi pelestarian berbagai bangunan cagar budaya yang dianggap memiliki nilai sejarah monumental. Keterlibatan dan partisipasi generasi muda dalam pelestarian cagar budaya sangat penting guna menumbuhkan kesadaran dan persaan memiliki agar terus menerus mensosialisasikan kepada masyarakat secara langsung. Sosialisasi tentang pelestarian cagar budaya ini bisa mendorong partisipasi masyarakat yang belum tahu tentang situs-situs yang bernilai sejarah sehingga mereka bisa memantau keberadaannya dan mencegah sebisa mungkin dari ancaman kepunahan dan pemusnahan.
Pada titik inilah, peran serta generasi muda sangat dibutuhkan dalam rangka mempelajari situs-situs bersejarah secara lebih mendalam. Apa yang dilakukan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Direktorat Nilai Sejarah, dengan menerbitkan buku-buku sejarah purbakala dan menggelar Lawatan Sejarah Nasional patut kita apresiasi. Mengingat penerbitan buku-buku sejarah itu bisa membangun kecintaan (nasionalisme) generasi muda terhadap sejarah dan budayanya.
Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik, bahwa sejarah bisa menuntun kita agar tidak menuju arah yang salah atau agar tidak mengulangi kesalahan. Seperti kata orang bijak mengatakan ”Kalau kau tidak tahu masa lalumu, maka jangan harapkan kau akan mampu bermimpi tentang masa depanmu”. Pernyataan Menbudpar itu, sesungguhnya mengingatkan kita agar tidak melupakan warisan monumental yang diproduksi sejarah dan kebudayaan nenek moyang kita, sehingga nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom values)dapat dipertahankan secara berkelanjutan.
Sebuah bangsa yang besar dapat dicitrakan dengan kekayaan sejarah dan budayanya. Dengan kata lain, kita akan bisa mengenal bangsa lain, apabila kita sudah mengenal dan memahami sejarah dan budayanya. Kita bisa mengambil contoh, Museum Manusia Purba Sangiran yang berada di kawasan perbukitan tandus yang terletak di perbatasan Kabupaten Sragen dan Karanganyar, Jawa Tengah.
Dalam berbagai penelitian ahli sejarah purbakala (geologi), Sangiran merupakan situs sangat monomental bagi sejarah geologi di Indonesia, karena menyangkut lapisan stratigrafi dari 2 juta sampai 200.000 tahun yang lalu. Cagar budaya itu merupakan data terpenting untuk mengungkapkan proses evolusi manusia purba, budaya, dan lingkungan yang melingkupinya.
Bahkan, UNESCO telah menetapkan Sangiran sebagai Warisan Budaya Dunia (World Culture Heritage) sejak tahun 1996. Walau sudah 12 tahun berjalan, barangkali belum banyak generasi muda yang tahu, dan ironisnya, masyarakat setempat tidak tahu akan itu. Itulah sebabnya, keterlibatan generasi dalam pemeliharaan situs-situs sejarah sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat agar tidak semena-mena membongkar atau memusnahkan warisan cagar budaya tersebut.
Jika masyarakat sudah mengenal situs-situs bersejarah itu, saya yakin bahwa ancaman kepunahan cagar budaya bisa dikendalikan. Dengan cacatan, kita tetap berkomitmen untuk menyelamatkan warisan leluhur nenek moyang kita tanpa ada intervensi dari pihak lain yang berkehendak untuk memusnahkan berbagai situs sejarah di Indonesia.
Mohammad Takdir Ilahi, (Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta, Sedang Studi Perbandingan Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Komentar
Posting Komentar
isilah komentar tentang blog saya