Menghapus Trauma Loss Generation

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Kita perlu merefleksikan potret anak Indonesia yang kian hari terpental oleh jebakan budaya modern yang membelenggunya. Dengan kata lain, potret anak muda Indonesia tengah menghadapi sindrom split personality (kepribadian terpecah), akibat perilaku dan tindakan mereka yang tidak memiliki mental baja dalam menghadapi setiap persoalan yang muncul, sehingga menjadi ancaman serius bagi masa depan Indonesia ke depan. Padahal, sebagai generasi penerus kaum tua, anak muda Indonesia diharapkan menjadi pelipur lara dan pengobat dahaga atas persoalan krusial yang menimpa bangsa kita.
Kini, generasi penerus itu seolah-olah terbenam dan terkapar oleh perilakunya sendiri yang tidak menunjukkan sebagai generasi “bermental baja”. Generasi yang “bermental baja”, seharusnya tidak mudah terjebak oleh kebudayaan popular (populer culture) dan gaya hidup (life style) yang berhaluan hedonis dan konsumeris. Apalagi sampai terpengaruh oleh kebebasan seks (free sex) dan narkotika.
Problem krusial yang dihadapi anak muda Indonesia, akan semakin berat jika kita tidak kembali pada prinsip awal, yakni ajaran moral dan agama. Pengaruh globalisasi yang meracuni anak muda Indonesia, tentu menjadi dilema tersendiri bagi masa depan bangsa ke depan. Itulah sebabnya, anak perlu dibekali dengan pegangan moral dan mental yang kuat agar bisa menghadapi segala tantangan yang semakin kompleks.

Bermental Hipokrit
Kalau boleh saya menggambarkan, bahwa potret anak muda saat ini sedang mengalami gelombang traumatis yang cukup pelik. Tantangan masa depan dan pengaruh budaya global akan semakin merongrong prinsip ideal dan identitas mereka ke arah kemunafikan menuju kehidupan tanpa tatanan nilai dan moral. Jika demikian halnya, apa yang akan terjadi dengan kualitas anak muda ke depan? Mungkinkah mereka bisa menempa dan menjaga dirinya dari kepungan maut yang bernama globalisasi? Jika tidak, maka masa depan bangsa akan hancur berantakan.
Pada titik inilah, potret anak muda Indonesia tidak lebih seperti katak dalam tempurung. Anak muda kita seolah-olah tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas, kemana mereka harus berjalan dan mengarungi kehidupan ini dengan segenap tantangannya. Seolah-olah hidup ini penuh dengan kegelapan, sedangkan pancaran sinar yang terang benderang sama sekali tidak bisa dirasakan. Yang terjadi malah mereka terjebak dengan identitas dan jati diri mereka sendiri.
Budayawan kenamaan Mochtar Lubis pernah mengkritisi mental manusia Indonesia (generasi muda) yang tergolong tidak nasionalistik, karena mempertahankan sikap-sikap buruknya. Diantara mental buruk yang melekat dalam diri anak muda adalah mental hipokrit, menerabas, dan lemah etos kerjanya. Mental hipokrit ini menggambarkan manusia palsu, munafik, bermuka dua, suka ambivalensi, dan berpribadi ganda atau “pecah” (split of personality).
Gambaran palsu dan munafik itu terbentuk dalam idiom tidak satunya kata dengan perbuatan, disparitasnya suara hati dengan realitas aksi-aksi, atau antara yang tampak sebagai produk aktifitas dengan hakikat kebenarannya terjadi paradoksal. Kelihatannya objektif, tapi kenyataannya disobjektif, tampak tersirat kebenaran, padahal tersimpan pesan penipuan dan kemunafikan.
Apa yang terjadi dalam jiwa anak muda, semoga tidak menjalar kepada para elit politik kita di parlemen. Dampaknya akan semakin luas, jika yang terjadi pada anak muda sebagai penerus estafet kepemimpinan dipraktekkan secara transparan oleh wakil rakyat. Hal ini menggambarkan bahwa mental manusia Indonesia saat ini benar-benar rapuh dan ambivalen. Apalagi, jika anak muda yang bernama mahasiswa tidak segera dibina mental nasionalistik, maka saya khawatir Indonesia ke depan akan diisi oleh orang-orang munafik yang bermuka dua. Suka berjanji, tapi tidak pernah ada bukti dan implementasi.
Gambaran manusia Indonesia itu setidaknya sudah pernah kita rekam dalam sejarah pergumulan politik, budaya, hukum, dan pendidikan selama Indonesia dipegang rezim Orba. Di rezim ini, kita pernah dijebak dengan rezim kultur kekuasaan, birokrasi, dan politik yang serba palsu. Rakyat Indonesia dibuat pasif menikmati tontonan aktifitas segmen-segmen kekuasaan yang mengemas dirinya jadi pemarak praktik-praktik kamauflase, mengeksploitasi, dan mengeksplorasi kepalsuan. (Fani Tanuwijaya, 2006).

Trauma Loss Generation
Di masa reformasi ini, perilaku mengombar arogansi dan kesenangan jangan sampai ditiru oleh anak muda kita. Kita tidak bisa menyangkal, tidak sedikit kita temukan manusia-manusia dari golongan elit, pintar, dan berkuasa yang mengemas sikap arogansinya dengan cara-cara kepalsuan dan penipuan. Hal ini sangat memperihatinkan Cak Nur pada keadaan Indonesia yang dianggapnya telah tersungkur pada kondisi “soft state” (negeri lembek) yang diistilahkan Cak Nur sejak era 80-an lewat pikiran Karl Gunnar Myrdal (1898-1987).
Menurut Cak Nur, Indonesia adalah negeri lunak, yaitu negara yang pemerintahan dan warganya tidak memiliki ketegaran moral yang jelas, khususnya moral dan politik. Demikian pula dengan kualitas anak-anak muda Indonesia, yang diharapkan tidak kehilangan martabat dan mental serta etos yang kuat untuk membangun bangsa ini.
Ke depan, kita harus membangun mental generasi muda kita dengan cermin perilaku yang nasionalistik dan mendidik, agar jiwa-jiwa bermental palsu dan penipu tidak meracuni mereka. Mental-mental hipokrit inilah yang seharusnya kita hindari dan dihilangkan dari jiwa anak muda Indonesia, sehingga jiwa nasionalistiknya melekat dan menjiwai generasi era reformasi ini. Kita juga tidak menghendaki apa yang kita sebut sebagai “loss generation”, menimpa anak muda Indonesia yang menjadi harapan besar bangsa ini selanjutnya.
Bagi saya, loss generation merupakan ancaman serius bagi masa depan bangsa. Ini karena, ketika generasi kita kehilangan identitas dan jati dirinya, maka bangsa ini menjadi taruhan. Jika sampai terjadi, Indonesia akan berada pada posisi yang terombang-ambing dihantam badai kehancuran dan keterbelakangan dari bangsa lain.
Oleh karena itu, kita mendamba anak muda Indonesia yang bermental heroik dan revolusioner, sehingga memberikan pencerahan dan pendewasaan politik kepada elit politik kita yang bermuka dua, karena hanya mengandalkan janji, bukan aplikasi di lapangan. Generasi muda pada akhirnya akan menggantikan generasi tua yang sudah tidak memiliki kepekaan dan insting yang kuat untuk menciptaan gagasan brilian bagi kemajuan bangsa ke depan.


*Mohammad Takdir Ilahi,
Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta,
Alamat: Gg. Ori 02. No. 6-F Papringan Depok Sleman Yogyakarta.
Emael. tkdr_ilahi@yahoo.co.id.

Komentar