NU dan Ancaman Gerakan Radikal



Oleh. Mohammad Takdir Ilahi
 Di tengah merajelalanya gerakan radikal di bumi Nusantara ini, NU dinilai sebagai organisasi moderat yang cukup menjanjikan dalam mempertahankan tradisi keulamaan demi mengayomi kepentingan umat secara keseluruhan. Tradisi demokrasi ala NU tidak bisa disamakan dengan demokrasi partai politik yang terkesan terjebak pada politik uang dan nafsu kekuasaan. Tradisi NU tetap menjunjung tinggi penghormatan dan penghargaan terhadap ulama-ulama senior yang memiliki sikap tawadhu’ dan ikhlas. Sikap demikian ini patut diteladani dan diteruskan dalam tradisi NU oleh masyarakat secara luas, terutama para petinggi NU ke depan.
Tradisi demokrasi ala ahlussunnah wal jama’ah atau faham Islam moderat bisa memberikan bukti kepemimpinan yang ideal agar mereka mampu menjaga khittah NU 1926. Dalam tradisi kepemimpinan NU, jabatan itu bukan diminta, akan tetapi saling mempersilahkan. Begitulah tradisi Islam moderat ala NU yang sampai saat ini mengakar kuat di kalangan masyarakat Nahdliyin, yakni “al-muhafadhah ‘alal qadim as-shaleh wal-akhdzu alal jadid ash-lahah” (mempertahankan nilai-nilai lama yang masih relevan dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih relevan).
Di tengah usia NU yang ke-91, bagaimana masa depan NU dalam berkiprah di masyarakat yang semakin cerdas ini? Apa langkah strategis yang bisa dilakukan guna mengembalikan tradisi NU yang telah terjebak oleh politik praktis, lebih inklusif dan tetap memegang prinsip-prinsip ahlussunna wal jamaah? Kita harus menyadari, bahwa NU tidak mendukung sepenuhnya faham keagamaan yang bersifat liberal dan radikal serta mengandung unsur-unsur kekerasan, apalagi bila dikaitkan dengan isu terorisme.
Kedua faham itu tidak sesuai dengan faham ahlussunnah wal jama’ah dan dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dalam tradisi keulamaan. Kendati demikian, NU tidak lantas menolak adanya pembaruan pemikiran yang justru didorong agar terus maju dan mengembangkan gagasan keilmuaan yang lebih inklusif dan toleran. Bahkan, pada Muktamar 1984, NU menerima pancasila sebagai asas tunggal, karena dianggap tidak mengancam agama dalam kehidupan bernegara. Sementara ahlussunah wal jama’ah diletakkan sebagai keyakinan, yang bisa ditempatkan sebagai hubungan ideologis yang unik dan saling melengkapi (complementary).
Di tengah pertarungan ideologis itu, NU tetap konsisten dalam melakukan perubahan sikap dan pandangan dunia (world view) sebagai langkah strategis dalam menghadapi tantangan modernisasi. Daya dorong perubahan itu menurut Hiroko Horikoshi (1976) dalam “A Traditional Leader in a Time of Change”, berasal dari inti ajaran agama yang mengiringi interaksi yang panjang dengan modernisasi itu sendiri. Agar masa depan NU tidak suram dan stagnan, maka NU perlu menegaskan kembali makna khittah yang menghendaki keinginan kuat menjadi kekuatan civil society (masyarakat madani) untuk menghadapi hegemoni negara yang kian menantang. Jika NU tetap masih terlibat dalam politik praktis, saya yakin NU tidak bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi gempuran pragmatisme dan nafsu kekuasaan yang bisa membelenggu kehidupan masyarakat.
Saya memahami bahwa makna khittah harus dipahami sebagai sebuah jalan menuju garis awal yang telah ditetapkan oleh perintis NU sejak dulu. Dalam artian, khittah berperan mengembalikan jalan NU ke fungsi awalnya guna mengayomi kepentingan keummatan, bukan malah mengurusi masalah kekusaan di pemerintahan. Taruhlah kita bisa mencermati khittah NU tahun 1984 pada Muktamar di Situbondo yang kemudian diperjelas pada Muktamar di Krapyak tahun 1989, dimana hubungan NU dengan politik masih belum tuntas.
Menyadari hal itu, makna khittah jangan dijadikan alat untuk mengabaikan tradisi keulamaan NU yang telah melekat sejak lama. Langkah strategis guna mengembalikan NU pada garis awalnya adalah dengan memegang landasan nilai-nilai keagamaan yang tercermin dalam bingkai tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), dan tasamuh (toleransi). Sikap yang demikian ini, bisa membawa progresifitas NU pada satu titik kemajuan yang mencerahkan dan memberdayakan umat secara keseluruhan. 

Menjaga Persatuan Bangsa
Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, Islam NU telah banyak memberikan kontribusi signifikan bagi perjalanan bangsa ini menuju pintu kemerdekaan yang dicita-citakan seluruh masyarakat Indonesia. Sejak didirikan pada 1926, NU memainkan peranan penting bagi tercapainya kemerdekaan NKRI dan terus mengawal cita—cita luhur founding fathers kita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Di tengah tantangan globalisasi, NU diharapkan tetap menggerakkan umat pada jalan kehidupan yang lebih bermoral dan bermartabat demi menjaga kedaulatan NKRI dari segala ancaman. Apalagi NU memiliki modal sosial, kekuatan massa, dan basis dukungan yang kuat dalam membangun kesadaran keagamaan masyarakat untuk tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kemanusiaan dan semangat egalitarianisme yang mendorong terciptanya rasa keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh anak bangsa.
Basis dukungan yang kuat, membuat NU menjadi pengontrol utama perubahan dan perbaikan dalam orientasi keislaman maupun kebangsaan yang selama ini surut ditelan amukan globalisasi dan gerakan radikal yang bertubi-tubi menghantam keutuhan NKRI. Harus disadari memang, kalau NU bukan organisasi partai yang bergerak secara masif dalam mencari dukungan sebanyak mungkin, namun NU adalah organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang bertujuan mendorong terciptanya bangunan keumatan dan kebangsaan yang diberkati Tuhan.

Mohammad Takdir Ilahi, Dosen Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Sumenep, Madura dan Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga





Komentar