Menggugat Tirani Khadafi
Oleh. Mohammad Takdir Ilahi*
Gejolak politik di dunia Arab semakin memanas seiring dengan derasnya gelombang demonstrasi besar-besaran yang dilakukan rakyat sipil terhadap penguasa otoriter yang berkuasa puluhan tahun. Setelah Tunisia dan Mesir berhasil mencapai revolusi untuk menumbangkan rezim otoriter, kini gelombang demonstrasi terjadi di Libya yang menuntut mundur Moammar Khadafi dari tampuk kekuasaannya.
Sejak berkuasa tahun 1969, Khadafi seolah mendapat tekanan keras dari rakyat agar meletakkan jabatan yang dipegangnya selama hampir 42 tahun. Betapa tidak, sikap otoriter dan tindakan represifnya membuat rakyat merasa jenuh dengan kepemimpinan yang tidak membawa perubahan bagi masa depan rakyat Libya. Kendati Libya diberkati dengan sumberdaya alam, berupa minyak bumi yang melimpah, namun sebagian besar rakyat Libya, hidup dalam garis kemiskinan dan pengangguran.
Melihat realitas inilah, rakyat Libya terinspirasi dengan revolusi di Tunisia dan Mesir serta negara-negara lainnya untuk melakukan revolusi yang sama guna menumbangkan sebuah rezim diktator yang mengekang kebebasan dan demokrasi. Tidak heran bila aksi protes yang terjadi di Libya cukup mendapatkan perhatian dari dunia Internasional, karena telah menelan korban jiwa yang cukup banyak. Maka, kecaman dan desakan atas tindakan kekerasan aparat militer yang dikomandani Khadafi terus bermunculan guna mencegah munculnya korban yang lebih besar lagi.
Bagai saya, gerakan massa anti-rezim Khadafi merupakan bentuk protes terhadap kepemimpinan Khadafi yang dianggap mengekang kebebasan berpendapat rakyat sipil. Tidak heran bila aksi unjuk rasa anti-Khadafi di kota Benghazi, yang terletak tak jauh dari perbatasan Mesir, cukup layak disebut terinspirasi oleh revolusi rakyat di Mesir saat ini.
Kita sadari bahwa Libya secara historis tak terpisahkan dari perkembangan di Mesir. Khadafi, ketika melakukan kudeta terhadap Raja Idris tahun 1969, terinspirasi oleh aksi kudeta Gamal Abdel Nasser dan kawan-kawan terhadap Raja Farouk tahun 1952. Mereka menuntut hak rakyat Libya dapat mengungkapkan pendapatnya melalui aksi unjuk rasa damai tanpa ada ancaman kekerasan dari rezim.
Di tengah kekejaman rezim Khadafi, rakyat Libya juga menuntut dilakukan peralihan kekuasaan secara damai dalam upaya membawa ke arah menjadi negara yang terbuka dan pluralis serta menganut sistem multipartai. Tidak ayal bila rakyat berupaya mengambil alih kekuasaan dengan cara turun ke jalan dalam upaya menentukan masa depan politik, sosial, dan ekonomi mereka yang dirampas secara sepihak oleh rezim otoriter.
Kegagalan Sistem Politik
Kita sadari bersama bahwa konsep politik Khadafi tidak mengakui sistem partai multipartai. Bahkan, Khadafi melalui teorinya dalam ”buku hijau”, mengadopsi sistem kerakyatan dan negeri Libya disebut ”Republik Kerakyatan Libya”.
Barangkali ini merupakan bentuk kegagalan sistem politik yang diperkenalkan Khadafi sejak Maret 1977. Apalagi dengan derasnya gelombang demonstrasi yang menuntut mundur pemimpin kontroversial ini, maka semakin mempersulit posisi Khadafi dalam mempertahankan kekuasaan dan mengobarkan semangat revolusi al-fatih.
Dalam aksi demonstrasi yang berujung jatuhnya korban jiwa, rakyat Libya menghendaki perubahan secara total dalam sistem pemerintahan yang multipartai. Namun, kebengisan dan kekejaman rezim Khadafi telah membuat rakyat marah besar dan berani melawan sang diktator walaupun harus mengorbankan nyawa mereka.
Kita tahu bahwa sistem politik di Libya dikendalikan sepenuhnya oleh Khadafi bersama kroni-kroninya yang masih setia, sehingga sulit memunculkan gerakan pembaruan yang dapat menciptakan partai baru yang lebih terbuka dan demokratis. Kondisi yang memperihatinkan ini, barangkali ingin direformasi oleh rakyat Libya agar bisa menghirup udara kebebasan yang mengedepankan nilai-nilai demokrasi dalam membangun sistem pemerintahan yang humanis dan berbasis kerakyatan.
Sebuah pernyataan terkenal Khadafi yang disampaikan di kota tradisional al-Bayd dalam perayaan penarikan pasukan Inggris dari Libya, pada 8 April 1970, dengan jelas mengatakan bahwa “tidak harus ada partai, keanggotaan atau pemisah. Bahkan, pendukung afisiliasi harus dianggap sebagai pengkhianat karena menyebabkan perpecahan kesatuan nasional”.
Pernyataan Khadafi ini seolah mengisyaratkan bahwa sistem politik di Libya tidak boleh memunculkan sistem multipartai yang dianggap akan membahayakan tampuk kekuasaan Khadafi, sehingga rezim otoriter ini berupaya keras untuk menumpas munculnya afisiliasi politik yang mengganggu jalannya pemerintahan.
Tidak heran bila Mahmoud Ayoub (1991) dalam bukunya “Islam and Third Universal Theory”, mengatakan bahwa Khadafi merupakan pemimpin yang paling kontroversial saat ini. Bagi dunia Barat, nama Khadafi dengan Libya-nya, sangat identik dengan teroris dan pendukung gerakan separatis di negara-negara berkembang.
Namun menurut penguasa Arab konservatif, Khadafi dianggap sebagai komunis yang atheis, karena ide-ide, gagasan, dan pemikiran keagamaannya dianggap melenceng dari ajarang Islam. Bagi jutaan rakyat yang tertindas di Asia, Afrika, dan Amerika, Khadafi adalah seorang pahlawan, pemimpin revolusioner yang humanis yang berjuang melawan imprealisme Barat. Singkatnya, Khadafi adalah sosok yang dicintai, sekaligus dibenci, dipuji, dan dicaci.
Khadafi dan Pelanggaran HAM
Di tengah tuntutan revolusi yang semakin memanas, Khadafi terus menerus mengobarkan aksi kekerasan terhadap para demonstran yang terus menerus menyuarakan aspirasi mereka. Bahkan, Khadafi secara terbuka memerintahkan kepada militernya untuk membunuh secara massal para demonstran yang tidak mau membubarkan diri. Bagi saya, tindakan represif Khadafi boleh dibilang sebagai kejahatan kemanusiaan yang tidak beradab karena telah menganjurkan pembunuhan terhadap rakyatnya sendiri.
Itulah sebabnya, dunia Internasional perlu bersatu untuk menyuarakan penuntutan terhadap Khadafi agar dibawa ke Mahkamah Internasional yang telah melanggar HAM dan melakukan tindakan pembunuhan secara terbuka kepada rakyat Libya. Pendek kata, Khadafi harus bertanggung jawab atas jatuhnya korban jiwa yang diperkirakan telah mencapai 1.000 orang.
Dengan kata lain, Khadafi pantas diadili sebagai pemimpin diktator yang menyerukan aksi kekerasan tanpa mempertimbangkan semangat perdamaian dan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, karena apa yang dilakukan Khadafi sudah berada di luar batas kewajaran dan melanggar Deklarasi HAM yang memiliki spirit untuk memperjuangkan hak-hak dan keadilan bagi rakyat yang tertindas oleh rezim otoriter.
Mohammad Takdir Ilahi, Staf Riset The Mukti Ali Institute Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Alamat: Gg. Ori 02. No. 6-F Papringan Depok Sleman Yogyakarta. Emael. tkdr_ilahi@yahoo.co.id.
No.Hp 08179445575.
Gejolak politik di dunia Arab semakin memanas seiring dengan derasnya gelombang demonstrasi besar-besaran yang dilakukan rakyat sipil terhadap penguasa otoriter yang berkuasa puluhan tahun. Setelah Tunisia dan Mesir berhasil mencapai revolusi untuk menumbangkan rezim otoriter, kini gelombang demonstrasi terjadi di Libya yang menuntut mundur Moammar Khadafi dari tampuk kekuasaannya.
Sejak berkuasa tahun 1969, Khadafi seolah mendapat tekanan keras dari rakyat agar meletakkan jabatan yang dipegangnya selama hampir 42 tahun. Betapa tidak, sikap otoriter dan tindakan represifnya membuat rakyat merasa jenuh dengan kepemimpinan yang tidak membawa perubahan bagi masa depan rakyat Libya. Kendati Libya diberkati dengan sumberdaya alam, berupa minyak bumi yang melimpah, namun sebagian besar rakyat Libya, hidup dalam garis kemiskinan dan pengangguran.
Melihat realitas inilah, rakyat Libya terinspirasi dengan revolusi di Tunisia dan Mesir serta negara-negara lainnya untuk melakukan revolusi yang sama guna menumbangkan sebuah rezim diktator yang mengekang kebebasan dan demokrasi. Tidak heran bila aksi protes yang terjadi di Libya cukup mendapatkan perhatian dari dunia Internasional, karena telah menelan korban jiwa yang cukup banyak. Maka, kecaman dan desakan atas tindakan kekerasan aparat militer yang dikomandani Khadafi terus bermunculan guna mencegah munculnya korban yang lebih besar lagi.
Bagai saya, gerakan massa anti-rezim Khadafi merupakan bentuk protes terhadap kepemimpinan Khadafi yang dianggap mengekang kebebasan berpendapat rakyat sipil. Tidak heran bila aksi unjuk rasa anti-Khadafi di kota Benghazi, yang terletak tak jauh dari perbatasan Mesir, cukup layak disebut terinspirasi oleh revolusi rakyat di Mesir saat ini.
Kita sadari bahwa Libya secara historis tak terpisahkan dari perkembangan di Mesir. Khadafi, ketika melakukan kudeta terhadap Raja Idris tahun 1969, terinspirasi oleh aksi kudeta Gamal Abdel Nasser dan kawan-kawan terhadap Raja Farouk tahun 1952. Mereka menuntut hak rakyat Libya dapat mengungkapkan pendapatnya melalui aksi unjuk rasa damai tanpa ada ancaman kekerasan dari rezim.
Di tengah kekejaman rezim Khadafi, rakyat Libya juga menuntut dilakukan peralihan kekuasaan secara damai dalam upaya membawa ke arah menjadi negara yang terbuka dan pluralis serta menganut sistem multipartai. Tidak ayal bila rakyat berupaya mengambil alih kekuasaan dengan cara turun ke jalan dalam upaya menentukan masa depan politik, sosial, dan ekonomi mereka yang dirampas secara sepihak oleh rezim otoriter.
Kegagalan Sistem Politik
Kita sadari bersama bahwa konsep politik Khadafi tidak mengakui sistem partai multipartai. Bahkan, Khadafi melalui teorinya dalam ”buku hijau”, mengadopsi sistem kerakyatan dan negeri Libya disebut ”Republik Kerakyatan Libya”.
Barangkali ini merupakan bentuk kegagalan sistem politik yang diperkenalkan Khadafi sejak Maret 1977. Apalagi dengan derasnya gelombang demonstrasi yang menuntut mundur pemimpin kontroversial ini, maka semakin mempersulit posisi Khadafi dalam mempertahankan kekuasaan dan mengobarkan semangat revolusi al-fatih.
Dalam aksi demonstrasi yang berujung jatuhnya korban jiwa, rakyat Libya menghendaki perubahan secara total dalam sistem pemerintahan yang multipartai. Namun, kebengisan dan kekejaman rezim Khadafi telah membuat rakyat marah besar dan berani melawan sang diktator walaupun harus mengorbankan nyawa mereka.
Kita tahu bahwa sistem politik di Libya dikendalikan sepenuhnya oleh Khadafi bersama kroni-kroninya yang masih setia, sehingga sulit memunculkan gerakan pembaruan yang dapat menciptakan partai baru yang lebih terbuka dan demokratis. Kondisi yang memperihatinkan ini, barangkali ingin direformasi oleh rakyat Libya agar bisa menghirup udara kebebasan yang mengedepankan nilai-nilai demokrasi dalam membangun sistem pemerintahan yang humanis dan berbasis kerakyatan.
Sebuah pernyataan terkenal Khadafi yang disampaikan di kota tradisional al-Bayd dalam perayaan penarikan pasukan Inggris dari Libya, pada 8 April 1970, dengan jelas mengatakan bahwa “tidak harus ada partai, keanggotaan atau pemisah. Bahkan, pendukung afisiliasi harus dianggap sebagai pengkhianat karena menyebabkan perpecahan kesatuan nasional”.
Pernyataan Khadafi ini seolah mengisyaratkan bahwa sistem politik di Libya tidak boleh memunculkan sistem multipartai yang dianggap akan membahayakan tampuk kekuasaan Khadafi, sehingga rezim otoriter ini berupaya keras untuk menumpas munculnya afisiliasi politik yang mengganggu jalannya pemerintahan.
Tidak heran bila Mahmoud Ayoub (1991) dalam bukunya “Islam and Third Universal Theory”, mengatakan bahwa Khadafi merupakan pemimpin yang paling kontroversial saat ini. Bagi dunia Barat, nama Khadafi dengan Libya-nya, sangat identik dengan teroris dan pendukung gerakan separatis di negara-negara berkembang.
Namun menurut penguasa Arab konservatif, Khadafi dianggap sebagai komunis yang atheis, karena ide-ide, gagasan, dan pemikiran keagamaannya dianggap melenceng dari ajarang Islam. Bagi jutaan rakyat yang tertindas di Asia, Afrika, dan Amerika, Khadafi adalah seorang pahlawan, pemimpin revolusioner yang humanis yang berjuang melawan imprealisme Barat. Singkatnya, Khadafi adalah sosok yang dicintai, sekaligus dibenci, dipuji, dan dicaci.
Khadafi dan Pelanggaran HAM
Di tengah tuntutan revolusi yang semakin memanas, Khadafi terus menerus mengobarkan aksi kekerasan terhadap para demonstran yang terus menerus menyuarakan aspirasi mereka. Bahkan, Khadafi secara terbuka memerintahkan kepada militernya untuk membunuh secara massal para demonstran yang tidak mau membubarkan diri. Bagi saya, tindakan represif Khadafi boleh dibilang sebagai kejahatan kemanusiaan yang tidak beradab karena telah menganjurkan pembunuhan terhadap rakyatnya sendiri.
Itulah sebabnya, dunia Internasional perlu bersatu untuk menyuarakan penuntutan terhadap Khadafi agar dibawa ke Mahkamah Internasional yang telah melanggar HAM dan melakukan tindakan pembunuhan secara terbuka kepada rakyat Libya. Pendek kata, Khadafi harus bertanggung jawab atas jatuhnya korban jiwa yang diperkirakan telah mencapai 1.000 orang.
Dengan kata lain, Khadafi pantas diadili sebagai pemimpin diktator yang menyerukan aksi kekerasan tanpa mempertimbangkan semangat perdamaian dan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, karena apa yang dilakukan Khadafi sudah berada di luar batas kewajaran dan melanggar Deklarasi HAM yang memiliki spirit untuk memperjuangkan hak-hak dan keadilan bagi rakyat yang tertindas oleh rezim otoriter.
Mohammad Takdir Ilahi, Staf Riset The Mukti Ali Institute Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Alamat: Gg. Ori 02. No. 6-F Papringan Depok Sleman Yogyakarta. Emael. tkdr_ilahi@yahoo.co.id.
No.Hp 08179445575.
Komentar
Posting Komentar
isilah komentar tentang blog saya