Refleksi Nyepi dan Sikap Permissive Ummat Hindu

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Momentum Hari Nyepi yang jatuh pada setiap16 Maret, patut kita jadikan refleksi kritis guna membangun semangat persaudaraan dan menumbuhkan ikatan kemanusiaan antar sesama bangsa, terutama bagi penganut agama Hindu yang bersuka cita menyambut perayaan Nyepi sebagai hari paling monomental dalam perjalanan Hindu di Indonesia.
Sebagai hari bersejarah bagi ummat Hindu, Nyepi memiliki makna ritual khusus yang berbeda dengan ritual lainnya. Ini karena, perayaan Nyepi mengandung unsur-unsur kebaktian menuju titik kulminasi sang Brahma.

Dengan kata lain, kebaktian yang beriringan dengan hajatan ritual, memungkinkan ummat Hindu untuk mencapai moksa dan dharma. Dalam pandangan Sundarajan (2000), tingkah laku yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dharma hanya akan merintangi jalan seseorang menuju moksa, tetapi tingkah laku yang sesuai dengan dharma pun tidak dengan sendirinya mencapai moksa.

Itulah sebabnya, seseorang perlu melakukan disiplin pengetahuan (jana yoga), pemujaan (bhakti yoga), dan penyerahan diri (prapatti yoga). Pencapaian moksa dan dharma ini, pada gilirannya bisa memberikan jalan bagi manusia guna mengabdikan hidupnya pada Tuhan yang disembah, sehingga semakin mempermudah jalan menuju “nirwana”.

Dalam perspektif agama Hindu, ritual dalam perayaan Nyepi sering disebut dengan “Yadnya”. Istilah ini dimaknai sebagai suatu karya suci yang dilaksanakan dengan ikhlas karena getaran jiwa atau rohani dalam kehidupan berdasarkan dharma, sesuai ajaran sastra suci Hindu (Weda). Pendek kata, dalam “Yadnya” mengusung dharma atau pengabdian bagi terciptanya harmoni kemanusiaan dan keberagaman di antara kita semua.
Selain itu, “Yadnya” dapat diartikan memuja, menghormati, berkorban, mengabdi, berbuat baik (kebajikan), pemberian, dan penyerahan dengan penuh kerelaan (tulus ikhlas) berupa apa yang dimiliki demi kesejahteraan serta kesempurnaan hidup bersama dan kemahamuliaan Sang Hyang Widhi Wasa.

Pada titik inilah,“Yadnya” sebagai bagian dari ritual dalam perayaan Nyepi memiliki cakupan yang sangat luas terkait hubungannya dengan pelaksanaan dharma, bukan saja terbatas pada pelaksanaan “Panca Yadnya” atau pun pelaksanaan dari berbagai bentuk upacara-upacara yang menggunakan sarana ataupun yang tanpa menggunakan sarana.

Toleran dan Permissive

Dalam berbagai kajian Perbandingan Agama, saya mencoba menelisik sejauh mungkin sikap keberagamaan ummat Hindu bila bersentuhan dengan agama-agama lain. Saya sampai pada satu kesimpulan bahwa Hindu adalah satu-satunya agama yang mampu menipiskan ketegangan dan konflik antar agama.

Dalam konsep agama Hindu, penghargaan terhadap kemajemukan menjadi prioritas utama sebagai pelecut semangat untuk membangun perdamaian dan keharmonisan dengan agama-agama di berbagai belahan dunia. Tidak heran, bila dalam titik temu agama-agama, Hindu mampu tampil sebagai pelopor gagasan guna memberikan sumbangan pemikiran terhadap tegaknya semangat keberagaman di tengah derasnya arus pertikaian dan konflik antar agama.

Dalam konteks sejarah, agama Hindu mampu memberikan sumbangan penting terhadap pengembangan toleransi dan harmonisasi agama dengan menampailkan jargon “penghargaan terhadap kemajemukan. Jargon inilah yang menjadi pegangan bagi ummat Hindu untuk terus membangun komunikasi aktif dengan agama-agama lain yang saling berdampingan. Pendek kata, agama Hindu adalah agama yang berani menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang dimanifestasikan sebagai pondasi kesetiakawanan antara ummat manusia.

Di tengah momentum Nyepi ini, kita berupaya mengikat tali persaudaraan dan sejauh mungkin menghindari konflik-konflik yang kadangkala terjadi di antara beberapa kelompok etnis maupun agama. Itulah sebabnya, kita perlu belajar lebih jauh tentang sikap permissive ummat Hindu yang sangat inklusif menerima kehadiran agama lain di tengah-tengah komunitas mereka.

Saya memahami bahwa sikap toleran dan permissive ummat Hindu tidak lepas dari doktrin svadharma yang menjadi nilai epistemologi ajaran agama mereka. Toleransi terhadap keanekaragamaan juga dipandang sebagai salah satu dharma yang wajib dijunjung tinggi oleh seluruh komunitas ummat Hindu, apalagi bila menyambut Hari Nyepi yang sangat sakral ini.

Dua Model Dialog

Pada titik inilah, ada dua model dialog yang dikembangkan ummat Hindu dalam melakukan interaksi dengan agama lain di luar komunitas mereka. Pertama, model dialog yang disebut dengan “model menutup perbatasan”. Model dialog ini menunjukkan bahwa seseorang harus bisa memantapkan agamanya sendiri dan tidak mencoba menarik atau ditarik oleh agama-agama lain.

Kedua, model dialog yang kita kenal dengan “model melintas perbatasan”. Model dialog ini memberikan kita kesempatan untuk memajukan dan memperluas dialog antar agama. Hal ini merupakan bentuk yang lebih terbuka dan aktif serta berbeda dengan ciri isolasi yang dominan. Dengan kata lain, model dialog ini bisa menumbuhkan proses idegenisasi (pribumisasi) di mana tradisi Brahma mampu menyerap ke dalam diri manusia.

Pada akhirnya, dua model dialog itu mengajarkan kita pada beberapa pemahaman akan pentingnya sikap toleran dan permissive terhadap agama-agama lain. Model menutup perbatasan (closed-border) memberikan sumbangan berharga karena menetapkan perlunya mengikuti jalan sendiri dan melaksanakan tugas serta kewajiban dengan penuh hidmat.
Sementara, model melintas perbatasan (open-border) mengajarkan kita bahwa jika jika kita tidak melangkah ke luar dari wilayah yang kita miliki, maka kita tidak bisa melakukan suatu dialog agama yang bermakna dan kontekstual.

Itulah sebabnya, sikap inklusifitas yang ditunjukkan dalam tradisi Hindu bisa memperluas dan memajukan dialog antar agama sehingga makna Nyepi yang kita rayakan ini menemukan relevansinya terhadap interaksi dengan agama-agama lain.

Komentar