Ironi Kredibilitas Hakim

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Tertangkapnya sejumlah hakim yang diduga terlibat tindak pidana korupsi memperlihatkan lemahnya pengawasan internal hakim yang dilakukan Mahkamah Agung. Selain itu, pengawasan eksternal yang merupakan kewenangan Komisi Yudisial dinilai belum optimal. Hal ini juga tecermin dari ditangkapnya hakim Syarifuddin oleh KPK karena dugaan menerima suap.

Saya ingin mengatakan bahwa lembaga peradilan negeri telah terbuai oleh iming-iming pragmatisme politis yang berujung pada skandal suap maupun korupsi di kalangan pejabat negara. Lembaga peradilan yang seharusnya menjadi tameng bagi tercipta penegakan hukum secara transparan, ternyata dikibuli oleh rekayasa mafia peradilan yang semakin marak terjadi. Selain itu, penegak hukum juga banyak menopang rekayasa politik yang bernuansa iluminatif dan imajinatif, karena oknum yang terlibat di dalamnya melakukan dengan jalan ekslusif.

Sudah saatnya peradilan hukum di Indonesia melakukan perbaikan dan reformasi secara total. Lembaga peradilan yang diharapkan menjadi pelindung dan benteng utama penegakan hukum, ternyata juga tidak lepas dari skandal suap maupun korupsi. Ketika KPK melakukan penangkapan terhadap salah penegak hukum, maka di situ kita bisa memastikan bahwa mafia peradilan di Indonesia sudah terbilang akut dan kronis.

Adanya rekayasa dalam penegakan hukum itu, semakin mencerminkan potret buram masa depan peradilan di Indonesia. Kita bisa membayangkan bahwa seolah-olah mafia peradilan adalah sebagai cambuk yang dapat mematikan reputasi dan citra penegak hukum itu sendiri. Bagaimana mungkin rakyat akan percaya, jika kredibilitas dan integritas mereka dipertaruhkan oleh iming-iming uang yang hanya bersifat instan dan pragmatis. Apakah rakyat akan dijadikan korban dengan polemik besar yang melanda lembaga peradilan kita, atau seperti apa kelanjutan kisah ini?

Kalau kita bercermin pada pengalaman penegakan hukum Indonesia, ternyata mafia-mafia peradilan yang selama ini didengungkan oleh para peneliti antikorupsi, bukanlah isapan jempol belaka. Terungkapnya isi rekaman di MK semakin meneguhkan, bahwa mafia peradilan masih menjadi ancaman penegakan hukum. Bahwa yang kita dengungkan apa yang disebut mafia peradilan itu ternyata terbukti. Tidak heran bila Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H. dalam bukunya “Etika Profesi Hukum” (1997), mengatakan bahwa saat ini profesi hukum cenderung beralih kepada kegiatan bisnis dengan tujuan utama berapa yang harus dibayar, bukan apa yang harus dikerjakan.

Pertanyaaanya, bagaimana langkah kita menumpas mafia peradilan agar tidak terus menjadi phobia dan sindrom yang membayang-bayangi dunia hukum kita? Dalam analisis saya, setiap penyelesaian kasus hukum haruslah dilakukan dengan transparan dan tidak memandang siapa yang melakukan. Berawal dari transparansi ini, minimal kita bisa mencegah semakin maraknya mafia peradilan yang merongrong kredilitas dan integritas penegakan hukum di Indonesia.

Adanya praktik-praktik hukum semacam itu seolah memberikan pembenaran pernyataan Adi Andojo Sutjipto, mantan hakim Agung itu yang mengatakan, hakim tidak boleh berjiwa pamong, juga tidak boleh terkibat kasus atau skandal apa pun. Seorang hakim, mau tidak mau dia harus menerapkan hukum yang berlaku. Bukan hakim yang benar kalau dia ada jiwa pedagang (Forum Keadilan, No. 27, Januari 1991).

Oleh karena itu, penguatan sistim hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance. Jangan harap kita bisa menegakkan hukum, kalau elite di negeri ini masih terbuai oleh rayuan suap yang setiap saat menggelinding dan merasuk dalam denyut nadi pejabat hukum. Sementara, posisi dan peran hukum di Indonesia tengah berada pada titik nadir, karena hukum saat ini lebih dianggap sebagai komiditi daripada lembaga penegak keadilan.

Terlepas dari itu semua, maraknya skandal suap dan korupsi dalam lembaga peradilan kita, tidak bisa lepas dari dua faktor penting yang paling signifikan. Dua faktor ini, selalu menjadi persoalan akut yang belum bisa dipecahkan, karena memang muncul dalam jiwa yang terselubung dan sulit ditebak perkembangannya. Adakalanya, mengalami ketenangan dan kesembuhan, namun pada saat tertentu, mengalami kegoncangan dan kekalutan luar biasa. Inilah yang saya sebut sebagai faktor “moral” dan “mental”.

Pertama, kebobrokan moral yang masih belum terpecahkan. Moral dalam dimensi kepribadian manusia memiliki pengaruh yang sangat besar untuk membentuk karakter dan kedewasaan berpikir di setiap dimensi kehidupan. Jika dimensi moral tidak sepenuhnya dijadikan pedoman kehidupan, maka tidak menutup kemungkinan seseorang bisa saja melakukan suatu tindakan amoral yang bertentangan dengan hukum, bahkan lebih dari pada itu, tindakan yang dilakukan berbenturan dengan ajaran agama.

Kedua, faktor mental yang rapuh dan ambivalen, akibat para elite penegak hukum tidak memiliki nilai-nilai kesadaran (awareness values) sehingga mereka rela menyalahgunakan wewenang dan amanah dari rakyat. Para elite penegak hukum di neger ini masih mengalami kegoncangan jiwa atau istilah yang sering digunakan Abdul Aziz El-Qussy sebagai “sakit mental”. Pendek kata, kegoncangan jiwa yang melanda lembaga peradilan kita perlu disembuhkan terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan hukum agar kesehatan mental mereka bisa pulih kembali.

Menelisik skandal suap dan koruspi yang menimpa lembaga peradilan secara umum, tidak saja mempengaruhi citra mereka sebagai penegak hukum, tetapi juga berpotensi serius terhadap masa depan pembangunan bangsa ke depan. Tentu saja secara empiris, kita tidak hanya krisis finansial dan ekonmi rakyat yang kian terlunta-lunta, di samping itu, kita sedang mengalami krisis kepercayaan dan kepemimpinan.

Krisis kepercayaan dapat dipahami sebagai bentuk kegagalan penegak hukum dalam membina kader-kadernya yang memiliki kredibilitas dan integritas. Sebagai bentuk kegagalan, penegak hukum seharusnya memiliki kesadaran dan kedewasaan politik, bahwa dalam menegakkan keadilan yang benar dan sehat harus diimbangi dengan kemampuan membangun kepercayaan kepada publik. Ketika penegak hukum dan pejabat pengadilan lainnya terbentur oleh krisis kepercayaan, maka secara faktual mereka akan kehilangan nilai jual yang mengakibatkan citra dan reputasiya di pemerintahan, juga akan semakin terbenam.

Demikian juga dengan krisis kepemimpinan, dimana faktor yang paling dominan dari krisis ini adalah keteladanan para penegak hukum yang semakin suram dan tak terkendali. Lembaga peradilan yang seharusnya memberikan contoh yang mulia, ternyata di satu sisi, mereka mengalami stagnasi kepemimpinan. Pendek kata, kepemimpinan mereka sebagai penegak hukum tidak bisa dijadikan acuan fundamental untuk membawa perubahan dan kemajuan mendasar bagi masa depan rakyat.

*Mohammad Takdir Ilahi, Staf Riset The Mukti Ali Isntitute Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Komentar