Politik Jual Beli Pasal

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Pernyataan Mahfud MD tentang adanya praktek jual beli pasal menarik untuk dicermati. Kenapa demikian, karena pernyataan ini memunculkan reaksi keras dari kalangan DPR yang merasa terpojokkan dengan pengakuan Mahfud MD yang seolah menuduh pejabat negara di kalangan DPR telah melakukan politik dagang pasal dalam proses pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang (draf RUU). Tidak heran bila banyak dari anggota DPR merasa tersinggung dan geram dengan pernyataan Mahfud MD yang dinilai tidak bisa dibuktikan karena terkesan asal bicara.

Banyak pengamat mengatakan bahwa praktek jual beli memang sangat sulit dibuktikan. Apalagi kalau praktek yang bermuatan kepentingan ini dirancang dengan rapi sehingga tidak terkesan terdapat keganjalan dalam setiap proses pembahasan dan penetapan rancangan Undang-Undang. Pengamat parlemen dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Sebastian Salang menilai, praktik jual beli pasal dalam pembuatan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat bukanlah cerita baru. Praktek tersebut kerap terjadi namun memang sulit dibuktikan.

Sebastian mencontohkan, saat pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh di DPR. Saat itu, muncul selentingan yang menyebut bahwa telah beredar amplop di kalangan anggota dewan. Contoh paling vulgar, penghilangan ayat tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan. Cerita di balik itu, konon nilainya sangat besar. Ada yang diadukan ke Badan Kehormatan, tapi sampai sekarang sulit dibuktikan, ada transaksi
atau tidak. (Kompas, 19/11/2011).

Saya mencermati bahwa semakin besarnya politik kepentingan di kalangan DPR, maka semakin besar pula praktik uang yang dilakukan demi mendapatkan profit dan keuntungan semata. Adanya praktik jual beli pasal lebih tepat jika disebut sebagai beli kepentingan antara stake holder. Kendati praktik ini terkesan tertutupi, namun bisa sangat berbahaya dan berakibat fatal jika tidak segera dihentikan. Praktik semacam ini juga merupakan rangkaian dari merebaknya kasus suap yang menimpa pejabat tinggi negara belakangan ini. Itulah sebabnya, perlu ada penyelidikan lebih lanjut untuk membuktikan, apakah praktik ini memang telah mendarah daging sebagai politik kepentingan yang ampuh untuk mendapatkan keuntungan.

Kendati mendapat banyak kecaman dari sebagian anggota DPR, Mahfud MD tidak boleh sedikitpun gentar dengan reaksi keras yang berusaha menyerang balik. Apalagi, posisi
Mahfud MD sebagai ketua MK memiliki integritas dan kredibilitas di mata publik, sehingga publik pasti mendukung apa yang menjadi sikap dan pandangannya. Hal ini bisa kita lihat, bahwa Mahfud MD tak hanya sebagai pemimpin lembaga tinggi penguji undang-undang, tapi juga pernah berkiprah di DPR, tempat undang-undang dibuat.
Sebagai pemimpin tertinggi penguji undang-undang, Mahfud MD jelas mempunyai kualifikasi untuk membuat pernyataan seperti itu. Dari segi integritas, kualitas, dan kapasitas, semua orang mengakui kalau Mahfud MD memang sangat teruji, terutama sikapnya dalam menilai dan menghadapi setiap persoalan kebangsaan. Selain itu, ia juga dikenal sangat populis dan memiliki reputasi yang baik karena tidak mudah tersandera oleh kepentingan kekuasaan dan politik tertentu.

Bila dicermati, pernyataan Mahfud MD memiliki dasar yang kuat untuk dibuktikan di pengadilan. Dia mendasarkan dari pengalamannya yang mendapati banyak keganjilan berupa butir pasal, ayat, dan detail redaksional dalam draf RUU yang digugat banyak kalangan dan akhirnya harus diuji lagi oleh MK. Lembaganya mencatat sejak 2003 hingga 9 November 2011 ada 406 kali pengujian undang-undang dan 97 di antaranya dikabulkan karena inkonstitusional. Mahfud menilai buruknya legislasi ini terjadi karena ada praktik jual beli kepentingan dalam penyusunan regulasi negara.

Berdasarkan fakta-fakta di pengadilan, Mahfud MD menilai ada tiga sebab buruknya undang-undang. Pertama, ada tukar-menukar keinginan politik di antara para pemain politik DPR. Contohnya, dulu ketika konsep electoral treshold mau diubah ke parliamentary treshold, partai-partai kecil tak setuju. Kemudian terjadi kesepakatan, oke partai kecil setuju parliamentary asal boleh ikut pemilu lagi. Nah, itu melanggar konstitusi karena tidak adil. Karena banyak partai kecil yang tak bisa ikut pemilu karena tak punya kursi di DPR. Tukar-menukar seperti itu inkonstitusional, lalu kami batalkan. Sehingga semua partai boleh ikut pemilu.

Kedua,tidak profesional. Yang membuat undang-undangnya serampangan, tak punya naskah akademik, atau tidak paham Undang-Undang Dasar. Ketiga, yaitu jual-beli pasal, termasuk pelanggaran pidana. Jual-beli pasal ada fakta dan putusan pengadilan. Pengadilan Tipikor sudah menghukum lima pejabat BI dan tiga anggota DPR karena kasus undang-undang. Lalu, ada kasus dana abadi umat. Ada saksi di pengadilan yang mengatakan bahwa uang Rp 1,5 miliar itu untuk mengegolkan undang-undang wakaf.

Oleh karena itu, praktik jual beli pasal yang dilontarkan Mahfud MD harus dijadikan bahan pelajaran dan intropeksi diri dalam membersihkan lembaga-lembaga tinggi Negara dari praktik suap dan korupsi yang kian menggurita ke berbagai sektor kehidupan. Dalam membongkar praktik jual beli pasal, dibutuhkan modal keberanian untuk menindak pejabat negara yang melakukan lobi-lobi ilegal karena praktik semacam ini jelas merugikan negara dan rakyat.

Menyikapi polemik jual beli pasal, semua pihak perlu melakukan pengawasan secara intens, agar praktik ini tidak sampai menggurita dan mendarah daging. Di titik ini, pengawasan dalam penetapan rancangan undang-undang, harus kian dipertajam karena justru saat finalisasi draf hingga penentuan pasal-pasal inilah sebagai ajang perilaku korup para bakterian mewujudkan pesanannya. Jika tidak, perilaku korup pejabat di negeri tercinta ini, akan semakin merajalela sehingga pembahasan setiap undang-undang benar-benar memenuhi aspirasi dan amanah rakyat.

Mohammad Takdir Ilahi, Staf Riset The Mukti Ali Institute Yogyakarta.
Emael. tkdr_ilahi@yahoo.co.id.
No.Hp 08179445575.

Komentar