Syiah dan Ironi Negeri Toleran


Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Kekerasan atas nama keyakinan kembali bergolak. Bentrokan antara kelompok Syiah dan warga setempat di Karanggayam, Omben, Sampang merupakan potret buram kebebasan beragama di Indonesia. Sikap tidak menerima terhadap keberadaan faham dan keyakinan lain, menjadi pemicu terjadinya kekerasan yang berakibat pada perusakan dan pembakaran rumah warga Syiah serta bentrokan fisik yang berujung jatuhnya korban jiwa.
Munculnya ketegangan tersebut, semakin memunculkan konflik yang terbilang akut dan menjadi phobia bagi kedamaian hidup manusia. Betapa tidak, konflik yang berlarut-larut mengakibatkan semangat perdamaian dan kebebasan dalam spirit keberagamaan semakin sulit diwujudkan. Apalagi konflik itu terjadi dalam internal agama yang memiliki perbedaan faham dan keyakinan mengenai penafsiran ajaran agama tersebut yang dianggap bertentangan antara kelompok Syiah dan Sunni.
Berangkat dari kenyataan inilah, penyerangan terhadap sekelompok Syiah tidak bisa dibenarkan, apalagi dilakukan dengan menggunakan tindakan kekerasan yang berakibat jatuhnya korban jiwa. Kendati ajaran Syiah sudah difawa sesat dan merupakan aliran terlarang, akan tetapi pemaksaan terhadap keyakinan orang lain adalah suatu tindakan pelanggaraan HAM dan mengabaikan fitrah kemanusiaan kita.
Dalam konteks ini, setiap orang memiliki hak untuk menentukan kepercayaan dan keyakinan mereka masing-masing tanpa harus dipaksa untuk mengikuti faham orang lain. Dengan cacatan, aliran Syiah tidak menyebarluaskan secara terbuka keyakinan mereka yang dianggap sesat dan menyesatkan.
Penyerangan terhadap kelompok Syiah merupakan pelanggaran hak kebebasan beragama, suatu hak yang memungkinkan manusia untuk mengembangkan kepribadian intelektual, teologis, dan moralnya sendiri, menentukan sikapnya terhadap kekuatan-kekuatan alam dan supranatural, dan membentuk hubungannya dengan sesama makhluk.
Tidak heran bila pelanggaran atas hak ini menimbulkan tekanan yang menyakitkan pada kelompok Syiah, karena berkaitan dengan eksistensinya sebagai anak bangsa yang juga mempunyai hak untuk dapat dihidup dengan damai dan diberi kebebasan untuk memilih kepercayaan sesuai dengan kebenaran hatinya.
Apalagi, dalam konstitusi kita, jaminan anti-diskriminasi atas dasar agama dan kepercayaan sebenarnya cukup kuat. Pasal 28 (e), Ayat 1 dan 2 UUD 1945 menyebutkan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Pada ayat berikutnya, disebutkan bahwa ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.
Bahkan, kebebasan beragama ini pun, sudah ditegaskan dalam pasal 4 dan pasal 22 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia, dimana dikatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk memeluk agama yang diyakininya dan bebas beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu, bahkan ditegaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan untuk memeluk agama dan beribadat tersebut.
Apa yang ditegaskan oleh UUD 1945, sesungguhnya sudah sangat jelas bahwa setiap orang berhak memilih dan menentukan agama mana yang dianggap sesuai dengan hati nurani mereka masing-masing. Kita tidak punya hak untuk memaksakan keyakinan orang lain apalagi dilakukan dengan tindakan kekerasan yang sering dilakukan ummat Islam sendiri.

Perlindungan Hukum
Kita semakin bertanya-tanya, mengapa di negeri yang bebas ini, dimana keragaman dan kebebasan beragama dihormati, persoalan semacam ini dapat terjadi? Dimana aparat pemerintah kala itu? Diduga pada saat penyerbuan dan perusakan dilakukan, terjadi pembiaran oleh pihak aparat pemerintah, karena memang aparat kepolisiaan pada waktu itu jumlahnya tidak terlalu banyak.  
Saya memahami bahwa tindakan kekerasaan atas nama agama ini merupakan tindakan di luar batas kemanusiaan kita, karena apa pun alasannya, kita tidak berhak menghakimi keyakinan orang lain dengan cara kekerasan yang tidak dibenarkan dalam setiap ajaran agama. Yang memperihatinkan, terjadinya kekerasan ini seolah-olah dibiarkan begitu saja tanpa ada langkah-langkah pencegahan yang cepat. Padahal, sebelum bentrokan ini terjadi, aparat kepolisian sudah tahu bahwa memang ada perselisihan antara warga dengan kelompok Syiah . Lalu kenapa persoalan ini seolah diabaikan oleh aparat pemerintah sehingga menimbulkan kerugian dan kengerian di kalangan kelompok Syiah.
Kita memang menyadari bahwa aliran Syiah sudah difatwa sesat dan telah terjadi kesepakatan antara pemerintah dan pimpinan tokoh Syiah, Tajul Muluq yang harus dipatuhi. Namun, kebebasan mereka sebagai warga Indonesia juga harus diberi perlindungan hukum yang pasti sehingga mereka pun bisa menjalankan ajaran agama mereka dengan bebas tanpa pemaksaan dari keyakinan lain. Kita sudah faham, bahwa mereka dianggap sesat dan berbahaya, namun sejauh ini tampaknya mereka tidak merugikan siapapun, sebaliknya merekalah yang dirugikan dan diperkosa hak-haknya akibat penyerangan dan perusakan tempat-tempat ibadah mereka oleh sekelompok ormas yang tidak memiliki pemahaman tentang fitrah kebebasan beragama.
Sehubungan dengan makin maraknya kekerasan atas nama agama, aparat hukum harus bisa lebih tegas dalam menindak pelaku kekerasan yang seolah-olah dibiarkan tanpa pencegahan berarti. Namun yang terjadi, pemaksaan atas pengikut Syiah serta perusakan atas properti mereka, seringkali menimbulkan perpindahan mereka dari tempat asalnya.
Oleh karena itu, pemerintah dituntut bertanggung jawab terhadap jaminan kebebasan beragama sehingga kita bisa memastikan bahwa hukum dapat ditegakkan dan bukan hanya menjadi hiasan di atas kertas belaka. Dengan kata lain, semua warga negara diperintahkan untuk menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut aliran keagamaan yang dianggap bertentangan.

Mohammad Takdir Ilahi, Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Agama dan Filsafat UIN Sunana Kalijaga Yogyakarta




Komentar