The Power of Shariah Economic
Oleh. Mohammad Takdir Ilahi
Pendahuluan: Tantangan Ekonomi Syariah
Penerapan ekonomi syariah
dalam percaturan ekonomi global tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Tantangan ekonomi syariah akan semakin
besar seiring dengan gencarnya ekonomi neoliberal yang mencoba meruntuhkan
tatanan moral dalam melaksanakan aktifitas perekonomian. Tantangan ekonomi
syariah di era modern sekarang, lebih berat dibandingkan dengan pelaksanaan ekonomi
kapitalis dan sosialis di masa lampau.
Di tengah persaingan pasar,
ekonomi syariah memang menghadapi tantangan yang tak terbatas dan muncul dalam
segala arah. Tidak heran bila munculnya keinginan untuk mengembangkan ekonomi
syariah di kalangan intelektual muslim bukanlah hanya dikarenakan tuntutan
untuk menjalankan ajaran agama Islam secara komprehensif, tetapi juga dilandasi
keinginan untuk menciptakan sistem perekonomian yang lebih adil, sejahtera dan
berkemakmuran dari seluruh lapisan masyarakat dan diberkahi oleh Allah. Realitas menunjukkan bahwa sistem
ekonomi sosialis dan kapitalis telah memberikan begitu banyak kesulitan,
penderitaan dan ketidakadilan dalam tatanan sosial ekonomi masyarakat. Maka, ekonomi syariah harus
menjadi tameng dan pelopor gerakan melawan semangat kapitalisme yang bisa
menghancurkan tatanan masa depan perekonomian global.[1]
Sebagai bagian dari tuntutan
syariah, pengembangan ekonomi syariah memang tidak akan mudah cepat diterima
oleh masyarakat. Ini karena, ekonomi syariah merupakan sistem keuangan yang
dilandasi dengan aturan-aturan ketat dan tidak boleh menghalalkan sistem riba
sebagaimana yang sering terjadi dalam sistem ekonomi konvensional. Ekonomi syariah menuntun prilaku berekonomi agar
kita memperoleh falah dari
setiap aktifitas perekonomian yang dijalankan. Perilaku ini
terkait dengan landasan syariat sebagai rujukan moral dalam fitrahnya, yang
terbentuk dengan dasar nilai Ilahiyah.
Perbedaan mendasar ekonomi syariah dengan ekonomi konvensional (kapitalis
dan sosialis) terletak pada sumber utama prilaku dan infrastruktur ekonomi
syariah, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, yang bukan merupakan karya pakar ekonomi
Islam, namun pengetahuan langsung dari sang Maha Pencipta. Di sisi lain, sumber
pengetahuan ekonomi konvensional adalah intelegensi dan institusi akal manusia
melalui studi empiris. Perbedaan kedua, terletak pada motif prilaku itu
sendiri. Ekonomi syariah dibangun dan dikembangkan di atas nilai altruism, sedangkan
ekonomi konvensional berdasarkan nilai egoisme.
Dibandingkan dengan ekonomi konvensional, ekonomi syariah memang tidak
begitu mentereng dan menjual di tengah-tengah persaingan pasar yang begitu
ketat. Namun, ekonomi syariah memiliki keunggulan dari aspek prinsip-prinsip
dasar yang merupakan cermin ideal dalam melaksanakan aktifitas perekonomian,
yaitu hidup hemat dan tidak bermewah-mewahan, implementasi zakat,
penghapusan/pelarangan riba, gharar dan maisir, menjadi sistem
bagi hasil (profit-loss sharing) dengan instrumen mudharabah [2]dan musharakah[3] sebagai pengganti sistem kredit dan
bunganya[4] yang
membersihkan ekonomi dari segala prilaku buruk yang merusak sistem, seperti
menipu dan judi.
Pada perkembangan selanjutnya, ekonomi syariah berpotensi menggantikan
posisi ekonomi konvensional, namun dalam penerapannya banyak kendala dan
tantangan yang dihadapi. Diantara kendala itu adalah masih
diberlakukannya pajak ganda di perbankan syariah, belum siapnya dukungan SDM
ekonomi syariah, tidak ada kurikulum ekonomi syariah di sekolah umum, sehingga
pemahaman, kesadaran serta kepedulian masyarakat rendah, persepsi negatif
sekelompok muslim dan non-muslim yang takut mengaplikasikan hukum syariah
secara kafah. Selain itu,
belum kuatnya dukungan parpol Islam untuk menerapkan ekonomi syariah, kegairahan memperluas pasar
ekonomi syariah belum diikuti dengan edukasi yang memadai, dan mampukah
perbankan syariah memerankan fungsi intermediasi pemulihan ekonomi saat ini? Ekonomi syariah akan tegak bila
umatnya melaksanakan secara istiqomah. Ekonomi syariah bukanlah ancaman bagi
sistem ekonomi konvensional, melainkan hanya ingin memberikan warna baru dalam
dinamika perekonomian yang betul-betul mengayomi masyarakat dengan penuh
tanggung jawab dan berkeadilan tanpa harus mengorbankan peningkatan taraf
ekonomi masyarakat yang bersangkutan.
Peluang Ekonomi Syariah Di tengah
Persaingan Pasar
Di tengah persaingan ekonomi
yang semakin tajam, ekonomi syariah tentu akan menghadapi benturan-benturan
yang menghambat pengembangan bisnis Islam secara transparan dan akuntabel.
Derasnya benturan-benturan itu, patut diduga sebagai akibat dari mencuatnya
neoliberalisme[5]
yang bisa menghancurkan sendi-sendi ekonomi masyarakat secara keseluruhan.
Kehadiran ekonomi syariah di tengah-tengah bangsa Indonesia, seolah menjadi
angin segar bagi masyarakat yang sudah tidak tahan dengan hegemoni ekonomi
kapitalis yang sudah merongrong tatanan nilai ekonomi Indonesia secara
keseluruhan.
Ada banyak alasan kenapa
penulis begitu yakin dengan prospek ekonomi syariah untuk bersaing dengan
ekonomi konvensional. Pertama, respon masyarakat yang antusias dalam melakukan aktivitas ekonomi dengan
menggunakan prinsip-prinsip Islami. Kedua, kecenderungan yang positif
di sektor non-keuangan/ ekonomi, seperti sistem pendidikan, hukum dan lain
sebagainya yang menunjang pengembangan ekonomi Islam nasional. Ketiga,
pengembangan instrumen
keuangan Islam yang diharapkan akan semakin menarik investor/ pelaku bisnis
masuk dan membesarkan industri Bisnis Islam Nasional. Instrumen keuangan syariah bisa menjadi nilai tambah dalam melakukan
sosialisasi secara menyeluruh terhadap investor yang berminat untuk menunjang
perekonomian nasional.
Kemasan pengembangan ekonomi
syariah memang perlu digalakkan agar keberadaan bank-bank Islam tidak menjadi
sia-sia. Semakin gencarnya pengembangan ekonomi syariah secara tidak langsung
juga telah membawa perubahan dan kemajuan yang cukup signifikan bagi perguruan
tinggi untuk terus meningkatkan kualitas SDM-nya agar memiliki kecakapan dan
kematangan dalam bidang ekonomi syariah. Mengiringi kondisi obyektif tersebut,
perkembangan pemikiran di bidang ilmu ekonomi syariah menjadi gerakan
pembangunan SEI semakin terpacu dan tumbuh disertai faktor-faktor lain yang
mendahuluinya. Pertama, telah
terumuskanya konsep teoritis tentang Bank Islam pada tahun 1940-an. Kedua, lahirnya ide dan gagasan
mendirikan Bank Islam dalam Keputusan Konferensi Negara-negara Islam se- Dunia
bulan April 1968 di Kuala Lumpur. Ketiga,
lahirnya negara-negara Islam yang melimpah petro dolarnya. Maka, pendirian
bank Islam menjadi kenyataan dan dapat dilaksanakan tahun 1975.[6]
Kekuatan Ekonomi Syariah dalam Menghadapi Gejolak Krisis
Perbankan syariah
mulai bergerak maju untuk memberikan kontribusi positif bagi gejolak ekonomi
yang semakin menambah beban masyarakat secara luas. Kontribusi perbankan
syariah dalam menahan gejolak ekonomi tersebut patut diapresiasi, karena bank-bank
konvensional yang lain mulai keteteran dalam mengarungi percaturan ekonomi
global. Tidak heran
bila perkembangan perbankan syariah di Indonesia makin pesat dan berkembang
secara fantastis. Krisis keuagan global di satu sisi telah membawa hikmah bagi
perkembangan perbankan syariah. Hal ini dikarenakan masyarakat dunia, para
pakar dan pengambil kebijakan ekonomi, tidak saja melirik tetapi lebih dari itu
mereka ingin menerapkan konsep syariah ini secara serius. Di Indonesia, prospek
perbankan syariah makin cerah dan menjanjikan. Bank syariah di negeri ini,
diyakini akan terus tumbuh dan berkembang di masa depan. Perkembangan industri
lembaga syariah ini semakin menunjukkan keunggulannya dalam memperkuat
stabilitas sistem keuangan nasional. Apalagi dengan pertumbuhan industri yang
rata-rata mencapai 60% dalam lima tahun belakangan ini.
Berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah menunjukkan
bahwa bahwa perbankan syariah masih stabil dalam menghadapi gejolak krisis.
Sampai dengan periode Desember 2003, kredit macet (non-performing loan INPL) bank syariah hanya 2,34 % dibandingkan
total perbankan nasional yang masih mencapai 8,2 % meskipun kredit macetnya banyak
yang telah dialihkan pada BPPN. Sedangkan peranan bank syariah dalam mendorong
pertumbuhan sektor riil dapat terl ihat ratio pinjaman (loan to deposit ratio/LDR) sebesar 109,5 % dibandingkan total
perbankan nasional yang hanya 86,4 %.
Untuk
mencapai kehidupan bisnis yang sehat dan beretika, hanya satu solusinya yaitu
menerapkan sistem ekonomi syariah secara kaffah, dimulai dengan melahirkan Islamic Human Capital melalui lembaga pendidikan dan secara
simultan diikuti oleh kegiatan kehidupan lainnya. Keampuhan sistem ekonomi
syariah telah terbukti ketika krisis moneter tahun 1997, hanya Bisnis dan Bank
Tanpa Bunga yang dapat bertahan dan bahkan membukukan laba yang berlipat,
sementara Bisnis dan Bank konvensional terpuruk.
Keampuhan dan kekuatan sistem ekonomi syariah yang terbukti mampu
menahan gejolak ekonomi yang cukup dahsyat, membuat perbankan Islam semakin
percaya diri dalam mengelola keuangan berdasarkan prinsip-prinsip syariah dan
tidak menghalalkna riba sebagai bagian dari praktek bunga yang ada di dunia
perbankan nasional. Bukti keampuhan dan kekuatan ekonomi
syariah dalam menciptakan keseimbangan ekonomi di tengah-tengah persaingan
pasar, membuat ekonomi Indonesia semakin tertantang untuk bekerja keras dalam
memperbaiki kinerja dan pelayanan yang terbaik bagi para nasabah.
Kematangan
ekonomi syariah dalam menghadapi gejolak krisis yang begitu besar bisa menjadi
senjata ampuh untuk memulihkan perekonomian nasional. Kontribusi ekonomi
syariah bagi perekonomian nasional patut mendapatkan apresiasi yang luar biasa,
karena di tengah perbankan nasional mulai keteteran menghadapi gejolak krisis,
justru ekonomi syariah tetap bertahan di tengah gempuran resisi global yang
sangat mengancam stabilitas dalam negeri. Buktinya, pada sektor perbankan
syariah, meskipun krisis keuangan global masih terjadi namun perbankan syariah
masih dapat meningkatkan fungsi intermediasinya secara efektif yang tercermin
dari komposisi aset yang didominasi pembiayaan kepada sektor riil terutama
sektor usaha kecil dan menengah dengan rasio FDR mencapai 103,64%.[7]
Di tengah
ancaman krisis keuangan global, ekonomi syariah tetap bekerja sesuai dengan
aturan dalam setiap perbankan. Bahkan, ekonomi syariah terus melakukan
terobosan baru dalam mengelola keuangan negara agar semakin matang dalam
menghadapi setiap masalah krisis yang menghadang. Kendati menghadapi dilema
dalam sistem perbankan, ekonomi syariah masih terus berupaya meningkatkan
penyedian akses layanan bagi masyarakat yang sangat bermanfaat melalui
penawaran produk dan jaringan operasional yang semakin luas.
Bukti kongkrit
kontribusi ekonomi syariah bagi perekonomian nasional adalah semakin
meningkatknya jumlah bank-bank Islam[8] yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah 10
mengalami penambahan 2 Bank Umum Syariah (BUS),1Unit Usaha Syariah (UUS) dan 17
BPRS, sehingga pada akhir 2008 terdapat 5 BUS, 27 UUS dan 131 BPRS. Jaringan
kantor bank syariah, termasuk layanan syariah juga menunjukkan peningkatan
menjadi 953 kantor dan 1.470 layanan syariah. Industri perbankan syariah mengalami
peningkatan volume usaha sehingga pada akhir 2008 mencapai Rp49,55 triliun,
dengan pangsa terhadap total aset perbankan nasional sebesar 2,14%. Di sisi
penghimpunan dana, perkembangan DPK perbankan syariah menunjukkan pertumbuhan
sebesar 31,5%.[9]
Walau krisis
ekonomi global secara keseluruhan membawa pengaruh pada
industri keuangan syariah, namun industri keuangan syariah di Indonesia masih
dapat bertahan, bahkan masih tumbuh dan berkembang; akan tetapi krisis tersebut
masih membawa permasalahan sosial lain berupa makin banyaknya pemutusan
hubungan kerja, kenaikan harga barang dan jasa serta efek sosial yang lain yang
dapat menekan laju pertumbuhan sektor riil sehingga membawa dampak makin
banyaknya masyarakat miskin.
Dalam percaturan ekonomi nasional, perbankan syariah mampu
membuat dinamis sektor riil dan memberikan warna baru dalam sistem perekonomian
Indonesia. Hal itu disebabkan dalam perbankan syariah terdapat step wise process atau proses bertahap
sebagai alternatif untuk mengganti sistem bunga pada perbankan konvensional.[10]
Penggunaan sistem bunga merupakan salah satu permasalahan bagi dunia perbankan
konvensional saat ini. Sistem perekonomian dengan sistem bunga ini perlu
diganti atau dicari solusinya.Sistem bunga dapat memengaruhi pembentukan sistem
ekonomi makro salah satunya terjadi pelemahan pada sektor riil. Dalam
menghadapi ketidakpastian dan ketidakstabilan dunia usaha dan perekonomian
ternyata bank syariah mampu menunjukkan daya tahan (viability) yang kuat bahkan tetap beroperasi mendukung pertumbuhan
ekonomi.
Setidaknya ada tiga hal yang menjadi sumbangan ekonomi
syariah bagi perekonomian nasional. Pertama,
ekonomi syariah memberikan andil bagi perkembangan sektor riil. Pengharaman
terhadap bunga bank dan spekulasi mengharuskan dana yang dikelola oleh
lembaga-lembaga keuangan syariah disalurkan ke sektor riil. Kedua, ekonomi syariah lewat industri
keuangan syariah turut andil dalam menarik investasi luar negeri ke Indonesia,
terutama dari negara-negara Timur-tengah. Adanya berbagai peluang investasi
syariah di Indonesia, telah menarik minat investor dari negara-negara
petro-dollar ini untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Minat mereka terus
berkembang dan justru negara kita yang terkesan tidak siap menerima kehadiran
mereka karena berbagai “penyakit akut” yang tidak investor friendly, seperti rumitnya birokrasi, faktor keamanan,
korupsi, dan sebagainya. Ketiga,
gerakan ekonomi syariah mendorong timbulnya perilaku ekonomi yang etis di
masyarakat Indonesia. Ekonomi syariah adalah ekonomi yang berpihak kepada
kebenaran dan keadilan dan menolak segala bentuk perilaku ekonomi yang tidak
baik seperti sistem riba, spekulasi, dan ketidakpastian (gharar).
Sumbangan
penting ekonomi syariah bagi perekonomian nasional memang tidak bisa diabaikan,
karena sektor rill menjadi prioritas dalam menjaga stabalitas keuangan dalam
negeri. Titik sentral ekonomi syariah adalah bagaimana memberdayakan ekonomi masyarakat
dengan penuh tanggungjawab dan kepedulian yang merata antar sesama.
Pemberdayaan ekonomi ini menjadi penting, karena selama ini implementasi dalam
memulihkan ekonomi rakyat hanya terbatas pada kelompok-kelompok tertentu saja.
Titik tekan ekonomi syariah yang berbasis kerakyatan juga harus ditopang dengan
pengerahan dan pemberdayaan ekonomi kecil dan menengah yang jumlahnya mungkin
80 persen dari kekuatan ekonomi rakyat. Hal ini penting untuk dilakukan, karena
berawal dari Usaha Kecil Menengah (UKM) pertumbuhan ekonomi bangsa bisa
ditentukan.
Dengan cacatan,
perubahan sikap dan mental birokrasi berhasil dilakukan, sehingga lebih efektif
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat. Dalam peranannya memberdayakan
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), perbankan syariah telah menghidupkan
usaha yang dimiliki oleh masyarakat kecil dan menengah melalui investasi dan
gerai-gerai sentra pelayanan usaha mikro. Komposisi penggunaan dana perbankan
syariah juga menunjukan bahwa amanah dana simpanan masyarakat disalurkan ke
sektor riil sebesar tujuh puluh persen lebih sebagai pembiayaan sehingga
perbankan syariah dapat survive di
tengah ketidakpastian ekonomi modern dan mempunyai kontribusi besar dalam
pembangunan sektor ril.
Di tengah persaingan ekonomi yang sangat ketat, lembaga keuangan
syariah dituntut untuk
menciptakan ketentraman di lapisan bawah, menengah dan pedalaman, terutama di
luar sentra-sentra ekonomi, agar dapat berkembang secara berkesinambungan.
Keharmonisan hubungan antar pihak yang terkait, menjadi kunci utama dalam
membangun sebuah usaha dalam peningkatan ekonomi pada pertumbuhan yang pesat
dan kompetitif. Keharmonisan dalam membangun kerjasama (time work) juga
berdampak positif pada kelancaran sistem ekonomi yang sedang dijalankan pada
investor-investor yang menanamkan modalnya di Indonesia.
Sebagai icon sistem ekonomi Islam,[11]
lembaga keuangan syariah tidak tergantung dengan investor asing untuk mengelola
sistem keuangan agar berjalan dengan lancar. Intinya, setiap usaha yang
dijalankan tidak perlu
mencari daya beli dari investor asing, cukup mengerahkan daya beli dalam
negeri. Kita memang tidak sadar, bahwa sebenarnya ini merupakan upaya
orang-orang barat untuk menghegemoni dan mengeksploitasi perekonomian bangsa
ini menuju kemerosotan. Seharusnya dengan meningkatkan produksi-produksi dalam
negeri, paling tidak sudah ada upaya kongkrit untuk meningkatkan perekonomian
rakyat. Dengan berbekal semangat dan kepedulian terhadap produksi dalam negeri,
maka dambaan untuk meningkatkan perekonomian bangsa Indonesia secara
keseluruhan dapat direalisasikan dengan baik.
Lalu seperti apa
peranan lembaga keuangan syariah dalam menjaga stabilitas keuangan dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat? Secara eksplisit, peranan ekonomi
syariah memang sangat luar biasa dalam menopang sektor ekonomi mikro di
masyarakat. Tidak heran bila keberadaan perbankan syariah secara tidak langsung
telah mampu menjawab keraguan atas kontribusinya pada peningkatan taraf ekonomi
masyarakat. Ini karena, perbankan
yang berbasis syariah memiliki nilai lebih dalam menggerakkan pertumbuhan
ekonomi. Apalagi, perbankan
yang berbasis syariah memberi penekanan kuat pada penghidupan sektor-sektor
riil. Penekanan ini sebagai konsekwensi prinsif dasar sistem ekonomi Islam yang
mengharmoniskan antara sektor keuangan dengan sektor riil.
Harmonisasi
antara sektor keuangan dengan sektor riil tersebut menurut Janu Dewandaru,
peneliti senior di Biro Penelitian Pengembangan dan Pengaturan Perbankan
Syariah pada Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, memberikan model
proyeksi kebutuhan likuiditas lebih akurat oleh otoritas moneter. Akurasi kebutuhan
likuiditas akan menunjukkan besarnya likuiditas yang dibutuhkan untuk membiayai
produksi dan konsumsi yang pada gilirannya menciptakan pertumbuhan ekonomi,
penyerapan tenaga kerja, stabilitas harga, dan lain sebagainya.[12]
Penutup
Besarnya peran perbankan syariah dalam
menciptakan pertumbuhan ekonomi,
membuat perbankan nasional merasa tersaingi dengan semakin meluasnya jaringan
lembaga keuangan syariah yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Dalam
pelaksanaan operasinya yang didasarkan pada prinsip islami, perbankan syariah
tumbuh menjadi bank yang mempunyai potensi untuk membangun perekonomian yang
lebih baik di Indonesia. Melalui peranannya dalam perbaikan kondisi ekonomi
perbankan syariah dapat menjadi sarana alternatif untuk mewujudkan ekonomi yang
berkeadilan di Indonesia. Apalagi, perbankan syariah secara konsepsional
didasarkan atas prinsip kemitraan berdasarkan kesetaraan (equality), keadilan (fairness),
kejujuran (transparancy) dan mencari
keuntungan yang halal semata (halalan
thoyyiban).
[1] Umer Chapra, The
Future of Economics: An Islamic Perspective, (UK: The Islamic Foundation, 2000), hlm. 23.
[2]
Mudharabah adalah kontrak antara dua pihak, dimana satu pihak yang disebut rab
al-mal (investor) mempercayakan uang kepada pihak kedua, yang disebut mudharib,
untuk tujuan menjalankan usaha dagang. Mudharib menyumbangkan tenaga dan
waktunya untuk mengelola kongsi mereka sesuai dengan syarat yang disepakati.
Salah satu ciri dari kontrak ini asalah bawa keuntungan, jika ada, maka akan
dibagi antara investor dan mudharib. Sementara jika ada kerugian, maka akan
ditanggung sendiri oleh investor. Lihat Ahmed Abdel Fattah El-Ahker, The Islamic Bussines Enterprise, (Kent:
Croom Helm, 1987), hlm. 75.
[3] Dalam
fiqih, konsep musyarakah digunakan dalam arti yang lebih luas ketimbang yang
digunakan dalam perbankan Islam. Musyarakah dalam fiqih disebut sebagai
kemitraan-pembiayaan. Bahkan mazhab Syafi’I dan Hanbali memegang pandangan
bahwa masing-masing mitra dapat menjalankan hubungan kemitraan demi kepentingan
bisnis yang dijalankan sesuai dengan praktik dagang. Menurut Ibn Qudaimah, si
mitra dapat melakukan apa saja sebatas dalam kepentingan bisnis berdasarkan
kemitraan. Lihat Ibn Qudaimah, al-Mughni,
(Riyadh: Maktabat al-Riyadh al-Haditsah, 1981), hlm. 189.
[4] Sebagian
modernis, seperti politikus Syiria kontemporer, Doualibi, membedakan antara
pinjaman untuk konsumsi dengan pinjaman untuk produksi. Ia berpendapat bahwa
bunga pada pinjaman untuk produksi adalah halal, sementara bunga pada pinjaman
untuk konsumsi adalah haram. Pendapat ini berdasatkan ayat al-Qur’an yang
terkait dengan keharaman riba. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Bahuts fi al-Riba, (Kuwait: Dar al-Buhuts al-Ilmiyyah, 1970), hlm.
52-53.. Lihat juga Nabil A. Saleh, Unlawful
Gain and Legitimate Profit in Islamic Law, (Cambridge: Cambridge University
Press, 1986), hlm. 29.
[5] Faham
neoliberalisme awalnya berangkat dari diskursus yang berkembang di kalangan
para ekonom yang berada di Washington DC, untuk menyikapi krisis ekonomi yang
terjadi di Amerika Latin pada pertengahan 1980-an, terutama yang menimpa tiga
negara besar, yaitu Meksiko, Brazil, dan Argentina. Lihat Boediono, Ekonomi Indonesia, Mau ke Mana?, (Jakarta:
KPG, 2009), hlm. XI.
[6] Sutan
Remy Syahdeini, Perbankan Islam dan
Kedudukanya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: Grafiti, 1999),
hlm. 4-5.
[7] Adiwarman Karim, Bank
Syariah: Analisa Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: Penerbit IIIT, 2003), hlm.
234.
[8] Sejak
eksprimen perbankan Islam yang pertama dari Mit Ghamr pada tahun 1960-an,
bank-bank Islam berkembang pesat. Bank-bank Islam mulai bertambah jumlahnya
setelah kelahiran mereka pada 1960-an. Dari hanya satu bank di dunia pada awal
1970-an, jumlahnya terus bertambah menjadi Sembilan pada tahun 1980. Di
antaranya adalah Nasser Social Bank
(1971), Islamic Development Bank
(1975), Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank Mesir (1977), Bahrain Islamic Bank (1979), dan International Islamic Bank for Investment
and Development (1980). Sementara di Indonesia, muncul bank muamalah, bank
syariah mandiri, dan bank-bank Islam lainnya. Lihat Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah: Kritik atas
Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, (Jakarta: Paramadina,
2004), hlm. 16.
[9] Bank Indonesia, Laporan
Perkembangan Perbankan Syariah, (Jakarta: Bank Indonesia Mannan, 2008),
hlm. 123. Berbagai studi menunjukkan bahwa keberadaan institusi keuangan
memainkan peranan vital dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Institusi
keuangan, terutama perbankan, menjadi penggerak bagi pertumbuhan ekonomi. Di
Indonesia, jumlah institusi keuangan sya- ri’ah mengalami peningkatan. Pada
tahun 2005, jumlah perbankan syari’ah baru ada tiga lembaga. Pada tahun 2010,
jumlahnya mening- kat menjadi 11 lembaga. Lihat Bank Indonesia, “Statistik
Perbankan Syariah” , Desember 2010, hlm. 1.
[10] M
Kuncoro, Manajemen Bank Syariah,
(Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2000), hlm. 145.
[11]
Bangunan ekonomi Islam didasarkan atas lima nilai universal, yakni tauhid (keimanan), adl (keadilan), nubuwwah
(kenabian), khilafah (pemerintahan),
dan ma’ad (hasil). Kelima nilai ini
menjadi dasar inspirasi untuk menyusun proposisi dan teori-teori ekonomi Islam.
Tiga prinsip ekonomi Islam, yakni multitype
ownership, freedom ta act, dan social justice terbangun dari lima nilai
universal di atas. Tiga prinsip tersebut menjadi ciri-ciri dan cikal bakal
sistem ekonomi Islam. Lihat Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2003), hlm. 52.
[12] Janu
Dewandaru, “Apa yang Sebenarnya Ditawarkan oleh Ekonomi Islam”, dalam Islam and Contemporary Issues, ed. Ahmad
Syukri Shaleh dan Ahmad Syukri Baharuddin, (Jambi: PPs IAIN Jambi, 2009), hlm.
161.
Komentar
Posting Komentar
isilah komentar tentang blog saya