Revitalisasi Pendidikan Berwawasan Kemaritiman

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi*

Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarungi luas samudra

Penggalan syair lagu itu, mengingatkan kita pada kebesaran Nusantara di masa lalu yang kini hilang. Sebagai seorang pelaut, nenek moyang kita mengajarkan suatu jargon yang sangat menggugah, yakni etos kerja. Dengan etos kerja yang dimiliki, mereka berjuang untuk sekedar mengarungi samudra dengan berupaya mempertahankan keseimbangan ekosistem kelautan dan potensi kekayaan yang terpendam di dalamnya. Namun, ”Betulkah bangsa kita masih berkarakter kemaritiman? Betulkah kita ini bangsa bahari?”

Pertanyaan-pertanyaan di atas, setidaknya menjadi refleksi kritis kita untuk membangun kembali paradigma kemaritiman yang kini mengalami kekaburan. Sejauh ini, pandangan negara kepulauan lebih utama dibandingkan negara maritim. Padahal, negara maritim mengandalkan armada yang kuat yang mempresentasikan kekuatan militer di bidang kelautan.

Sebagai bangsa bahari, negeri ini seharusnya mempunyai visi kelautan yang direfleksikan dalam pembangunan berwawasan kemaritiman, termasuk menguatkan armada laut (niaga dan militer). Dengan kata lain, wawasan kemaritiman juga perlu dibangun dalam kerangka kebijakan pembangunan yang tepat guna, sehingga bisa menciptakan potensi sumberdaya manusia yang mumpuni untuk mengelola potensi kelautan yang berlimpah.

Bercermin pada Sejarah

Kalau kita bercermin pada sejarah, ternyata nenek moyang kita memang memiliki kegemaran mengarungi samudra untuk mencari nafkah atau sekedar bernostalgia dengan keindahan panorama laut yang dihiasi berbagai macam aneka bahari yang sangat indah. Munculnya kegemaran ini, mendorong nenek moyang kita untuk memanfaatkan potensi laut sebagai mata pencaharian utama bagi masa depan hidup mereka.

Terbukti, pada abad ke-9 Masehi, sebagian besar bangsa Indonesia telah berlayar jauh dengan menggunakan kapal bercadik. Kegemaran mereka mengarungi samudra Hindia dan sebagian wilayah Nusantara, secara tidak langsung telah membangkitkan gairah arus perdagangan dari pulau ke pulau. Bahkan, munculnya kerajaan-kerajaan yang bercorak maritim dengan kekuatan armada lautnya yang sangat besar adalah indikasi kegemaran bangsa kita yang suka melaut.

Kerajaan maritim terbesar di Nusantara diawali Kerajaan Sriwijaya (tahun 683-1030 M). Sriwijaya adalah salah satu kerajaan besar yang terletak di Kotaraja, yang memiliki armada laut cukup kuat sehingga disegani oleh kerajaan lain di wilayah Nusantara dan kerajaan di luar Nusantara. Guna memperkuat armada dalam mengamankan lalu lintas perdagangan melalui laut, Sriwijaya memanfaatkan sumberdaya manusia yang tersebar di seluruh wilayah kekuasaannya, yang kini disebut ”kekuatan pengganda”. Dengan potensi sumberdaya manusia yang kuat, Sriwijaya berhasil menjadi kerajaan paling sukses karena kemampuannya dalam memanfaatkan arus perdagangan secara terbuka.

Namun, seiring dengan berkembangnya kerajaan lain di wilayah Nusantara, Sriwijaya justru terperosok ke dalam jurang kehancuran, karena kalah bersaing dengan kerajaan Majapahit yang mulai berdiri kokoh sebagai kerajaan paling besar dalam sejarah Nusantara. Berkembangnya Majapahit sebagai kerajaan maritim, tidak lepas dari peran sentral Gajah Mada yang merupakan Patih utama mereka. Sebagai kerajaan besar, Majapahit terbilang sukses melakukan ekspansi militer sehingga mampu mengalahkan kerajaan besar di semanjung Malaka sampai ke negeri Cina.

Itulah kegelisahan Sultan Hamengku Buwono ketika berpidato pada Konferensi Nasional Kedaulatan Maritim Indonesia di UGM, yang menggugah kesadaran pengambil kebijakan untuk berperan aktif dalam membangun visi negara maritim. Sultan mengatakan bahwa sejarah membuktikan, laut Indonesia bisa menjadi harapan yang ditunjukkan dengan ramainya jalur perniagaan dan perdagangan masa lampau sehingga memperluas hubungan dunia Timur dan Barat. Buktinya, kebesaran Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya bersandar pada potensi lautan Indonesia yang sangat melimpah. (Kompas, 18/5/2010).

Sejarah itu telah menggambarkan kehebatan armada niaga, keandalan manajemen transportasi laut, dan armada militer yang mumpuni dari beberapa kerajaan di Nusantara yang mampu mengintegrasikan wilayah luas dan disegani bangsa lain. Dengan armada niaga yang besar, kerajaan bersosialisasi dan membawa hasil alam sebagai komoditas perdagangan ke negeri lain. Sementara untuk menjaga keamanan, kerajaan memiliki armada laut yang kuat.

Melupakan Sejarah

Kendati demikian, seiring dengan jatuhnya kerajaan besar tadi, bangsa Indonesia mulai melupakan sejarah masa silam yang sangat fenomenal. Terbukti, bangsa kita mulai digiring menjadi masyarakat petani yang dipaksa menjadi pekerja keras. Kesempatan ini dimanfaatkan kekuatan asing, seperti Portugis, Inggris, dan VOC, untuk beralih menguasai laut Nusantara. Dengan terdesaknya raja-raja ke pedalaman dan dikuasainya berbagai pelabuhan oleh pihak asing, sehingga sejak itu paradigma maritim kita diubah penjajah menjadi bangsa agraris.

Kenyataan pahit ini, tidak boleh kita jadikan trauma berkepanjangan karena tidak akan memberikan pengaruh signifikan. Tugas kita saat ini, adalah bagaimana mengembalikan paradigma bangsa agraris menjadi bangsa maritim dengan ditopang kekuatan armada yang kuat. Itulah sebabnya, saat membuka Institut Angkatan Laut (IAL) tahun 1953 di Surabaya, Presiden Soekarno pernah berpesan, agar kita terus menerus menggali potensi laut yang terpendam di dalamnya.

Pada perkembangan selanjutnya, Bung Karno terus berpesan agar kita tetap mengusahakan penyempurnaan ini dengan menggunakan kesempatan yang diberikan oleh kemerdekaan. Usahakan agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Dalam artian, bangsa pelaut yang mampu mengelola dan memanfaatkan potensi sektor kelautan dengan optimal. Pendek kata, bukan sekedar menjadi jongos di kapal, tetapi bangsa pelaut dalam arti cakrawati samudra. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri. (Kompas, 5 Desember 2007.

Itulah sebabnya, bangsa yang memiliki karakter maritim atau bahari tidak harus diartikan bangsa yang sebagian besar masyarakatnya adalah nelayan, tetapi bangsa yang menyadari kehidupan masa depannya bergantung pada lautan. Intinya, selalu menoleh, menggali, dan memanfaatkan laut sebagai tulang punggung perekonomian bangsa dan negara.

Pendidikan Berwawasan Kemaritiman

Di tengah keterbatasan stakeholder yang memiliki kemampuan dalam menggali potensi sumberdaya kelautan kita, ternyata ada satu harapan yang bisa kita lakukan untuk mengoptimalkan segenap potensi yang terdapat di wilayah pesisir maupun kelautan itu sendiri. Salah satunya adalah dengan mengoptimalkan pendidikan berwawasan kemaritiman kepada para generasi muda, terutama pelajar dan mahasiswa.

Pendidikan berwawasan kemaritiman merupakan salah satu wacana yang sempat gencar disuarakan untuk mengubah paradigma negara kita yang agraris menjadi negara maritim. Pada satu sisi, kita harus mengakui bahwa nenek moyang kita pada masa lampau memiliki kegemaran mengarungi samudra lautan, di samping karena ditunjang oleh potensi laut yang sangat luar biasa besarnya. Namun, di sisi lain, kita harus sadar bahwa kita adalah negara agraris yang memprioritaskan hasil pertanian sebagai mata pencaharian utama.

Dalam konteks inilah, Indonesia harus mendirikan sekolah menengah dan politeknik yang berorientasi kelautan. Hal ini bertujuan untuk mencetak pemimpin yang berwawasan kelautan, mengingat Indonesia merupakan negara maritim. Maka, tak berlebihan kalau Gubernur Akademi Angkatan Laut Mayor Jenderal TNI (Mar) Nono Sampono menuturkan, bahwa salah satu penyebab Indonesia tidak memerhatikan sektor kelautan adalah pemimpin yang tidak berorientasi kelautan. Menurutnya, sejak di pendidikan dasar murid harus diarahkan pada orientasi kedaratan. Padahal pengetahuan tentang potensi sumberdaya kelautan tidak kalah pentingnya dari pengetahuan yang lain.

Hal itu menyebabkan potensi kelautan tidak termanfaatkan dengan baik. Setiap tahun Indonesia kehilangan triliunan rupiah akibat pencurian ikan oleh kapal asing. Padahal, 60 persen dari 42 juta penduduk miskin di Indonesia bekerja sebagai nelayan. Sumberdaya alam di laut tidak digali dan malah sibuk menggali di darat. Akibatnya, timbul kerusakan lingkungan yang parah. Di negara lain, sumberdaya alam di darat disimpan untuk cadangan dan mengutamakan sumberdaya dari laut. (Kompas, 5 Mei 2006).

Terlepas dari hal itu, sebenarnya tercetus sebuah Rencana Pembangunan Universitas Maritim Indonesia (UMI) yang digagas Yayasan Pendidikan Maritim Indonesia (YPMI) sejak 4 Agustus 2003 silam. Namun, sampai saat ini, saya masih belum tahu, apakah rencana tersebut menjadi kenyataan atau tidak? Tapi yang pasti, kita banyak berharap bahwa Rencana Pembangunan Universitas Maritim Indonesia (UMI) dapat direalisasikan oleh pemerintah.

Menurut Ketua Umum YPMI Nada Faza Soraya, pembangunan UMI mendesak untuk segera direalisasikan, mengingat minimnya sumberdaya manusia yang berwawasan kemaritiman, khususnya terkait hukum maritim Internasional dan upaya memaksimalkan potensi sumberdaya kelautan di zona perbatasan dan pesisir yang sangat strategis dalam mengoptimalkan rencana pembangunan sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.

Pada titik inilah, dalam rangka menyempurnakan kurikulum pendidikan yang berwawasan kemaritiman, maka kita perlu melakukan riset serta mengadopsi sistem pendidikan maritim yang diterapkan beberapa negara, termasuk negara yang memiliki respon positif atas pembangunan pendidikan berwawasan kemaritiman, yaitu Jepang, Cina, dan Norwegia. (Suara Karya, 3 September 2006).

Menurut Rokhim Dahuri (2003), pola pikir kemaritiman sebenarnya sudah dipikirkan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Sukarno dengan mendirikan berbagai jenis sekolah-sekolah kemaritiman mulai dari perikanan, pelayaran niaga, jurusan maritim di universitas-universitas termasuk teknik perkapalan, revitalisasi institusi kemaritiman warisan kolonial yang sempat terbengkalai akibat revolusi fisik termasuk PAL, nasionalisasi perusahaan-perusahaan pelayaran asing, kemudian memodernisasi alat pukul AL-RI.

Dengan demikian, pendidikan berwawasan kemaritiman merupakan salah satu aspek penting dalam menciptakan potensi sumberdaya manusia yang diharapkan mampu mengelola sektor kelautan secara berkesinambungan. Hal ini kita sadari, bahwa kita masih sangat kekurangan tenaga profesional yang kompeten dalam mengaplikasikan wawasan kemaritiman sebagai momentum untuk meningkatkan kualitas potensi sumberdaya kelautan dengan usaha maksimal.

Komentar