Menata Koalisi, Membendung Kolusi

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Gonjang-ganjing seputar masa depan partai politik dalam koalisi SBY kembali mengemuka. Hal ini disebabkan, sejumlah anggota koalisi banyak yang berbelot dan menentang pandangan politik Partai Demokrat yang merupakan partai penguasa. Tidak heran bila para petinggi Partai Demokrat mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhono untuk mengevaluasi komitmen dan loyalitas mitra partai koalisi yang selalu bersikap kritis dan berbeda pandangan, terutama soal skandal Bank Century dan usulan hak angket pajak baru-baru ini.

Menghadapi gejolak politik yang semakin genting, rupanya SBY mulai menunjukkan keseriusan dan keberanian untuk memberikan peringatan keras kepada mitra koalisi agar tidak melanggar kesepakatan bersama pada oktober 2009 lalu. Keseriusan ini ditegaskan SBY ketika menyampaikan pernyataan langsung soal masa depan partai koalisi di Kantor Kepresidenan, Selasa lalu.

Tidak ayal bila Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengancam akan mengambil sikap keras terhadap anggota koalisi yang tidak selaras lagi dengan pandangan pemerintah. Bahkan, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu mempersilakan mitranya keluar dari koalisi, jika tidak bisa mematuhi etika dan kesantunan dalam berkoalisi. Sebagai ketua koalisi, Presiden mengingatkan bahwa 11 butir kesepakatan yang disebut sebagai Code of Conduct seharusnya bisa dijalankan secara intens oleh mitra koalisi, bukan sebaliknya melanggar etika berkoalisi.

Peringatan SBY terhadap partai mitra koalisi memang tidak langsung menyebut partai mana dari enam pendukung koalisi yang dianggap telah melanggar kesepakatan tersebut, namun Golkar dan PKS yang mendukung hak angket pajak di DPR, berpeluang akan didepak dari keanggotaan koalisi, terutama PKS.

Bagi politisi Partai Demokrat, sikap kritis Golkar dan PKS yang selalu bersebrangan dianggap sebagai sebuah pengingkaran terhadap komitmen dan kesepakatan dalam berkoalisi untuk mendukung jalannya pemerintahan sampai pada tahun 2014. Kendati sebagai anggota koalisi, Golkar dan PKS sama sekali tidak menunjukkan mitra dan rekan yang baik dalam mengawal pemerintahan. Bahkan, tidak jarang Golkar dan PKS menjadi aktor utama penentang partai penguasa dan bersikap layaknya partai oposisi di luar pemerintahan.

Kita tahu sebelumnya bahwa sikap kritis Golkar dan PKS yang melawan partai penguasa tidak hanya ketika gencarnya usulan soal hak angket di DPR, melainkan drama resistansi Golkar dan PKS seringkali terjadi dalam beberapa kesempatan. Bahkan, desakan serupa pernah disampaikan para elite Partai Demokrat ketika Golkar, PKS, dan PPP mempermalukan pemerintah SBY melalui panitia khusus angket terkait skandal Bank Century. Tiga parpol anggota koalisi pendukung SBY tersebut bahkan mempersalahkan pemerintah atas pemberian dana talangan Rp6,7 triliun atas Bank Century.

Alih-alih mengocok ulang formasi mirta koalisi, Presiden SBY memilih melanjutkan relasi “teman, tapi tak mesra” dengan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie. Tidak heran bila relasi politik internal koalisi pun berangsur “damai” bersamaan dengan berlalunya skandal Century yang seolah-olah terkubur tanpa titik terang.

Bersikap Tegas

Terlepas dari itu, sikap kurang tegas SBY terhadap partai mitra koalisi yang membelot, seolah mencerminkan sikap kehati-hatian model politik Presiden asal Pacitan ini. Bagi saya, ancaman SBY bagi partai koalisi hanyalah gertakan sambel belaka, karena tidak pernah dibuktikan ketika drama politik di DPR semakin memanas. Seharusnya, SBY bisa bersikap tegas dalam menindak mitra koalisi yang jelas-jelas berbeda pandangan politik dengan partai penguasa.

Menurut politisi senior, Arbi Sanit, keraguan-raguan Presiden SBY merombak kabinet akan berimplikasi pada instabilitas politik Indonesia. Sementara, masing-masing partai politik mitra koalisi pemerintahan akan menjadi gamang karena ketidaktahuan atas sikap SBY sebagai pimpinan koalisi. Bahkan, SBY bisa dituding sebagai pimpinan koalisi pembohong, jika isu perombakan kabinet (reshuffle) hanya menjadi gertakan sambel belaka.

Banyak kalangan yang mencermati bahwa sikap SBY selama ini seolah membiarkan drama politik itu terjadi. Barangkali SBY menunggu momen yang tepat untuk melakukan reshuffle terhadap menteri yang berasal dari mitra koalisi, sehingga bisa mendepak secara terhormat karena melakukan blunder sendiri. Buat saya, SBY bukan tidak mempunyai “nyali politik” dalam berhadapan dengan perlawanan parpol di DPR, melainkan semata-mata ingin menghormat kinerja mitra koalisi yang membantu jalannya pemerintahan.

Mendamba Harmoni Koalisi

Barangkali kita tahu bahwa gaya politik SBY tidak tergesa-gesa dalam mengambilk keputusan, terutama soal masa depan partai mitra koalisi yang telah melanggar 11 butir nota kesepatan yang ditandatangi pada oktober 2009. Sesuai watak pribadinya, SBY merupakan sosok pemimpin yang hendak membangun harmoni antar mitra koalisi sehingga tidak terkesan bersikap otoritarianisme yang menjadi cermin penguasa.
Bahkan, SBY berupaya menghindari format relasi yang menyulut konflik dan polemik yang bisa saja merusak citra pendiri Partai Demokrta ini. Bagi SBY, tidak menjadi persoalan, apakah relasi harmoni yang terbangun itu hanya sebatas artifisial, alias politik pencitraan belaka.

Berangkat dari hiruk-pikuk soal isu masa depan koalisi yang akan dikaji ulang, kita berharap bahwa SBY mampu melakukan komunikasi secara intens kepada partai mitra koalisi untuk mempertegas komitmen dan loyalitas mereka dalam mendukung pemerintah. Dengan kata lain, komunikasi dilakukan dalam rangka saling megevaluasi satu sama lain, di antara mitra koalisi agar menemukan titik terang terkait dengan kesepakatan bersama yang harus ditaati. Jika mitra koalisi masih melanggar kesepakatan tersebut, maka SBY harus bersikap tegas untuk melakukan perombakan kabinet.

Kendati demikian, saya berharap bahwa jalinan harmoni antara SBY dan partai mitra koalisi tidak berakhir dengan kebencian dan sikap dendam yang bisa mengacaukan stabilitas perpolitikan nasional. Dengan kata lain, koalisi ini ke depan diharapkan tidak mengedepankan arogansi kekuasaan semata, melainkan harus didasarkan pada komitmen untuk membawa angin perubahan dan perbaikan bagi rakyat. Dalam artian, keharmonisan dalam berkoalisi dapat menjadi contoh yang baik bagi rakyat agar saling menghormati satu sama lain dan tidak menonjolkan egoisme kekuasaan yang berlebihan.

Pada akhirnya, kita semua menaruh harapan terhadap partai penguasa maupun partai oposisi untuk berkoalisi secara tulus membangun bangsa ini. Pendek kata, koalisi harus dibangun atas dasar ketulusan hati dan pikiran, bukan koalisi yang menyebar resistensi maupun konflik kepentingan yang berujung pada kegagalan dalam mencari solusi untuk persoalan bangsa. Dengan begitu, koalisi akan terlepas dari kolusi yang bisa mengacaukan stabilitas politik demi tercapainya cita-cita luhur bangsa ini.


Mohammad Takdir Ilahi, Staf Riset The Mukti Ali Institute Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Alamat: Gg. Ori 02. No. 6-F Papringan Depok Sleman Yogyakarta. Emael. tkdr_ilahi@yahoo.co.id.

Komentar