Optimalisasi Pembangunan Berkelanjutan: Menuju Kehidupan Ramah Lingkungan

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Pendahuluan

Pada satu sisi, manusia tidak bisa lepas dari adanya alam, karena alam ini adalah tempat dimana manusia tinggal dan menjalani kehidupan dengan segala hiruk pikuknya. Namun, pada sisi lain, manusia terlepas dari alam, karena manusia mengganggu ketenangan dan ketentraman alam. Artinya, alam tidak berhasrat bersahabat dengan manusia dengan berbagai alasan yang konkrit, bahwa manusia telah menyalahgunakan anugrah Tuhan untuk memanfaatkan seoptimal dan sebaik mungkin potensi yang dimiliki alam. Pada saat itulah, alam mulai menampakkan kebisingan dan ketidakramahan terhadap manusia sebagai mahluk yang diberi beban menjadi pengatur alam ini.

Tulisan ini, berupaya memotret kerusakan hutan yang semakin parah terjadi di bumi nusantara ini. Berbagai persoalan menyangkut penebangan hutan liar, kebakaran hutan, dan erosi lingkungan turut memperparah kondisi hutan kita. Padahal, hutan berfungsi menjaga sistem keseimbangan hidup dan lingkungan. Jika hutan terus-menerus ditebang, maka malapetaka bencana akan menimpa kita semua. Sadarlah, bahwa hutan bukan saja merupakan kekayaan alam Indonesia, lebih dari pada itu, ia menjadi penegak terjaganya ekosistem kita.

Mencuatnya persoalan lingkungan semacam kerusakan hutan, sebenarnya bukan merupakan yang baru dalam konteks wacana global, akan tetapi sudah muncul sejak diciptakannya bumi dengan hiasan-hiasannya yang mampu memberikan ketertarikan (interesting) pada manusia. Bahkan, ada asumsi yang mengatakan bahwa, universalnya persoalan lingkungan, termasuk kerusakan hutan sejatinya banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi yang tak terbatas. Akibat dari kemajuan ini, keselamatan bumi dan lingkungan sekitar mulai diperbincangkan dan dianalis sejauhmana dampak yang akan terjadi ketika pembangunan industri dan pembangunan yang lain terus menerus dilanjutkan tanpa mempertimbangkan apa yang akan terjadi setelah terealisasinya pembangunan tersebut.

Menurut Philip Kristanto, sebenarnya ada beberapa alasan yang mendasari mencuatnya persoalan hutan dan lingkungan hidup, sehingga PPB mengadakan Konferensi tentang Lingkungan Hidup di Stockholm. Pertama, dapat kita lihat pada tahun 1953, di Jepang, terjadi malapetaka yang mengerikan yang menimpa sebagian nelayan dan keluarganya di sekitar Teluk Minamata yang makanan utamanya adalah ikan. Di daerah tersebut telah terjadi wabah neurologis yang disebut dengan penyakit Minamata. Pada penderita secara progresif mengalami lemah otot, hilangnya penghilatan hingga menyebabkan kematian. Ternyata setelah diadakan penelitian, pada tahun 1959, penyakit tersebut disebabkan oleh metilmerkuri, yaitu limbah yang mengandung air raksa dari berbagai industri kimia milik Chisso CO.

Kedua, Pada tahun 1963 Amerika Serikat Mengeluarkan Undang-Undang Tentang Lingkungan Hidup (National Environmental Policy Act, NEPA) sebagai reaksi atas kerusakan lingkungan oleh aktivitas manusia yang meningkat, antara lain dengan tercemarnya lingkungan oleh pestisida serta limba industri dan transportasi.
Ketiga, terjadinya penipisan lapisan ozon (03) sebagai dampak dari rumah kaca dan meningkatnya suhu permukaan bumi akibat penebalan lapisan C02, yang akan mengancam terhadap kesehatan dan keselamatan ummat manusia, karena ozon menjadi tameng dari pancaran sinar matahari yang sangat menyengat.

Persoalan lingkungan di atas, menurut saya, adalah isu lingkungan global yang mengemuka dan popular di kalangan aktifis lingkungan. Ini karena, dampak yang akan terjadi dari isu global tersebut merambah pada seluruh penduduk alam semesta ini, dan jika persoalan tersebut dibiarkan begitu saja di tengah tuntutan pembangunan industri dan limbah, maka implikasinya akan benar-benar menjadi sindrom kehidupan yang tak terbantahkan.

Dilema Pembangunan: Antara Harapan dan Kekhawatiran

Gerakan pembangunan yang dibantu dengan teknologi tinggi, bagi negara-negera berkembang seperti Indonesia memang menjadi sebuah keniscayaan. Tanpa pembangunan, kesejahteraan hidup suatu negara akan semakin merosot, dan akibatnya akan terjadi kehancuran ekosistem secara global. Tuntutan pembangunan ini, menjadi komitmen dari pemerintah untuk melaksanakan agenda pembangunan berkelanjutan sesuai hasil dari KTT Rio de Janeiro Tahun 1992.

Walaupun pembangunan dapat memecahkan persoalan kebangsaan sebagaimana disebutkan di atas, namun pengalaman menunjukkan bahwa pembangunan yang terlalu berlebihan dapat menimbulkan kerusakan lingkungan pada hutan. Di sinilah sebenarnya, letak urgensitas pemeliharan terhadap hutan dengan kesadaran dan kepedulian kita untuk memanfaatkan secara maksimal potensi kekayaan alam ini.

Maka tak heran, bila Sodjatmoko dalam “Dimensi Manusia Dalam Pembangunan”
mengungkapkan, bahwa Indonesia sebagai negara berkembang tengah menghadapi dua masalah besar terkait dengan kerusakan hutan dan lingkungan hidup manusia. Pertama, masalah lingkungan hidup yang disebabkan kemelaratan dan akibat kepadatan penduduk. Kedua, masalah kerusakan hutan yang disebabakan oleh sindrom pembangunan.
Dalam konteks ini, menurut hemat saya, munculnya persoalan kerusakan hutan yang disebabkan kepadatan penduduk adalah isu global yang bisa menciptakan kesenjangan dan kebisingan diantara sesama. Ini karena, dalam kondisi yang sedemikian mendesak dan penghuni manusia semakin bertambah dari tahun ke tahun, maka menurut berbagai penelitian, persoalan itu akan berimplikasi terhadap ketidakseimbangan antara bumi dan manusia. Jika ini terjadi, maka bisa dipastikan kondisi bumi akan semakin terbenam dengan tindakan eksploitatif manusia yang tidak bertanggungjawab (unresponsibility).

Hal ini sesuai dengan laporan penelitian yang berjudul “The Limits to Grow” (batas pertumbuhan), dimana laporan tersebut menyatakan bahwa pertumbuhan tidak bisa berjalan tanpa batas, karena ada kendala tersedianya sumber daya dan terjadinya pencemaran. Oleh karena itu, manusia harus bisa mengendalikan diri. Dalil ini mempunyai landasan ekologi yang kuat, karena planet bumi memang terbatas. Laporan ini, merupakan faktor penting lahir dan berkembanganya gerakan zero growth (pertimbuhan nol).

Bahkan, dari data yang saya dapatkan, disebutkan bahwa jumlah manusia yang memerlukan tanah, air dan udara di bumi ini untuk hidup pada tahun 1991 sudah berjumlah 5,2 miliar. Jumlah planet bumi pada tahun 1998 bejumlah 6,8 miliar. Pada tahun 2000 membengkak menjadi 7 miliar. Kalau pertumbuhan penduduk tetap dipertahankan seperti sekarang, menurut Paul R. Enhirch, 900 tahun lagi (tahun 2900) akan ada satu biliun (delapan belas nol dibelakang 1) orang di atas planet bumi ini atau 1700 orang parameter persegi. Seandainya jumlah itu terus berlanjut sampai pada tahun 2000 atau 3000 tahun kemudian, maka berarti jumlah orang yang tinggal di planet ini sudah melebih berat bumi itu sendiri.

Menyikapi kenyataan di atas, tuntutan pembangunan untuk mendukung kesejahteraan rakyat memang memunculkan dilema tersendiri bagi negara-negara berkembang, terutama negara-negara maju. Bahkan, pada tahun 1960-an di negara yang maju, seperti Amerika, terjadilah gerakan lingkungan yang kuat, guna menyelamatkan bumi dan lingkungan dari kerusakan yang diakibatkan oleh pembangunan. Gerakan tersebut kemudian diikuti oleh gerakan yang bersifat anti-teknologi dan anti-pembangunan, karena pembangunan dianggap sebagai biang keladi rusaknya lingkungan.

Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan:
Upaya Mencegah Kerusakan Hutan

Dari berbagai analisis tentang dampak negatif pembangunan, maka muncul pertanyaan, adakah strategi alternatif yang bisa dilakukan untuk menciptakan masa depan bumi dan menyelamatkan hutan dari ambang kepunahan dan kehancuran? Karena itu, muncullah model pembangunan berkelanjutan yang bertujuan untuk menyeimbangkan ekosistem yang ada, agar tidak terjadi kerusakan dan pembangunan yang dilaksanakan tetap berjalan sampai ke generasi selanjutnya.

Dari laporan Komisi se-Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan (1987), disebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mengusahakan terpenuhinya kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dalam artian, substansi pembangunan berkelanjutan lebih berorientasi pada lingkungan yang bisa mendukung pembangunan dengan terus menerus, karena tidak habisnya sumber daya yang menjadi modal pembangunan.

Untuk mendukung pembangunan berkelanjutan tersebut, maka diperlukan suatu konsep yang egaliteral dan diharapkan mampu mendorong terciptanya pembangunan yang mendukung kelestarian hutan. Pembangunan yang dimaksud disini adalah pembangunan yang berwawasan lingkungan, yaitu hutan diperhatikan sejak dimulainya pembangunan itu direncanakan sampai pada waktu operasi pembangunan itu.

Dengan demikian, dalam rangka mengawal pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, dibutuhkan beberapa jalan yang dapat mendukung terciptanya kelestarian hutan.

Pertama, terpeliharanya proses ekologi yang esensial sebagai bagian dari keseimbangan ekosistem hutan antara tingkat populasi dan daya dukung lingkungan. Kedua, tersedianya sumber daya yang cukup sebagai usaha untuk meningkatkan manfaat yang didapat dari sumber daya alam (hutan). Ketiga, lingkungan sosial, budaya, dan ekonomi yang sesuai. Ini karena pembangunan yang dilakukan untuk kebutuhan manusia, maka lingkungan-lingkungan tersebut sangat penting bagi kesinambungan pembangunan yang berkelanjutan.

Kesimpulan

Di sinilah sebenarnya, yang diharapkan kita terhadap masa depan bumi dan hutan. Walaupun pada awalnya, lingkungan kurang bersahabat dan seringkali menimbulkan kemarahan kepada kita, namun dengan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, kemarahan itu sirna dan berubah menjadi keramahan.

Dengan cacatan, kita tetap berkomitmen untuk memelihara dan melestarikan potensi kekayaan alam (hutan) yang ada dalam lingkungan kita. Yang terpenting lagi adalah kesadaran dan kepedulian kita terhadap hutan perlu ditingkatkan dan dikembangkan secara berkelanjutan, sehingga akan tercipta bangunan kehidupan yang terbebas dari kungkungan kemarahan alam, dan pada akhirnya kondisi planet bumi yang kita tempati ini bisa pulih kembali seperti semula.

Daftar Pustaka

Kristanto, Philip. 2004. Ekologi Industri. Yogyakarta: Andi Offset
Sodjatmoko. 1995. Dimensi Manusia Dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES
Meadows dkk. 1972. The Limits to Grow; A Report for the Club of Rome’s Project on Predicament og Mankid. New York: Universe Book
Usman, Ali. “Menyelamatkan Bumi Tempat Kita Berpijak”, dalam Koran Merapi, 6 Mei 2008
WCED. (World Commission on Environment and Development), Our Common Future. 1987. Oxford: Oxford University Press
Somarwoto, Otto. 2003. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Komentar