Ekonomi Kapitalis Vs Ekonomi Islam

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Pesatnya perkembangan ekonomi dunia telah membawa perubahan yang cukup signifikan bagi kemajuan peradaban masyarakat. Tidak heran, bila muncul suatu ide tentang sistem ekonomi yang bisa mengikat transformasi perekonomian masyarakat di seluruh dunia. Dengan sistem ekonomi ini, masyarakat memiliki aturan dan tata kelola yang dinamis dalam penerapan transaksi ekonomi di lapangan.

Buktinya, pada abd ke-18, lahir sebuah paham dari seorang Adam Smith (1723-1790) di Inggris dan dinamakan liberalisme. Ajaran laiser aller, laisser passer (merdeka berbuat dan merdeka bertindak) menjadi pedoman bagi paham ini. Dari paham ini ternyata lahirlah kaum borjuis yang pada akhirnya memunculkan sistem ekonomi kapitalis secara berkesinambungan. (Robert Lekachman dan Borin Van Loon, 2008).

Pada saat itulah, sistem ekonomi kapitalis menjadi semacam disiplin ilmu yang berkembang pesat di jagat raya ini. Berawal dari sistem ekonomi inilah, perkembangan ekonomi dunia semakin memberikan keleluasaan bagi sektor industri untuk mengembangkan teknologi kapitalnya dalam konteks global. Terbukti, dengan sistem ekonomi kapitalis, perusahan-perusahan industri yang memiliki kekuatan pasar mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan.

Sindrom Ekonomi Kapitalis

Namun demikian, pertumbuhan ekonomi bukan berarti memberikan angin segar bagi kemakmuran masyarakat, malah justru mengantarkan kesengsaraan yang tiada tara bagi masyarakat miskin di dunia. Ada banyak faktor, kenapa sistem ekonomi kapitalis gagal memberikan secercah harapan bagi kesejahteraan dan taraf ekonomi masyarakat. Salah satunya adalah karena sistem kapitalisme meniscayakan suatu perlengkapan modal masyarakat (pungutan) dan alat-alat produksinya dikuasi oleh segelintiran orang yang begitu dominan menggunakan hak miliknya demi kepentingan untuk memperoleh keuntungan semata. Tidak berlebihan, kalau Robert Lekachman dan Borin Van Loon, menegaskan bahwa kapitalisme bisa menunjukkan pada sistem ekonomi global yang telah menjadi dasar bangunan masyarakat dan merupakan tahapan sejarah peradaban Barat yang hegemonik, sehingga memonopoli masyarakat dengan taraf ekonom lemah.

Di titik ini, Karl Marx memang meramalkan sebuah akhir dari rezim kapitalisme dalam karyanya yang monumental “Das Kapital” jilid pertama. Menunggu kejatuhan kapitalisme adalah titik akhir dari dominasi produksi-produksi yang memonopoli semua keuntungan dari proses transformasi global yang menghimpit ekonomi dunia. Namun demikian, Marx masih menahan diri untuk memastikan ramalan akan kematian kapitalisme, karena disadari pertumbuhan dan ekspansi yang stabil merupakan faktor yang vital bagi eksistensi gaya hidup (life style) kapitalisme.

Sistem ekonomi kapitalis memberikan dampak berupa kemiskinan. Selain itu, sistem ekonomi kapitalis juga telah mencetak orang-orang yang bermental negatif. Mental negatif yang dimaksud adalah sikap kapitalisme pada diri pelaku ekonomi kapitalis seperti hanya memiliki orientasi pada keuntungan dan kenikmatan dunia semata tanpa memperhatikan keadaan orang lain serta aturan-aturan antara manusia dan penciptanya. Jelas, keadaan ini hanya menguntungkan manusia jika dilihat dari sisi duniawi, tapi jika dilihat dari hubungan vertikal manusia dan penciptanya, hal ini membuat manusia melupakan persiapan untuk menghadapi kehidupan yang kekal setelah hari akhir nanti yaitu kehidupan di alam akhirat.

Bukti nyata kegagalan sistem ekonomi kapitalis adalah kemiskinan yang sampai hari ini belum bisa dihilangkan dengan tuntas, baik di Indonesia maupun di seluruh negara berkembang. Kalaupun ada kemiskinan yang terlihat berkurang, itu hanya bersifat semu, dalam artian kemiskinan yang berkurang tersebut hanya menyentuh sebagian orang saja dan tidak bersifat menyeluruh. Ketika sistem ekonomi kapitalis dikatakan gagal dalam mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state), maka muncullah suatu ide brilian untuk membangun paradigma baru yang bisa mengangkat nilai dan moral ekonomi pada satu tatanan yang lebih humanis. Sehingga, diriliklah sistem ekonomi Islam sebagai paradigma humanism dan moral force bagi terciptanya partumbuhan ekonomi yang tidak saja mengandalkan untung rugi, melainkan diharapakan lebih mengarah pada prinsip-prinsip esensial sistem ekonomi berbasis etika dan moral.

Sistem Ekonomi Islam

Dalam konteks ini, penulis sengaja mengangkat penerapan sistem pendidikan ekonomi Islam sebagai bagian dari upaya untuk membangkitkan paradigma ekonomi yang berbasis Islam sesuai dengan tuntunan ajaran agama. Munculnya system ekonomi Islam, tidak bisa lepas dari sistem kapitalis yang telah merongrong kesejahteraan ekonomi masyarakat dunia pada ujung ketidakpastian dan kesengsaraan. Itulah sebabnya, kita perlu memfungsikan nilai-nilai moral dalam ekonomi Islam yang terkadang terikut arus oleh sistem kapitalis, sosialis, fasisme, dan komunisme.

Atas dasar ini, kita bisa membangkitkan ekonomi Islam ditengah benturan peradaban (clash of civilitization) dan mencuatnya iklim globalisasi untuk menghancurkan nilai-nilai moral Islami. Kita harus berjuang untuk menegakaan sendi-sendi ekonomi Islam dalam rangka membangun kekuatan ekonomi ummat agar terlepas dari bayang-bayang sistem kapitalis dan sosialis yang sebelumnya mendominasi sistem ekonomi global..

Berdasarkan analisis tersebut, maka ekonomi Islam dipandang perlu menerapkan kurikulum dengan mengacu pada kebutuhan dan kemaslahan ummat sebagai penggeraknya. Sebagai sebuah sistem, ekonomi Islam juga memiliki paradigma yang berlandaskan pada fondasi mikro (basic of micro foundations) dan landasan filosofis (philosophic foundations). (Muhammad, 2000). Paradigma inilah yang menjadikan ekonomi Islam jauh berbeda dengan sistem kapitalis dan sosialis yang cenderung mengabaikan kepentingan masyarakat dengan berbagai implikasinya.

Pada akhirnya, sistem ekonomi Islam lebih menitikberatkan pada tatanan nilai yang berlaku secara universal, baik yang berkaitan dengan pemikiran maupun perilaku sosial. Salah satu hal yang menarik dari kajian tentang sistem ekonomi Islam adalah terkait dengan penerapan kurikulum yang akan digunakan dalam praktek di lapangan, semisal dalam penelitian tentang ekonomi makro maupun mikro. Oleh karena itu, kita membutuhkan sistem ekonomi Islam yang penuh dengan nuansa nilai-nilai egalitarianisme, moral force dan kontek social dalam kehidupan masyarakat.

Mohammad Takdir Ilahi,
Staf Riset The Mukti Ali Institute UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Alamat: Gg. Ori 02. No. 6-F Papringan Depok Sleman Yogyakarta.
Email. tkdr_ilahi@yahoo.co.id.
No.Hp 08179445575.

Komentar