Optimisme Gerakan Pemberantasan Korupsi

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Apa jadinya negeri ini, jika sindrom korupsi semakin merajalela ke berbagai sektor lembaga negara, termasuk kepolisian, kejaksaan, kehakiman, maupun kepolisian. Selama ini kita mencermati praktek-praktek korupsi biasa dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang menduduki peran strategis di parlemen. Akan tetapi, perlahan-lahan praktek itu sudah menjalar ke lembaga penegak hukum dan peradilan yang sejatinya bertanggung jawab atas setiap tindakan hukum.

Bagi saya, berbagai kasus mafia hukum dan pajak ini menjadi bukti bahwa telah terjadi penyelewengan kekuasaan dan amanah yang luar biasa besarnya di berbagai lembaga pemerintahan. Tidak hanya itu saja, kasus itu semakin memperburuk citra dan reputasi pejabat dan pegawai pada instansi publik, seperti Dirjen Pajak, kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. Tidak mengherankan bila kepercayaan masyarakat kepada instansi tersebut semakin rendah dan menimbulkan sikap nisisme yang semakin meningkat pula.

Mencermati beragam kasus yang melibatkan pejabat publik tersebut, kita mencoba menelisik lebih jauh terkait dengan sikap pesimisme masyarakat terhadap kinerja wakil mereka di parlemen yang terkesan kurang berani dalam menyuarakan kebenaran dan keadilan. Sebagian besar politisi yang berlaga di Senayan masih belum memiliki sense of crisis terhadap keluhan dan penderitaan yang dialami masyarakat. Bahkan, diantara mereka ada yang terang-terangan mengabaikan nilai-nilai kebenaran dalam pengungkapan skandal Bank Century.

Belajar dari pengalaman itulah, saya semakin pesimisis dengan kinerja pejabat publik, terutama penegak hukum dan peradilan yang banyak terlibat dalam berbagai kasus mafia hukum dan pajak. Jika penegak hukum dan lembaga peradilan kita masih belum bisa terlepas dari rekayasa dan konspirasi hukum, maka nasib rakyat akan menjadi taruhannya. Bahkan, boleh dibilang dapat mengancam terhadap proses pembangunan nasional yang telah direncanakan sebagai bagian dari cita-cita bersama menuju masyarakat yang adil dan makmur.

Di lain pihak, masih ada sebagian masyarakat yang masih menyimpan rasa optimisme yang cukup tinggi terhadap penegakan hukum dan peradilan di Indonesia. Mereka berharap bahwa dengan terbongkarnya berbagai kasus mafia hukum dan pajak dapat menjadi momentum perbaikan dan intropeksi diri dalam memberikan kepastian hukum, agar masyarakat tidak merasa terkibuli dengan sikap berbenah pejabat publik tersebut.

Momentum Emas

Yang paling penting dalam pengungkapan semua kasus dan skandal tersebut dapat dijadikan kesempatan emas (golden opportunity) untuk terus menerus berjuang memberantas korupsi dengan cara sungguh-sungguh. Bagi saya, semua skandal itu sangat potensial untuk merekonstruksi integritas dan kredibilitas instansi dan pejabat publik agar tetap bersih dari praktek korupsi dan berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang dari pemerintah.

Sungguh sulit memang untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Hal ini tiada lain, karena praktek korupsi seolah-olah telah menjadi budaya bangsa sehingga tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan boleh dibilang, praktek korupsi kian hari semakin menjadi akut dan mengakar kuat di berbagai lini kehidupan, terutama di tubuh pemerintahan kita.

Tidak heran bila Arbi Sanit (2004), mengatakan bahwa tindak pidana korupsi di kalangan pejabat atau birokrat dapat muncul dalam berbagai bentuk. Ia dapat muncul dalam bentuk transactive (kesepakatan timbal balik), extortive (pemerasan atau paksaan dengan menggunakan kewenangan publik), defensive (menghindarkan dijadikan yang lebih besar), dan supportive (suatu korupsi yang mendukung tindakan yang lain).

Reformasi Birokrasi

Barangkali tidak mudah untuk mencari solusi strategis guna memberantas praktek korupsi yang kian hari semakin merajalela. Semua pihak harus bersatu dan membangun komitmen bersama untuk memerangi praktek korupsi, karena diyakini penyakit masyarakat tersebut sudah menjangkit ke semua lini kehidupan.

Oleh karena itu, dibutuhkan reformasi birokrasi dalam setiap lembaga penegak hukum dan peradilan, agar transisi kepercayaan masyarakat dapat berkurang. Reformasi birokrasi dimaksudkan untuk memulihkan kredibilitas birokrasi pemerintahan melalui pencapaian good government. Yakni dengan pengelolaan tata pemerintahan yang akuntabel, kredibel, dan sinirgis sehingga memberikan ruang yang cukup untuk membenahi sistem administrasi dan tatanan birokrasi yang kacau balau. (Kompas, 05/05/2010).

Diharapkan dengan pembenaan birokrasi pemerintahan secara total, para pejabat publik yang bertugas di lembaga penegak hukum dan peradilan bisa menjaga kredibilitas lembaganya sesuai dengan landasan norma dan hukum yang berlaku. Langkah demikian dapat memberikan jaminan ideal akan terciptanya bangunan birokrasi yang bersih dan akuntabel sehingga bisa memulihkan kepercayaan masyarakat yang sudah terlampau bersikap sinis kepada para penegak hukum yang dianggap mengkhianati negara demi kepentingan kekuasaan semata.

Pada titik inilah, kinerja pejabat publik harus dimulai dari komitmen untuk menjamin kepastian dan penegasan hukum sesuai dengan amanat Undang-Undang. Maka, demi menjamin kepastian hukum tersebut, perbaikan kinerja dan pembenahan tata pengelolaan pemerintahan yang baik harus berdasarkan pada nilai-nilai moralitas yang menjadi pijakan utama dalam pembangunan karakter bangsa (nation character building). Akhirnya, perbaikan pun harus dimulai dari aparat penegak hukum sendiri sehingga masyarakat bisa terlibat dalam usaha pemberantasan korupsi di Indonesia.

Mohammad Takdir Ilahi, Staf Riset The Mukti Ali Institute UIN Jogjakarta.
Emael. tkdr_ilahi@yahoo.co.id.
No.Hp 08179445575.

Komentar