Media Sosial: Ironi bagi Masa Depan Toleransi dan Keberagaman
Oleh. Mohammad Takdir Ilahi
Kemunculan berbagai media sosial di tengah kemajuan teknologi informasi
seolah menjadi potret kecanggihan manusia modern dalam menciptakan layanan
inovatif yang bermanfaat bagi kelancaran relasi diantara individu manusia di
berbagai belahan dunia. Pemanfaatan media sosial dalam konteks masa kini
merupakan instrumen penting untuk mempermudah interaksi dan jaringan dalam
berbagai aspek kehidupan. Manusia modern sekarang ini seolah tidak bisa lepas
dari media sosial yang dipergunakan untuk berbagai kepentingan, baik
kepentingan bisnis, media aspirasi, kritik, dan maupun kepentingan politik demi
memperoleh dukungan dari rakyat.
Banyaknya media sosial yang bermunculan di era teknologi informasi
memungkinkan adanya persaingan yang tidak sehat. Kemunculan facebook, twitter, vine, dan instagram merupakan bukti akan kemajuan
teknologi informasi yang tidak terbendung dalam dunia maya. Melalui media sosial, manusia dengan mudah berkomunikasi dengan
sejawatnya tanpa hambatan apa pun. Bisa dikatakan, bahwa saat ini umat manusia
telah sampai pada penjajahan global, sebuah petualangan jagat alam raya maya
yang melampaui realitas. Dari kemajuan inilah,
muncul berbagai harapan, euforia, dan optimisme dalam menyambut datangnya
sebuah era baru (new age) yang tidak terbungkus oleh sekat-sekat
geografis, ideologis, dan batasan-batasan normatif-etis dalam menjelajahi dunia
realitas.
Fenomena merebaknya media
sosial ini, oleh Erich Fromm (1977), disebut dengan hiperrealitas (hyperreality)
atau sebuah realitas virtual (virtual reality). Perkembangan media
sosial telah memungkinkan manusia hidup dalam dunia yang disebut ”desa global” (global
village), sebuah dunia yang
tak lebih besar dari layar kaca atau sebuah disket dengan perangkat lunaknya
yang mampu mengkalkulasi, memproduksi, dan me-replay segala bentuk
komunikasi media yang digunakan. Realitas virtual inilah, yang akan memberikan
jaminan yang lebih dari sekadar ”nihilisme” atau ”realitas kosong” (vacum
reality) untuk memenuhi hasrat utilitarian manusia. Utilitarianisme adalah
suatu sikap yang menunjukkan bahwa kebenaran dan kesalahan ditentukan oleh
banyaknya kesenangan dan ketidaksenangan yang diakibatkannya. (Astar Hadi,
2005).
Di tengah euforia kemajuan teknologi informasi, apakah
media sosial yang digunakan manusia modern sekarang ini merupakan sebuah berkah
atau bencana bagi terpeliharanya semangat toleransi dan keberagaman di
Indonesia? Pertanyaan ini tentu saja membutuhkan refleksi kritis dari setiap
individu manusia tentang kenyataan yang terlihat dalam setiap pemanfaaan media
sosial oleh semua kalangan, baik dari kalangan muda maupun kalangan usia tua. Pada
satu sisi, kehadiran media sosial yang begitu menjamur ini menjadi berkah
tersendiri bagi setiap orang di berbagai belahan dunia untuk melakukan
komunikasi secara bebas tanpa batas dengan siapa pun. Kemudahan memperoleh
informasi dan kelancaran komunikasi dengan setiap orang adalah satu berkah yang
membawa kebahagiaan bagi penggunanya. Namun, di sisi lain, media sosial banyak
juga memberikan pengaruh negatif bagi dekadensi moral generasi muda yang
terlalu berlebihan dalam memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi tersebut.
Saya mencermati bahwa kehadiran media sosial yang
berkembang pesat di dunia maya bisa menjadi bencana yang sangat besar bagi
moralitas generasi muda.
Fungsi media sosial yang semestinya dipergunakan untuk kebaikan, ternyata
banyak disalahgunakan untuk menyuburkan api permusuhan, kejahatan virtual,
sikap intoleran, dan diskriminasi atas nama agama. Salah satu bencana media
sosial yang sering disalahgunakan adalah menyebarkan api permusuhan melalui isu
SARA atau sentimen yang berbau sektarianisme dan primordialisme.
Dalam beberapa perhelatan
Pilpres dan Pilkada, isu SARA seringkali menjadi strategi jitu untuk
menjatuhkan citra lawan agar gagal mendulang suara sebanyak mungkin. Media
sosial, seperti facebook, twitter, maupun instagram menjadi instrumen untuk
melakukan kampanye hitam (black campaign)
terhadap lawan politiknya yang dianggap memiliki kharisma dan kekuatan yang
sangat besar. Media sosial lebih banyak dimanfaatkan untuk menyebarkan isu-isu
negatif yang bernada menjatuhkan dan menghina terhadap pasangan lain. Apalagi,
isu-isu yang disebarkan selalu menyangkut masalah sentimen sektarianisme dan
primordialisme yang mengusung api permusuhan antar pasangan calon.
Pemilihan pemimpin nasional
maupun daerah sesungguhnya merupakan isu politik untuk merebut simpati
masyarakat, tapi kenyataan di lapangan berubah menjadi isu SARA yang mengancam
terhadap harmoni toleransi dan keberagaman di Indonesia. Penyampaian visi dan
misi di media sosial lebih tampak adanya kampanye hitam yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai luhur dan keadaban bangsa. Kampanye hitam yang bernada intoleran
dan diskriminasi seolah tidak pernah berhenti mewarnai pemberiataan melalui
media sosial yang selalu hadir untuk menyerang pasangan calon lain dengan membuka tabir kemaluan masa lalu, yang berkaitan
dengan latar belakangan keluarga, suku, agama, dan lain sebagaianya.
Media sosial pada hakikatnya hadir untuk menyebarkan
virus kebaikan, tapi faktanya di lapangan tidak terjadi demikian. Justru, media
sosial seolah menjadi virus yang mematikan bagi terpeliharanya sikap toleransi
di Indonesia, yang semestinya menjadi instrumen untuk merayakan keberagaman (celebrate diversity) dengan penuh suka
cita dan kebahagiaan. Akibatnya, hubungan antar agama pun menjadi sebuah
taruhan untuk mengontrol isu-isu negatif yang berkembang di media sosial.
Dalam kasus pemilihan kepala daerah atau pilkada,
penggunaan media sosial lebih banyak digunakan untuk menyebarkan kejelekan
pasangan lain, bukan untuk bersaing idea tau gagasan. Pemberitaan di media
sosial mengenai pemilihan kepala daerah harus diakui lebih didominasi oleh
kampanye negatif dibandingkan dengan dengan kampanye sehat yang sesuai dengan
nilai-nilai keadaban bangsa dan harmoni agama. Perhelatan sebuah pesta
demokrasi melalui pemanfaatan media sosial seharusnya menjadi momentum untuk
memberikan pembelajaran politik yang mencerdaskan bagi segenap elemen bangsa
agar senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan, sikap saling
menghargai, dan toleransi antar sesama bangsa.
Sebagai bangsa yang majemuk, sudah saatnya segenap
elemen bangsa dari level atas sampai bawah, mendorong pemanfaatan media sosial
untuk menyebarkan virus kebaikan, terutama untuk terciptanya toleransi demi
perayaan keberagaman yang menjadi simbol kebhinnekaan Indonesia. Media sosial
apa pun namanya, harus menjadi instrumen untuk memberikan pendidikan politik
yang beradab, santun, bermartabat, dan bermoral demi tegaknya iklim demokrasi
yang menjunjung tinggi keberagaman Nusantara. Media sosial bukan lagi sebagai
jalan untuk menjatuhkan lawan, tetapi menjadi media yang memberikan kecerdasan
bagi segenap masyarakat.
Dengan mengusung optimisme tinggi, kita semua berharap
bahwa kehadiran media sosial bukan menjadi bencana bagi tegaknya harmoni antar
sesama bangsa, melainkan bisa menjadi berkah yang membawa kemaslahatan bagi
setiap orang. Sudah saatnya, pemikiran untuk menjatuhkan lawan dengan cara
menyebarkan fitnah dan perilaku rasis tidak lagi menjadi tontonan yang
memalukan di tengah iklim demokrasi yang sudah hampir matang. Media sosial
harus dimanfaatkan untuk tujuan membangun budaya menghormati, hidup
berdampingan (koeksistensi), dan bertindak aktif tanpa kekerasan (active non-violence) yang mencerminkan
diri sebagai bangsa yang luhur dan bermoral.
"Artikel ini diikutsertakan dalam Kompetisi Blog
yang diselenggarakan oleh ICRS dan Sebangsa”
Komentar
Posting Komentar
isilah komentar tentang blog saya