Optimisme Perempuan Indonesia Menyambut Abad 21

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi*

Ramalan dua Futurolog John Nisbith dan Patricia Aburden (2000), yang mengatakan bahwa “abad 21 merupakan abad perempuan”, patut dijadikan refleksi kritis bagi kita semua untuk menganalis masa depan dan perjuangan seorang perempuan. Betapa tidak, ramalan itu meniscayakan suatu keyakinan bahwa seorang perempuan akan menghadapi tantangan yang semakin besar. Jika memang benar, maka perempuan Indonesia haruslah menyambut abad ini dengan penuh optimisme yang tinggi. Yang menjadi pertanyaan adalah benarkah perempuan Indonesia sudah siap menyambut abad 21 ini?

Dalam konteks ini, kesiapan perempuan Indonesia dalam menyambut abad 21, bukan merupakan persoalan utama yang perlu diperdebatkan, tetapi bagaimana perempuan Indonesia harus benar-benar mampu bersaing dan berperan aktif dalam segala aspek kehidupan. Hal ini menjadi tuntutan bagi kaum perempuan untuk membuktikan dirinya kepada publik, bahwa dalam keterbatasannya, perempuan juga memiliki kesempatan yang sama seperti laki-laki.

Menyinggung tentang pernyataan Futurolog di atas, saya kembali menegaskan bahwa peran perempuan Indonesia tidak hanya dituntut berperan aktif dalam konteks nasional, tetapi perannya harus menyeluruh sampai ke luar negeri. Ini artinya, peran perempuan ketika berada di luar negeri juga perlu dioptimalisasikan agar pandangan dunia tentang perempuan Indonesia bisa diperhitungkan. Yang perlu dilakukan perempuan Indonesia ketika hidup di luar negeri adalah kematangannya dalam mengoptimalkan potensi dan skill yang dimilikinya agar cepat berkembang dan diharapkan mampu bersaing dengan perempuan dari negara lain.

Gerakan Fenimisme

Gerakan feminisme pada awalnya adalah gerakan yang mengorientasikan pada pemberdayaan kaum perempuan, karena beberapa alasan yang melatarbelakangi munculnya gerakan tersebut. Perlu di sadari, bahwa konsep gender yang pada mulanya sebagai konsep perempuan, ternyata tidak memiliki pengaruh berarti bagi masa depan perempuan ketika harus terjun langsung dalam dunia publik. Itulah kenapa, muncul para aktifis feminis yang mencoba menggerakkan emansipasi terhadap perempuan yang tertindas dan tidak mendapatkan tempat yang layak dalam kehidupan masyarakat.

Dalam hal ini, tradisi lama memang memberikan candu bagi kaum perempuan, dan seringkali menghambat kreativitas perempuan dalam keikutsertaannya mengisi pembangunan nasional. Hal ini disadari, bahwa perempuan dianggap tidak memiliki kemampuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan atau politik.

Untuk itu, diperlukan pemberdayaan, agar nantinya perempuan bisa ikut serta dalam merealisasikan program pembangunan di masa depan. Selama ini, kita tahu bahwa kaum perempuan hanya identik dengan rutinitas yang berhubungan dengan ranah domistik, sementara pada ranah publik, perempuan dianggap tidak bisa berperan banyak.

Melihat kenyataan inilah, R. A Kartini lahir sebagai pejuang emansipasi perempuan yang layak diberikan apresiasi dan penghargaan yang besar atas jasanya yang mampu membangkitkan kesadaran perempuan dalam segala aspek kehidupan. Di Indonesia, R. A Kartini adalah wanita pertama yang menyuarakan hak-hak kaum perempuan, karena banyak ditindas oleh laki-laki. Apa yang dilakukan beliau, hanyalah bertujuan agar perempuan Indonesia tidak selamanya menjadi objek pembangunan dan pada gilirannya harkat, martabat, dan derajat kaum pertempuan bisa terangkat.

Perjuangan dalam memberdayakan kaum perempuan, menurut R. A Kartini, perlu dibina dalam kerangka yang lebih luas. Ini karena, kouta perempuan dalam ranah politik masih sangat minim, sehingga menyebabkan partisipasi perempuan dalam ranah publik selalu didominasi oleh kaum laki-laki. Realitas ini menunjukkan, bahwa perempuan selama ini hanya dijadikan second person di bawah pengawasan dan bayang-bayang laki-laki.

Jejak –Jejak Kecermelangan Perempuan

Kalau kita mau bercermin pada sejarah, sebenarnya perempuan Indonesia sebelum bumi pertiwi ini merdeka sudah memiliki posisi yang amat strategis dalam berbagai sektor pembangunan. Hal ini dibuktikan, bahwa perempuan pun mampu menjadi pemimpin yang baik dan dinilai memiliki kapabilitas untuk memimpin sebuah bangsa sekalipun.
Puncak kejayaan perempuan sebagai pemimpin adalah pada abad 14. Di kerajaan Samudra Pasai ada Ratu Naharisyah, Laksamana Keumalahayati, Cut Nya’ Dien, kemudian di Majapahit ada Tribhuana Tungga Dewi yang memerintah selam 20 Tahun dan juga Sinta yang memerintah dari Tahun 1429 sampai dengan 1447.

Sedangkan dalam ranah lain, kodrat perempuan yang merupakan suatu keniscayaan, justru menjadi spirit dan kelebihan perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Spirit ini, menjadi acuan fundamental agar lebih termotivasi untuk meningkatkan peran dan partisipasi perempuan dalam segala aspek. Dalam hal aurat pun, perempuan yang dalam konsepsi Islam lebih ketat dan mengandung rangsangan yang lebih besar bila dibandingkan dengan aurat laki-laki, namun dalam gejala sosial hal itu justru sebaliknya.

Terlepas dari persoalan itu, semuanya adalah realitas yang tidak bisa terbantahkan bahwa Islam datang untuk membebaskan segala bentuk ketertindasan, penganiyaan, maupun pemerkosaan, termasuk di dalamnya terkait dengan ketertindasan perempuan oleh orang-orag jahly. Bahkan, persepsi Islam, “penguburan wanita hidup-hidup” yang pada masa itu telah menjadi budaya kaum jahiliyah, termasuk salah satu dosa besar yang berjumlah tujuh macam.

Pada titik inilah, perjuangan untuk mendapatkan keseteraan peran maupun posisi dalam aspek tertetu tidak hanya bisa dijalankan dalam jangka waktu yang singkat. Semuanya, membutuhkan jangka waktu yang cukup lama untuk menghentikan hegemoni laki-laki yang semakin tidak terbendung. Dalam artian, bahwa gerakan feminisme yang telah digerakkan oleh Kartini, tidak boleh berhenti di tengah jalan, tetapi mesti terus diberdayakan sampai perempuan mendapatkan posisi yang layak dalam kehidupan masyakarat.

*Mohammad Takdir Ilahi, Penulis Buku, Ajaran Seputar Gajah Mada, Ajaran Arjuna, dan Keajaiban Manchester United (Diva Press, 2009).

Komentar