Kesenian Tari Makin Mati Suri
Oleh. Mohammad Takdir Ilahi
Berdasarkan laporan pelaku kesenian di Yogyakarta, disebutkan bahwa gairah kesenian tari dari berbagai sanggar yang ada, ternyata mengalami pasang surut dan mati suri. Mandegnya pagelaran sanggar tari semakin memberikan tekanan bagi pelaku kesenian di Yogyakarta untuk berupaya membangkitkan semangat kesenian yang mulai redup diterpa badai kesepian.
Padahal, kesenian tari merupakan salah satu warisan kesenian nenek moyang kita yang telah lama berkembang pesat sejak dahulu kala.Tidak heran bila redupnya beberapa sanggar tari tersebut menyebabkan kegelisahan dan kekhawatiran tersendiri bagi pelaku kesenian secara khusus dan pecinta kesenian tradisional secara umum. Hal ini membuktikan bahwa sanggar-sanggar tari yang menjadi tempat latihan bagi seniman tari akan turut punah.
Dari laporan Kompas (8/5/2010), kelompok kesenian tari di Yogyakarta tak banyak yang tersisa. Jumlahnya boleh dibilang sangat minim dibandingkan jenis kesenian lain yang berkembang di provensi ini. Secara keseluruhan, jumlah kelompok kesenian yang masih tersisa ada 86 kelompok. Jumlah tersebut hanya berkisar 1,6 persen dari total 5.426 kelompok kesenian yang ada di Yogyakarta.
Kita bisa mengambil contoh keberadaan sanggar tari Krida Beksa Wirama yang merupakan sanggar tertua dan memiliki pengalaman dalam menghadapi hiruk pikuk persoalan kesenian di Yogyakarta. Setelah 14 tahun mengalami pasang surut dan bahkan mati suri pada 2004, ternyata masih menyimpan secercah harapan untuk bangkit dari gempuran modernitas yang mengkungkung nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom). Di tengah gempuran modernitas tersebut, ada upaya untuk menggelorakan kesenian tari tradisional yang mulai terancam keberadaannya.
Bila kita bercermin dari kesenian tradisional yang berkembang, ternyata kesenian tari jarang sekali dilirik oleh generasi muda sebagai warisan kesenian dari nenek moyang. Bahkan, generasi muda sudah terbuai oleh rayuan modernisasi dan kapitalisasi yang meniscayakan perubahan tingkah laku dan pola pikir dalam membangun paradigma berpikir yang instan dan bersifat artifisial.
Dengan kata lain, perkembangan kesenian mulai tersublimasi oleh kesenian modern yang lebih menjanjikan dan memberikan jaminan keuntungan bagi pelaku kesenian itu sendiri. Sementara, kesenian tari tradisional yang merupakan warisan nenek moyang sudah tidak lagi disentuh, apalagi sampai dilestarikan dengan tetap mengusung nilai-nilai lokal yang menjadi cermin kesenian tradisional.
Selain gempuran modernitas yang semakin menantang, prospek dan masa depan kesenian tari tidak menjanjikan keuntungan secara finansial, bahkan seringkali mengorbankan harta sendiri untuk sekedar menghidupkan pertunjukan tari. Hal itu merupakan persoalan di internal kesenian tradisional yang kurang mendapatkan perhatian dari instansi terkait yan memiliki kepedulian penuh terhadap masa depan kesenian Indonesia.
Kita boleh mengatakan bahwa faktor ketidakpedulian instansi terkait, terutama pemerintah menjadi dilema tersendiri bagi masa depan kesenian tari tradisional. Ketidakpedulian ini merupakan sebuah ironi yang cukup memilukan dan memberikan tekanan tajam bagi eksistensi sanggar tari yang masih tersisa untuk terus melestarikan warisan monomental ini. Sebagai sebuah ironi, ketidakpedulian pemerintah adalah potret buram yang mencerminkan respon negatif penguasa yang seharusnya turut andil dalam pelestarian kesenian tradisional.
Saya menyadari bahwa kesenian tari mengalami badai kepunahan dan tergerus oleh iklim gaya hidup yang semakin tinggi, sehingga kepedulian generasi muda pun turut luntur akibat persoalan klasik tersebut. Sungguh suatu kenyataan pahit yang harus ditanggung pelaku kesenian kita yang tampak putus asa untuk menggelorakan gairak kesenian dalam bertari. Padahal, kita tahu bersama bahwa kesenian tari memiliki makna filosofis yang cukup mendalam bagi pelestarian nilai-nilai lokal yang tumbuh dan berkembang.
Beragam jenis tarian Jawa klasik, seperti tari Serimpi atau Bedoyo sudah jarang kita lihat pementasannya. Bahkan, boleh dibilang mati suri akibat generasi muda tidak mau lagi mempelajari kesenian tari yang membutuhkan gerakan dasar dalam menciptakan tarian yang memukau dan menakjubkan. Kondisi ini menyebabkan kesenian tari perlahan-lahan hilang dari tradisi lokal di masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai warisan budaya leluhur mereka.
Menghidupkan Komunitas Sanggar
Sudah saatnya, semua pelaku kesenian di Yogyakarta bergerak lebih cepat dan ambil bagian dalam upaya membangkitkan kesenian tari tradisional. Jika tidak, warisan kesenian nenek moyang kita akan punah diterjang badai kesururatan dan kepanikan terhadap perkembangan kesenian modern yang sudah mencapai titik pencapaian tertinggi.
Menghadapi kenyataan demikian, para pelaku kesenian tari di Yogyakarta seharusnya tidak melupakan pemeliharaan komunitas sanggar tari yang menjadi tempat latihan bagi generasi muda untuk mempelajari gerakan tari itu sendiri. Dalam estetika dan idealisme kesenian, komunitas menjadi wadah berkumpulnya para seniman tari untuk menggagas kesenian tari yang lebih menjanjikan dan memberikan tantangan yang lebih mencerahkan.
Selain itu, keberadaan sanggar tari di Yogyakarta setidaknya bisa dilestarikan dan dipelihara dengan sebaik mungkin agar semangat berkesenian masyarakat Yogyakarta tetap menjadi nilai penting bagi pemberdayaan kearifan lokal itu sendiri. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan dana segar bagi sanggar tari dalam rangka menopang berbagai kegiatan dan pertunjukan yang hendak dipentaskan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Pada titik inilah, keberadaan sanggar-sanggar tari perlu diberdayakan agar mereka tidak berjuang sendiri di tengah himpitan ekonomi yang semakin bergejolak. Kepedulian kita terhadap warisan nenek moyang tersebut merupakan bagian dari sumbangsih yang diberikan untuk membangkitkan gairah kesenian tari yang mulai redup di lapangan. Sudah saatnya, rasa kepedulian kita ditunjukkan untuk memberikan keyakinan kepada pelaku kesenian agar mereka tidak merasa terabaikan dengan perkembangan kesenian modern yang lebih memberikan jaminan keuntungan.
*Mohammad Takdir Ilahi,
Peneliti Utama The Annuqayah Institute Jogjakarta dan Staf Riset The Mukti Ali Institute Fakultas Ushuluddin UIN Jogjakarta.
Emael. tkdr_ilahi@yahoo.co.id.
Berdasarkan laporan pelaku kesenian di Yogyakarta, disebutkan bahwa gairah kesenian tari dari berbagai sanggar yang ada, ternyata mengalami pasang surut dan mati suri. Mandegnya pagelaran sanggar tari semakin memberikan tekanan bagi pelaku kesenian di Yogyakarta untuk berupaya membangkitkan semangat kesenian yang mulai redup diterpa badai kesepian.
Padahal, kesenian tari merupakan salah satu warisan kesenian nenek moyang kita yang telah lama berkembang pesat sejak dahulu kala.Tidak heran bila redupnya beberapa sanggar tari tersebut menyebabkan kegelisahan dan kekhawatiran tersendiri bagi pelaku kesenian secara khusus dan pecinta kesenian tradisional secara umum. Hal ini membuktikan bahwa sanggar-sanggar tari yang menjadi tempat latihan bagi seniman tari akan turut punah.
Dari laporan Kompas (8/5/2010), kelompok kesenian tari di Yogyakarta tak banyak yang tersisa. Jumlahnya boleh dibilang sangat minim dibandingkan jenis kesenian lain yang berkembang di provensi ini. Secara keseluruhan, jumlah kelompok kesenian yang masih tersisa ada 86 kelompok. Jumlah tersebut hanya berkisar 1,6 persen dari total 5.426 kelompok kesenian yang ada di Yogyakarta.
Kita bisa mengambil contoh keberadaan sanggar tari Krida Beksa Wirama yang merupakan sanggar tertua dan memiliki pengalaman dalam menghadapi hiruk pikuk persoalan kesenian di Yogyakarta. Setelah 14 tahun mengalami pasang surut dan bahkan mati suri pada 2004, ternyata masih menyimpan secercah harapan untuk bangkit dari gempuran modernitas yang mengkungkung nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom). Di tengah gempuran modernitas tersebut, ada upaya untuk menggelorakan kesenian tari tradisional yang mulai terancam keberadaannya.
Bila kita bercermin dari kesenian tradisional yang berkembang, ternyata kesenian tari jarang sekali dilirik oleh generasi muda sebagai warisan kesenian dari nenek moyang. Bahkan, generasi muda sudah terbuai oleh rayuan modernisasi dan kapitalisasi yang meniscayakan perubahan tingkah laku dan pola pikir dalam membangun paradigma berpikir yang instan dan bersifat artifisial.
Dengan kata lain, perkembangan kesenian mulai tersublimasi oleh kesenian modern yang lebih menjanjikan dan memberikan jaminan keuntungan bagi pelaku kesenian itu sendiri. Sementara, kesenian tari tradisional yang merupakan warisan nenek moyang sudah tidak lagi disentuh, apalagi sampai dilestarikan dengan tetap mengusung nilai-nilai lokal yang menjadi cermin kesenian tradisional.
Selain gempuran modernitas yang semakin menantang, prospek dan masa depan kesenian tari tidak menjanjikan keuntungan secara finansial, bahkan seringkali mengorbankan harta sendiri untuk sekedar menghidupkan pertunjukan tari. Hal itu merupakan persoalan di internal kesenian tradisional yang kurang mendapatkan perhatian dari instansi terkait yan memiliki kepedulian penuh terhadap masa depan kesenian Indonesia.
Kita boleh mengatakan bahwa faktor ketidakpedulian instansi terkait, terutama pemerintah menjadi dilema tersendiri bagi masa depan kesenian tari tradisional. Ketidakpedulian ini merupakan sebuah ironi yang cukup memilukan dan memberikan tekanan tajam bagi eksistensi sanggar tari yang masih tersisa untuk terus melestarikan warisan monomental ini. Sebagai sebuah ironi, ketidakpedulian pemerintah adalah potret buram yang mencerminkan respon negatif penguasa yang seharusnya turut andil dalam pelestarian kesenian tradisional.
Saya menyadari bahwa kesenian tari mengalami badai kepunahan dan tergerus oleh iklim gaya hidup yang semakin tinggi, sehingga kepedulian generasi muda pun turut luntur akibat persoalan klasik tersebut. Sungguh suatu kenyataan pahit yang harus ditanggung pelaku kesenian kita yang tampak putus asa untuk menggelorakan gairak kesenian dalam bertari. Padahal, kita tahu bersama bahwa kesenian tari memiliki makna filosofis yang cukup mendalam bagi pelestarian nilai-nilai lokal yang tumbuh dan berkembang.
Beragam jenis tarian Jawa klasik, seperti tari Serimpi atau Bedoyo sudah jarang kita lihat pementasannya. Bahkan, boleh dibilang mati suri akibat generasi muda tidak mau lagi mempelajari kesenian tari yang membutuhkan gerakan dasar dalam menciptakan tarian yang memukau dan menakjubkan. Kondisi ini menyebabkan kesenian tari perlahan-lahan hilang dari tradisi lokal di masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai warisan budaya leluhur mereka.
Menghidupkan Komunitas Sanggar
Sudah saatnya, semua pelaku kesenian di Yogyakarta bergerak lebih cepat dan ambil bagian dalam upaya membangkitkan kesenian tari tradisional. Jika tidak, warisan kesenian nenek moyang kita akan punah diterjang badai kesururatan dan kepanikan terhadap perkembangan kesenian modern yang sudah mencapai titik pencapaian tertinggi.
Menghadapi kenyataan demikian, para pelaku kesenian tari di Yogyakarta seharusnya tidak melupakan pemeliharaan komunitas sanggar tari yang menjadi tempat latihan bagi generasi muda untuk mempelajari gerakan tari itu sendiri. Dalam estetika dan idealisme kesenian, komunitas menjadi wadah berkumpulnya para seniman tari untuk menggagas kesenian tari yang lebih menjanjikan dan memberikan tantangan yang lebih mencerahkan.
Selain itu, keberadaan sanggar tari di Yogyakarta setidaknya bisa dilestarikan dan dipelihara dengan sebaik mungkin agar semangat berkesenian masyarakat Yogyakarta tetap menjadi nilai penting bagi pemberdayaan kearifan lokal itu sendiri. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan dana segar bagi sanggar tari dalam rangka menopang berbagai kegiatan dan pertunjukan yang hendak dipentaskan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Pada titik inilah, keberadaan sanggar-sanggar tari perlu diberdayakan agar mereka tidak berjuang sendiri di tengah himpitan ekonomi yang semakin bergejolak. Kepedulian kita terhadap warisan nenek moyang tersebut merupakan bagian dari sumbangsih yang diberikan untuk membangkitkan gairah kesenian tari yang mulai redup di lapangan. Sudah saatnya, rasa kepedulian kita ditunjukkan untuk memberikan keyakinan kepada pelaku kesenian agar mereka tidak merasa terabaikan dengan perkembangan kesenian modern yang lebih memberikan jaminan keuntungan.
*Mohammad Takdir Ilahi,
Peneliti Utama The Annuqayah Institute Jogjakarta dan Staf Riset The Mukti Ali Institute Fakultas Ushuluddin UIN Jogjakarta.
Emael. tkdr_ilahi@yahoo.co.id.
Komentar
Posting Komentar
isilah komentar tentang blog saya