Renungan Waisak: Spiritualitas sang Budha dan Toleransi Beragama

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi*

Peringatan dan perayaan Hari Waisak 2554 tahun ini menjadi momentum kebangkitan bangsa dari segala keterpurukan yang terus-menerus mewarnai dinamika kehidupan masyarakat kita. Kita patut merenung dan menghayati dengan penuh hikmad pesan-pesan sang Budha yang memberikan semangat hidup bagi kedamaian dunia. Pesan-pesan sang Budha tentu tidak hanya dimaknai sebagai pesan serimonial belaka, melainkan harus diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata yang dapat menyentuh derut nadi seluruh ummat manusia.

Kita semua tahu bahwa setia tahun pada bulan Waisak, seluruh dunia merayakan tiga peristiwa penting yang terjadi pada manusia agung yang bernama Sidharta Gautama. Ia lahir tahun 623 sebelum Masehi di Taman Lumbini atau Rummindei dan pada tahun 588 sebelum Masehi, Sidharta mencapai keterbangunan nurani secara paripurna, kemudian pada 543 beliau wafat di hutan Sala milik suku Malla, Kusinara.

Tiga peristiwa agung ini merupakan sebuah dinamika kehidupan yang penuh dengan totalitas demi pencapaian besar bagi kemajuan kemanusiaan, peradaban, dan alama semesta. Melalui renungan spiritualitas yang telah dikobarkan Sidharta, kita patut mengarifi kemuliaan hatinya yang mampu meruntuhkan kemewahaan hidup manusia sehingga mencapai titik sempurna.

Spiritualitas Paripurna

Kita sadari renungan Sidharta bukanlah suatu pencapaian yang berangkat dari ketakutan atau arogansi ke-akuan, melainkan didasarkan pada penderitaan langsung yang pernah dialaminya ketika berjuang melawan angkara murka, kesombongan, dan kerakusan hidup manusia.

Perjuangan Sidharta dalam memaknai kehidupan dan mengupayakan terciptanya bangunan spiritualitas yang paripurna merupakan perjuangan yang berangkat dari hati nurani dan akal budi sehingga kemuliaan hatinya patut kita teladani. Potret perjuangan Sidharta dalam merekonstruksi peradaban manusia yang mengalami krisis spiritual dan kemanusian, begitu sangat mempesona sehingga menggetarkan hati dan pikiran manusia sekarang ini.

Dalam kontemplasi Sidharta, kebangkitan bukanlah monopoli milik-Nya dan bukan sesuatu yang lahir di luar potensi manusia, melainkan dalam diri manusia itulah terdapat potensi spiritualitas yang paripurna dan luar biasa (buddhata). Oleh karena itu, tugas kita sekarang adalah bagaimana membuka jalan kehidupan manusia pada satu titik kulminasi yang monomental.

Pada momen yang berbahagia ini, kita semua patut meneladani pendiri agama Budha, yakni Sidharta Gautama yang telah mampu mewariskan nilai-nilai moral dan akal budi bagi seluruh ummat Budha di Indonesia. Warisan monumental Sidharta telah meruntuhkan aroma kemewahan menuju kesederhanaan yang terbingkai melalui kematangan dalam bermeditasi demi meraih ketenangan dan kesempurnaan hidup (nirwana).

Bagi ummat Budha sendiri, perayaan Waisak menjadi momentum kebangkitan dari krisis spiritual menuju kematangan pribadi yang paripurna. Penderitaan sang Budha ketika meninggalkan rumah untuk hidup dan belajar bersama para pertapa Hindu, sejatinya merupakan suatu petualangan spiritual yang cukup menakjubkan.

Setelah enam tahun, konon katanya, ia mencapai nirwana, keadaan gembira yang langka ternyata telah mampu melampaui penderitaan dan karma. Sesudah itu, ajarannya dianggap menyimpang dari aliran utama Hindu pada masa itu, sehingga ia pun mengembara ke sebelah selatan India guna mencari prinsip-prinsip spiritual yang dapat membentuk fondasi Budhisme. Tempat itu kemudian dikenal dengan sebutan Bodgaya, yang dijadikan tempat bersemedi dan bertapa selama beberapa tahun guna mencari ilham sejati yang diharapkan mampu memberikan tuntunan hidup tentang kelepasan hidup samsara dengan mudah.

Pada akhirnya, di bawah pohon pippala (arak), ia memperoleh apa yang dicita-citakan, yakni ajaran tentang sebab akibat penderitaan (samsara) dan cara-cara mendapatkan kelepasan yang tersimpul dalam pandangan filosofis. Ketika itulah, sang Budha menyampaikan khotbah pertamanya di kotan Benares (di tepi sungai Gangga) kepada masyarakat. Tidak heran bila ummat Budha mempercayai empat kota suci, yakni Kapitalavastu, Bodhgaya, Benares, Kusinagara.

Sikap Toleran dan Kritis

Pada momen bersejarah nan agung ini, ummat Budha di seluruh dunia diharapkan mampu meneladani pesan-pesan damai dan toleran sang Budha. Selain itu, kita bisa mengambil hikmah dari jalinan kata-sabda sang Budha yang tidak hanya berisi tentang pesan-pesan kebajikan dan kemuliaan hati, melainkan juga mengandung sikap kritis dan toleran terhadap keyakinan agama lain.

Tidak heran bila Gunaseela Vitanage (2000) dalam “Sikap Budha terhadap Agama Lain”, menguraikan beberapa fakta yang lahir dari jalinan kata-sabda sang Budha yang sangat toleran dalam bersikap dan memandang agama lain. Sikap yang ditunjukkan sang Budha mencerminkan suatu kearifan dan penghargaan sedalam-dalamnya terhadap agama lain.

Pertama, tujuan dan misi Budha di dunia bukan untuk mengumpulkan pengikut dalam jumlah besar atau sekedar meminta mereka mengubah label-label agama, melainkan untuk mengajarkan manusia tentang kebajikan, kemuliaan hati, akal budi, kepercayaan agama, filsafat, dan metode untuk meningkatkan “segala sesuatu yang berkaitan dengan tindakan korupsi dan ketegangan politik yang tidak sehat”.

Kedua, bahwa ia tidak menginginkan penganut agama lain berharap menjadi muridnya. Bahkan, sang Budha mengakui bahwa bahwa nilai-nilai kepercayaan, baik dalam ukuran besar atau kecil, juga terdapat dalam agama lain.

Ketiga, bahwa metode pelatihan dari sang Budha bersifat edukatif dan mencerahkan. Itulah sebabnya, ia tidak berkaitan dengan indoktrinasi dengan serangkaian ajaran dan dogma misterius yang dianggap tidak memiliki makna nyata.

Keempat, bahwa sang Budha tidak pernah mengklaim dirinya sebagai penyelamat dalam pengertian orang yang memikul beban dosa orang lain. Akan tetapi, ia penyelamat dalam arti orang yang mengajarkan kebenaran yang menyelamatkan dan kebenaran yang membimbing orang menuju kelepasan terakhir dari penderitaan (vimutti).

Berbagai sikap kritis dan toleran sang Budha terhadap agama-agama lain saat itu terlihat sangat baik, karena tidak ada motivasi apa pun yang dipendam untuk memaksakan orang untuk mengikuti ajaran Budha. Dengan kata lain, sikap sang Budha terhadap agama lain adalah suatu kritik yang objektif dan mengenal (informed), sementara pada saat yang sama sangat menjunjung tinggi semangat toleransi dan pengakuan terhadap ekistensi agama lain.

Maka, seiring dengan momentum Waisak ini, ummat Budha Indonesia seharusnya memperkuat sikap toleran terhadap agama lain dan diharapkan ikut terlibat dalam memajukan semangat persatuan dan kesatuan bangsa melalui penghargaan terhadap keniscayaan pluralitas, kemajemukan, multikulturalisme, dan lain sebagainya.

Mohammad Takdir Ilahi, Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta, sedang studi perbandingan Agama di UIN Jogjakarta.

Komentar

Posting Komentar

isilah komentar tentang blog saya

Postingan Populer