Ketoprak, Kesenian Tradisional yang Mulai Redup

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi*

Perkembangan kesenian tradisional dewasa ini mulai mengalami pasang surut. Berbagai problem terus mewarnai eksistensi kesenian tradisional yang menjadi aset masyarakat dalam menumpahkan segala kreativitasnya yang dimiliki. Padahal, kesenian tradisional merupakan warisan budaya lokal yang dirintis oleh nenek moyang kita pada masa lampau, sehingga sampai saat ini masih berkembang dan mewarnai berbagai kesenian tradisional yang ada di Indonesia.

Namun, seiring dengan perkembangan kesenian modern yang lebih mapan dan menjanjikan, kesenian tradisional mulai redup dari permukaan bahkan tidak menutup kemungkinan aset budaya lokal tersebut akan sirna diterpa badai kepunahan. Lebih parah lagi, bila minat dan hasrat kaum muda semakin terbuai oleh arus modernisasi yang mengusung kebudayaan global sehingga perlahan-lahan bisa mengancam warisan monomental nenek moyang kita.

Inilah yang terjadi dengan kesenian ketoprak, yang merupakan salah satu kebanggan masyarakat Yogyakarta sejak dahulu kala. Menurut Widayat, ketoprak dalam percaturan kesenian tanah air mulai berkembang pesat sejak tahun 1980-1990-an yang memberikan hiburan berarti bagi masyarakat. (Kompas, 14/5/2010). Perkembangannya meluas ke seluruh elemen masyarakat, terutama masyarakat pedesaan yang banyak menggemari keseniaan tradisional ini. Bahkan tidak jarang, mereka menjadikan ketoprak sebagai wahana untuk mendapatkan semangat dalam menjalani hiruk-pikunya kehidupan.

Problem Kesenian Ketoprak

Fenomena ketoprak yang banyak disorot, tentu memiliki faktor pemicu. Salah satunya adalah pelaku kesenian ketoprak dinilai tidak mampu mengelola para penontonnnya agar tetap bertahan dan menikmati pertunjukan yang disuguhkan dalam ketoprak itu sendiri. Tidak heran bila masyarakat sekarang sudah mulai meninggalkan kesenian ini dan beralih pada kesenian modern yang lebih menantang dan menawarkan nuansa baru yang mencerahkan. Problem semacam ini, perlu kita pikirkan bersama terutama oleh pelaku ketoprak, kenapa ketoprak yang menjadi aset budaya lokal tidak mampu berkembang dan mulai menampakkan keredupannya?

Sebagai generasi muda yang memiliki kepedulian terhadap kesenian tradisional, kita dituntut untuk melakukan pengkajian terkait dengan meredupnya ketoprak di tengah-tengah masyarakat. Hemat saya, sebenarnya ada dua hal utama yang menjadikan ketoprak tidak berkembang dan sepi dari minat penonton.

Pertama, sebagian besar masyarakat sekarang sudah menganggap bahwa ketoprak tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman dan tidak memiliki secercah harapan untuk bersaing dengan kesenian modern yang lebih menjanjikan. Alasan inilah yang barangkali membuat masyarakat tidak tertarik lagi untuk menonton ketoprak, karena dianggap tidak menampilkan kesan atraktif dan kreatif, sehingga masyarakat beralih pada media lain yang lebih dinamis dan memberikan alternatif hiburan yang informatif dan inovatif, semisal televisi, radion, film dan lain sebagainya.

Kedua, sepinya penonton yang memadati pertunjukan ketoprak. Ketika minat penonton ketoprak sudah tidak ada, maka implikasi adalah bermuara pada terancamnya pelestarian kesenian tradisional ini. Kita dapat mengambil contoh berbagai kelompok ketoprak di Yogyakarta sendiri yang benar-benar kembang kempis untuk mempertahankan eksistensinya. Apabila mengadakan pertunjukan, setiap pentas mereka hanya ditonton segelintir orang. Sungguh sangat ironis, akan tetapi inilah kenyataan pahit yang harus diterima dengan penuh kebesaran jiwa sehingga kita menunggu keseriusan banyak pihak untuk tetap membuat ketoprak tetap lestari.

Substansi Pencitraan Ketoprak

Terlepas sorotan terhadap ketoprak yang mulai redup, pertunjukan kesenian tradisional itu memiliki manfaat dan pelajaran berharga bagi masyarakat. Fenomena ketoprak bagi masyarakat Yogyakarta seolah-olah menjadi icon dan aset budaya yang sangat dibanggakan dan diapresiasi sebagai kesenian daerah yang mampu menampakkan perkembangan dan persaingan dengan kesenian tradisional yang lain. Bagi masyarakat yang menggemari pertunjukan ketoprak, mereka mempunyai kebiasan membawa anak-anak mereka untuk ikut serta menonton berbagai tema menarik yang banyak menceritakan tentang perjuangan para pahlawan dalam menumpas penjajah dan kisah-kisah wayang yang menggugah hati penonton.

Dari sinilah, kita bisa tahu bahwa perjuangan yang dikobarkan pada pahlawan kita di masa perang kemerdekaan tidak mudah. Para pahlawan kita berjuang dengan sekuat tenaga agar bangsa ini terlepas dari segala bentuk penjajahan yang merongrong stabilitas perekonomian rakyat dan menyiksa rakyat dengan kejam. Demikian juga bila pertunjukan ketoprak berkisah tokoh wayang yang memberikan inspirasi pembelajaran tentang keteladanan pemimpin dalam menebarkan amal kebaikan kepada sesama.

Pada titik inilah, kesenian ketoprak banyak menawarkan pencitraan tentang konsep kepemimpinan yang ideal dan bertanggung jawab. Banyak sekali kisah maupun keteladanan yang kita dapatkan ketika menonton ketoprak. Salah satunya adalah kita dapat terhibur dengan tema pertunjukan ketoprak yang menggugah hati dan pikiran kita sehingga mereka mampu mengambil inspirasi tentang perjalanan kehidupan yang membutuhkan perjuangan dan pengorbanan secara sungguh-sungguh.

Revitalisasi Ketoprak

Ketika suatu kesenian tradisional mulai redup, maka sikap kita menanggapi persoalan demikian adalah dengan mencari solusi alternatif. Solusi yang paling preventif dan efektif, yaitu dengan revitalisasi dan pengembangan ketoprak bagi generasi muda. Revitalisasi ketoprak merupakan salah satu langkah primordial untuk kembali membangkitkan ketertarikan (interesting) generasi muda terhadap kesenian tradisional ini agar tetap berkibar sebagai warisan budaya lokal.

Kita mesti melakukan terobosan baru agar masyarakat tidak meninggalkan kesenian tradisional tersebut. Barangkali dengan terobosan baru itu, masyarakat akan kembali tertarik menonton ketoprak sebagai aset paling berharga masyarakat. Maka, revitalisasi ini perlu dilakukan ke seluruh elemen masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap kesenian tradisional.

Strategi untuk merevitalisasi ketoprak ini adalah dengan memberikan nuansa baru dalam setiap pertunjukan yang dilaksanakan. Para pemerhati ketoprak tentunya harus berupaya untuk mengembangkan kreativitas baru yang lebih segar dan mencerahkan. Yang penting adalah pementasannya harus lebih menarik dan membuat penonton terhibur dengan puas.

Karena itu, semua pihak yang berkompeten terhadap eksistensi ketoprak dituntut untuk bekerja sama dalam melestarikan kesenian tradisional ini agar tetap eksis di tengah-tengah gencarnya arus globalisasi. Semoga dengan dukungan banyak pihak, ketoprak akan tetap menjadi aset budaya lokal yang berkembang dan tidak tergerus oleh perkembangan zaman.

*Mohammad Takdir Ilahi,
Peneliti Utama The Annuqayah Institute Jogjakarta dan Staf Riset The Mukti Ali Institute Fakultas Ushuluddin UIN Jogjakarta.

Komentar