Rohingya dan Kolonialisme Radikal
Oleh. Mohammad Takdir Ilahi
Imigran Rohingya yang
terdampar di perairan Indonesia sungguh menjadi keperihatinan kita bersama.
Ratusan etnis Rohingya yang terusir dari tanah air mereka seolah membuka mata
hati kita akan ketidakadilan dan
kekejaman terhadap etnis minoritas di negara yang mayoritas wargnya beragama
Budha.
Di saat negara-negara
di perairan Malaya, seperti Thailand, Malaysia, dan Bangladesh, menolak memberi
tempat persinggahan sementara, pemerintah Indonesia menunjukkan keramahan
terhadap muslim Rohingya yang terusir dari tanah air sendiri. Di negeri mereka,
muslim Rohingya mendapatkan perlakuan sangat kejam berupa pembakaran rumah,
pembasmian etnis, dan pengusiran.
Demi memperoleh tempat
persinggahan, muslim Rohingya berkelana mengarungi samudra selama
berbulan-bulan tanpa persedian bahan makanan yang cukup. Bersama dengan
perempuan dan anak-anak, mereka berjuang antara hidup dan mati meskipun harus
terapung-apung di perairan Malaya setelah mengalami apa yang disebut dengan
“persekusi” di Burma. Konflik etnis dan agama telah menjadikan muslim Rohingya
sebagai warga yang terjajah di negeri sendiri. Sebuah ironi yang sebenarnya
tidak boleh terjadi di era modern yang telah mengubur sistem penjajahan dan
perbudakan sebagai upaya memperkuat eksistensi.
Keramahtamahan
Setelah mendapatkan
penolakan secara tidak hormat dari beberapa negara tetangga, muslim Rohingya
akhirnya terdampar di laut Indonesia. Pemerintah Indonesia dengan suka rela
menerima persinggahan mereka yang dalam kondisi sangat memperihatinkan. Segala
kebutuhan hidup mereka pun ditanggung sementara waktu sambil mencari solusi
yang tepat untuk membicarakan nasib mereka selanjutnya.
Meskipun hanya bersifat
sementara, mereka sangat berterimakasih kepada Indonesia yang sudah berbaik
hati menerima kehadiran mereka yang mengalami persekusi di tanah kelahiran
sendiri. Apa yang dilakukan Indonesia terhadap muslim Rohingya tidak lebih
sebagai bentuk solidaritas atas nasib mereka yang terusir dari negeri sendiri.
Sebuah perlakuan yang ramah dan bersahabat terhadap warga negara lain yang
tidak mempunyai tempat tinggal untuk sekadar melanjutkan hidup.
Barangkali perlakuan
ramah Indonesia sesuai dengan apa yang ditulis Immanuel Kant dalam risalahnya, Perdamaian Abadi, yang direpresentasikan
sebagai “keramahtamahan universal” (universal
hospitality), yaitu hak seseorang atau kelompok untuk diterima dan
diperlakukan secara manusiawi di negeri orang lain tanpa ada kebencian, fobia,
prasangka, dan permusuhan yang berlebihan.
Kant memahami bahwa
“keramahtamahan” mencerminkan persahabatan universal untuk menjamin hak warga
asing untuk tidak diperlakukan seperti binatang ketika mereka tiba atau singgah
di sebuah teritori negara lain. Bagi Kant, hak untuk diterima sebagai sesama
manusia harus dilakukan, karena umat manusia hidup di suatu bumi yang sama.
Siapa pun yang merasa sebagai umat manusia, maka tidak ada alasan untuk
menerima mereka sebagai bentuk persaudaraan universal.
Kolonialisme Radikal
Argumen Kant memberikan
kritik tajam terhadap perilaku kolonialis yang menunjukkan “perilaku tidak
ramah” terhadap sebuah etnis yang ingin hidup damai dan sejahtera. Saya ingin menyebut
kasus Rohingya sebagai bentuk kolonialisme baru yang lebih kejam daripada
kolonialisme masa lalu yang memang bertujuan untuk memperluas kekuasaan dan
kekayaan demi kepentingan negaranya sendiri.
Sementara kasus
Rohingya, mencerminkan bentuk kolonialisme radikal dengan melakukan pengusiran,
perbudakan, dan penindasan terhadap warga mereka sendiri. Kasus Rohingya bisa
dikatakan sebagai cermin dari etnis di suatu negara yang terjajah dan
mendapatkan perlakuan diskriminatif dari negara.
Penindasan terhadap
penduduk asli, sebagaimana yang dialami etnis Rohingnya, merupakan bentuk
kolonialisme baru yang lebih dahsyat dari imperialisme yang terjadi pada masa
lalu. Apa yang terjadi pada etnis Rohingya sungguh sangat memprihatinkan,
karena mereka terjajah dan terusir di negeri sendiri, yang disertai dengan
penindasan, pembunuhan, dan sekumpulan kejahatan yang menyengsarakan ras
manusia.
Solidaritas
Kemanusiaan
Kemurahan
Indonesia untuk menampung sementara muslim Rohingya yang
terdampar di Aceh, bukan didasarkan atas misi terselubung untuk memperoleh
pujian dari negara-negara lain, melainkan memang atas dasar kemanusiaan yang
memberikan penghormatan kepada warga negara asing yang terusir dari negeri
sendiri. Atas dasar itulah, Indonesia tidak berpikir dua kali untuk menerima
mereka meskipun hanya bersifat sementara.
Indonesia menerima
persinggahan imigran Rohingya bukan juga karena mereka sebagai etnis muslim,
tetapi dilandasi oleh semangat untuk menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang
mempunyai hak hidup dan tempat tinggal. Hal ini sesuai dengan amanah Deklarasi
Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948, yang menyatakan bahwa “setiap
orang memiliki hak untuk mencari dan menikmati suaka di negeri lain dari
persekusi”.
Atas dasar solidaritas
kemanusiaan dan pertalian antar sesama ciptaan Tuhan, Indonesia memberikan
jaminan keamanan dan persediaan kebutuhan hidup bagi muslim Rohingya untuk
bernafas lega dari segala bentuk penindasan dan kekerasan yang mereka alami
selama bertahun-tahun. Hal ini juga sesuai dengan visi “kosmopolitan” antar
negara yang memberikan jaminan bagi setiap manusia untuk menempati dan menghuni
bumi ini tanpa ada perasaan takut dan intimidasi dari orang lain.
Visi “kosmopolitan” ini
tampaknya sesuai dengan harapan muslim Rohingya untuk memperoleh hidup yang
layak demi pengakuan dan penghormatan sebagai sesama manusia yang juga diberik
hak untuk menempati bumi tanpa harus terombang-ambing atau telantar di lautan.
Kasus Rohingya ini menyadarkan kita semua bahwa mereka juga manusia yang berhak
memperoleh tempat tinggal atau suaka dari bangsa-bangsa yang telah menolaknya.
Bangsa-bangsa yang
menolak mereka seharunya bisa memahami pengertian kewarganegaraan yang
sebenarnya. Kewarganegaraan jangan hanya didefinisikan sebagai identitas dari
warga sendiri atau pertalian antar bangsa-bangsa, melainkan lebih kepada
pertalian antar manusia. Bahkan, jika dicermati, etnis Rohingya sesungguhnya
berasal dari rumpun yang hampir sama dengan bangsa-bangsa yang telah menolak
persinggahan mereka.
Sekali lagi, sikap
ramah Indonesia atas muslim Rohingya, merupakan bentuk solidaritas antar sesama
manusia yang juga berhak memperoleh hidup layak, aman, damai, dan terhindar
dari segala bentuk penindasan. Solidaritas dalam bentuk materi dan dorongan moril merupakan salah
satu bentuk kepedulian Indonesia terhadap muslim Rohingya. Apalagi Indonesia
merupakan bangsa yang pluralis yang selalu menghargai sesama tanpa memandang
perbedaan etnis, adat-istiadat, bahasa, budaya, dan agama sekalipun.
Kita semua berharap, kasus yang menimpa muslim Rohingya mendorong semua
negara untuk membantu mereka agar terlepas dari kubangan penderitaan,
kesengsaraan, dan penindasan yang terus-menerus. Kita juga harus menampilkan
diri sebagai bangsa yang peduli dan mempunyai solidaritas kuat untuk memperjuangkan nasib mereka ke arah yang lebih baik. Semoga!
*Mohammad
Takdir Ilahi,
Alumnus Studi Agama dan Resolusi Konflik, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar
isilah komentar tentang blog saya