Kenapa Anak Madura Memilih Kuliah di Jogja?

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Sebagai kota pendidikan, Jogja menjadi sentrum peradaban dan pencetak generasi potensial, berkepribadian luhur, cerdas, dan bermoral. Tidak heran, kalau banyak mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia belajar dan kuliah di kota gudeg ini. Di berbagai perguruan tinggi di Jogja, kita akan berinteraksi dengan teman-teman yang berbeda kultur, adat istiadat, agama, maupun bahasa.

Di samping karena memiliki fasilitas pendidikan yang cukup memadai, masyarakat Jogja juga dikenal ramah tamah dan sopan santun terhadap mahasiswa perantau yang berasal dari luar daerah di Indonesia. Sikap tutur sapa yang lemah lembut, membuat mahasiswa yang tidak mengenal sama sekali kultur Jogja, menjadi lebih betah dan merasa nyaman dengan sambutan dan pelayanan akomodasi yang disediakan masyarakat Jogja.

Selain penyambutan yang baik dan tutur kata yang halus, masyarakat Jogja juga dikenal sangat religius dan agamis. Setiap waktu, ketika saya memperhatikan secara seksama, mereka sangat antusias dan disiplin melaksanakan perintah agama walaupun berada di tengah-tengah gemburan modernitas. Kedisplinan dan keseriusan mereka dalam melaksanakan aktifitas apa pun, menjadi daya tarik tersendiri bagi teman-teman yang hendak kuliah di Jogja.

Bagi orang tua yang tidak pasrah anaknya kuliah di kota metropolitan seperti Jogja, memang menjadi kekhawatiran tersendiri, karena takut kualitas iman dan keyakinan mereka terhadap ajaran agama terabaikan. Sebagian orang tua masih berpikir-berpikir untuk mengidzinkan anaknya kuliah di kota besar, apalagi menyangkut pergaulan yang sangat bebas.

Namun, ketika anak tersebut berkeinginan kuliah di Jogja, ternyata mayoritas orang tua memberikan restu dan idzin kepada anak mereka. Apalagi, mereka-mereka yang berasal dari pulau terpencil seperti Madura yang lebih banyak memilih Jogja sebagai tempat tujuan menimba ilmu pengetahuan. Orang tua mereka yakin, bahwa anaknya bisa menjaga menjaga diri dan mempertahankan kualitas ibadah mereka yang sangat kental dengan nilai-nilai spiritualitas dan moralitas.

Hal ini tidak berlebihan, karena sebagian besar mahasiswa Madura adalah alumni pondok pesantren di berbagai daerah. Bahkan, kalau boleh dikatakan sekitar 99 persen mahasiswa Madura yang kuliah di Jogja adalah lulusan pesantren yang bisa dianggap faham terhadap ajaran Islam beserta prakteknya. Data yang saya peroleh dari Ketua Keluarga Mahasiswa Jogjakarta (KMY) pada tahun 2009, ada sekitar 600-an mahasiswa Madura yang kuliah di Jogja. Mereka tersebar di berbagai perguruan tinggi, diantaranya UIN Sunan Kalijaga, UGM, UNY, UII, UPN, UMY, AMIKOM, UAD, dan lain sebagainya.

Terlepas dari hal itu, anggapan yang selama ini dikenal oleh orang luar tentang watak keras orang Madura, memang harus ditepis dari permukaan, karena sikap dan tingkah laku orang Madura tidak seperti yang banyak orang bilang. Madura dikenal sebagai masyarakat yang religius dan memiliki semangat gotong royong yang sangat kuat di antara sesama.

Kesamaan Nilai-Nilai Lokalitas dan Spiritulitas

Makna filosofis yang paling menonjol dari gambaran kota Jogja adalah simbol masyarakat religius dan beradab. Kita tahu, bahwa Jogja memiliki nilai religiusitas yang sangat tinggi, apalagi ketika hari-hari besar Islam. Masyarakat mereka sangat antusias dan begitu kental dengan warisan budaya lokal dan Islam yang sampai saat ini masih tetap terpelihara dengan baik. Bandingkan dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia, Jogja tetap menjadi sentrum peradaban, pendidika, kebudayaan, dan keagamaan yang terbina secara berkelanjutan tanpa intervensi budaya global.

Di lain pihak, nilai-nilai lokalitas masyarakat Jogja menggambarkan kesatuan keberagaman (the unity of multiply) yang bersifat multikultural. Apalagi, ditopang dengan nilai inklusifitas dan heteregonitas yang mencerminkan masyarakat terbuka dan majemuk. Makna filosofis ini, menunjukkan bahwa Jogja mampu mencerminkan kearifan lokal (local wisdom) dengan tidak mengabaikan kearifan global (global wisdom) yang sesuai dengan tradisi dan kebudayaan Jogja.

Terbukti, dalam kurun waktu yang cukup lama, Jogja tetap mampu menunjukkan diri sebagai kota karaton yang dipimpin seorang raja, sekaligus kota yang mampu bersaing secara global dalam percaturan politik nasional. Di samping itu, Jogja juga tidak lepas dari sebutan "kota metr0politan", yang terkesan kapitalis dan hedonis. Kendati demikian, Jogja tetap bertahan dengan tradisi lama dengan tidak terlalu inferior menyikapi perubahan dan kemajuan peradaban.

Sebagai daerah yang bernuansa religius, Jogja dituntut untuk mengapresiasi seni tradisi yang sudah berkembang sejak lama, agar revitalisasi secara inklusif dan inovatif dalam rangka menghadapi benturan peradaban (the class of civilitizion) yang mengkungkung nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) tetap terjaga dengan baik.

Dalam konteks ini, kearifan lokal (local wisdom) sebagai nilai-nilai luhur masyarakat Jogja merupakan nilai luhur yang strategis bagi terciptanya nuansa kesatuan dalam keberagaman yang diharapkan. Mengingat, pengaruh budaya global akan terus menggerogoti nilai-nilai lokal yang sudah tertanam, apalagi menyangkut pemberdayaan seni tradisi yang dianggap penting dalam rangka menghadapi sindrom intelektual di negeri satu rumpun.

Di sinilah nilai kesamaan antara Jogja dengan Madura yang memiliki kekuatan dalam mempertahankan nilai-nilai lokalitas dan spiritualitas di tengah benturan peradaban dan agama. Itulah sebabnya, anak-anak Madura lebih memilih Jogja sebagai tempat pelabuhan dan persinggahan dalam menimba ilmu pengetahuan. Orang tua mereka yakin, bahwa nilai-nilai moral yang sudah tertanam sejak di pesantren akan terus terjaga ketika sudah sampai Jogja dan bergelut dengan tantangan global yang datang secara tiba-tiba.

Inilah kenapa, anak-anak Madura lebih banyak memilih Jogja daripada kota metropolitan lainnya yang jauh dari kekentalan mempertahankan tradisi lokal dan agama secara berkesinambungan. Dengan kata lain, masyarakat Jogja bisa mengatur dan membina anak-anak kos yang tinggal bersama mereka, agar tidak terserabut dengan pergaulan bebas, narkoba, free sex, dan lain sebagainya.

*Mohammad Takdir Ilahi,
Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta, Sedang Studi Perbandingan Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Komentar