Ketika Harga Diri Bangsa Tercabik-Cabik

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Di tengah iklim demokrasi kita yang semakin berkembang pesat, nasib harga diri bangsa kita sedang mendapatkan ujian cukup berat. Moralitas bangsa kita tengah disorot, akibat terjebak dengan pragmatisme politis yang mengkungkung masa depan bangsa menuju ke arah yang lebih menjanjikan. Mentalitas bangsa pun juga turut menuai kekhawatiran yang cukup pelik, karena terlalu mudah terpengaruh oleh iming-iming kapitalisme yang mengusung ketakjuban dan kemewahan.

Dalam konteks ini, saya akan menyoroti dan menimbang harga diri bangsa yang cukup memilukan sehingga kita tidak terserabut oleh politisasi dan hegemonisasi pembangunan ala Barat yang lebih bernuansa hedonistik dan konsumeristik. Ketika harga diri bangsa tercabik-cabik oleh negeri asing, langkah apa yang harus kita lakukan untuk mematahkan dan membendung anggapan negatif tersebut? Seberapa pentingkah harga diri bangsa dibanding dengan keuntungan yang bersifat materialis dan politis?

Pada titik inilah, bangsa kita dalam keadaan tertekan dan mengalami guncangan luar biasa, akibat gempuran modernitas dan globalitas yang menancapkan ekonomi kapitalis dan liberalis. Kita tidak memiliki kekuatan untuk membendung rayuan investasi asing yang masuk ke bumi pertiwi tercinta, karena hal itu sudah menjadi monster yang sulit yang dihindari dan dikendalikan.

Kendati kita tidak mampu mencegah laju masuknya antek-antek kapitalis, kita masih memiliki potensi luar biasa yang sangat ampuh meng-counter budaya global, yakni harga diri dan jati diri bangsa. Harga diri bangsa adalah mutlak untuk dipertahankan guna memudahkan jalan menuju kemandirian bangsa yang benar-benar matang.

Kemandirian adalah tujuan mulia dari sebuah bangsa yang memiliki nilai-nilai luhur seperti bangsa Indonesia. Dengan kemandirian, bangsa kita tidak akan terkatung-katung dan tergantung pada bantuan investor asing. Pada substansinya, kita jangan sampai menjadi bangsa perahan bangsa lain, yang menjadikan kita sebagai budak budaya maupun politik. Dengan kata lain, boleh saja kita mengikuti arus global, tapi jangan sampai terbawa arus sampai melupakan identitas dan jati diri kita sebagai bangsa yang mengedepankan nilai-nilai religiusitas dan bermartabat dalam pandangan dunia Internasional.

Dalam hal ini, mempertahankan harga diri bangsa ditengah tekanan dan kebimbangan merupakan sebuah keniscayaan yang patut dipelihara secara berkelanjutan. Ketika harga diri menjadi nilai substansial dalam membangun integrasi bangsa, maka pada gilirannya kita akan mampu menangkis segala ancaman dan tantangan yang memperlemah jati diri kita sebagai bangsa yang plural.

Secara sederhana, harga diri bangsa akan tumbuh bila para pemimpinnya memiliki integritas yang kukuh, kompetensi yang meyakinkan, dan bangsa itu dalam posisi memberi bukan meminta. Menurut Komaruddin Hidayat (2006), sangat menyedihkan jika ketiga aspek itu makin jauh dari kualitas bangsa ini meski sumber daya alam kita melimpah ruah.

Sungguh aneh, tetapi nyata, bangsa dengan sumberdaya alam yang sangat melimpah memikul utang luar negeri dengan jumlah yang sangat besar, hutan semakin gundul, kas negera kurus, pengangguran meningkat, korupsi merajalela. Jika demikian halnya, apa yang bisa kita wariskan pada generasi mendatang, selain harga diri bangsa dan sisa-sisa kemurahan alam yang telah tercabik-cabik ini?

Betapa mahalnya harga diri bangsa, ketika utang luar negeri kita makin membungbung tinggi? Dengan apa kita harus melunasi dan memutuskan hubungan peminjaman dengan bangsa-bangsa investor, Bank Dunia maupun IMF? Berapa lama hutang luar negeri kita akan bisa dilunasi sampai tutas? Dan apakah kita tega mewariskan generasi muda kita dengan hutang yang bertumpuk-timpuk?

Pertanyaan-pertanyaan di atas, seharusnya menjadi refleksi kita bersama guna meluruskan kesalahan pemimpin kita yang memuluskan investor asing leluasa masuk ke perusahan-perusahan nasional. Pemimpin di masa depan harus memiliki kebijakan pro-rakyat yang berani berjuang demi membangkitkan sektor riil kita yang mengalami tekanan luar biasa.

Pada titik ini, kemerdekaan dan kemandirian menjadi jamian ideal untuk terlepas dari kubangan ketergantungan, sehingga tidak jarang kita mengorbankan harga diri dan bangsa kita. Harga diri memang sulit didefnisikan, karena sangat retorik dan general untuk dijelaskan. Namun, kita akan tahu apa makna kemerdekaan dan harga diri bangsa saat kita kehilangan kebebasan dan merasa terhinakan oleh bangsa lain.

Dengan dalih untuk mempertahankan harga diri, tidak jarang seseorang atau sebuah bangsa mengorbangkan harta asal harga dirinya dapat terpelihara. Saat ini pun dalih seperti semakin bermunculan di tengah tantangan masa depan yang semakin kompleks. Bahkan, para elite politik kita kerapkali mengorbankan harga diri dengan landasan ego dan arogansi yang berlebihan demi kemulusan memperoleh jabatan, kekuasaan, kekayaan, maupun popularitas.

Revitalisasi Jati Diri Bangsa

Bangsa kita memang tengah menghadapi problem akut nan krusial. Terlebih lagi bila dihadapkan pada persoalan arogansi sukuisme yang sering terjadi di negeri kita tercinta. Kita dituntut untuk menghilangkan kesenangan dan kenikmatan sesaat, apalagi sampai mengorbankan harga diri dan memutus ikatan emosional kita sebagai satu kesatuan yang utuh. Dalam konteks ini, integritas dan ketahanan bangsa lebih penting daripada mementingkan arogansi sektoral yang memacu pertikaian antar etnis dan daerah.

Dengan demikian, kita harus yakin bahwa bangsa kita pasti terlepas dari jeratan persoalan yang menghantam identitas dan harga diri bangsa. Pluralitas bangsa patut dijadikan lompatan luar biasa untuk menyatukan persepsi dan rasa solidaritas antar sesama, sehingga nilai-nilai kebangsaan akan tetap tertanam dengan baik.

Itulah mengapa, persatuan dan kesatuan nasional baik yang bernuansa struktural maupun kultural (solidaritas sosial) yakin bisa dipertahankan di negeri ini, sebab bangsa ini memang didirikan atas dasar falsafah non-primordialisme, melainkan atas dasar rasa penderitaan yang sama (sense of common suffering).

Jangan pernah kita biarkan negeri ini terpecah berkeping-keping, hanya karena menonjolnya kepentingan sektoral, kedaerahan, dan juga kepentingan kelompok. Dalam hal ini yang kita kembangkan adalah constructive pluralism, bukan menerapkan minority by force atau minority by will.

*Mohammad Takdir Ilahi,

Peneliti Utama The Mukti Ali Institute Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan Direktur Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta, Sedang Studi Perbandingan Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Alamat: Gg. Ori 02. No. 6-F Papringan Depok Sleman Yogyakarta.
Emael. tkdr_ilahi@yahoo.co.id.
No.Hp 08179445575. No.Rek 0130558568
BNI Cabang UGM a/n Mohammad Takdir.

Komentar