Kebebasan Pers dan Humanisme Transendental

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Kajian seputar makna kebebasan semakin menyeruak ke publik seiring dengan dibukanya kran demokrasi, terutama sejak digulirkannya Reformasi 1998. Kini kebebasan tidak lagi dibungkam dan dibatasi- sebagaimana yang terjadi pada masa rezim Orde Baru. Bahkan, kebebasan itu sudah menjadi keniscayaan bagi setiap orang yang berkehendak mengekspresikan dirinya dan potensinya yang terpendam.

Dalam tulisan ini, penulis lebih menitikberatkan pada kebebasan pers yang seolah-olah terbebas dari belenggu hegemoni dan otoriter. Sejak rezim Orde Baru tumbang, maka saat itulah kebebasan pers semakin diberikan ruang dan kebebasan yang luas. Kendati kebebasan pers telah dirasakan oleh insan jurnalis, namun kebebasan mereka sebagai kontributor berita dan penyambung lidah masyarakat masih belum sepenuhnya dipegang.

Kebebasan pers bagi insan jurnalis tentu masih menuai banyak perdebatan, mengingat kebebasan itu terbelenggu oleh batasan-batasan yang mengekang dan menuntut adanya tanggung jawab moral.Akibat lebih lanjut, semua prinsip kebebasan pers yang diatur dalam konstitusi dan undang-undang tentang pers mengalami pemasungan terstruktur dan tersistem.

Kendati pemasung itu tidak secara transparan melalui pembredalan maupun penangkapan para wartawan, namun pemasung semacam itu lebih menyakitkan dan memberikan tekanan luar biasa bagi dunia pers. Dengan kata lain, independensi pers masih belum memberikan ruang dan kesempatan yang luas bagi insan pers dalam rangka menuangkan ide kreatifnya melalui penyampaian berita yang aktual.

Batasan Kebebasan Pers
Seperti diketahui, sejak tahun 1984, kehidupan pers nasional secara ideologis diatur dalam ketentuan Undang-Undang No. 21 tahun 1982, dan secara operasional dikendalikan oleh Peraturan Menteri Penerangan No. 01 tahun 1984. Berpegangan pada ketentuan itu, secara formal legalistis, pers nasional mempunyai kebebasan melakukan pengumpulan dan pengolahan berita dan kemudian menyiarkannya menjadi berita. Tetapi, kebebasan itu harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Itulah sebabnya, pers nasional dinamakan pers yang bebas dan tanggung jawab.

Secara teoritis, konsepsi pers bebas dan bertanggung jawab merupakan konsepsi yang cukup menjanjikan bagi perjalanan dunia pers di Indonesia. Kebebasan pers yang disertai dengan sikap tanggung jawab, tentu dapat memberikan keseimbangan dan sinergitas yang sepaham dengan masyarakat dan pemerintah.

Kendati demikian, dalam praktiknya di Indonesia, konsepsi pers bebas dan tanggung jawab tidak menemukan titik temu yang jelas, terutama masalah batasan-batasan dan tanggung jawab. Ketidakjelasan pengertian pers yang bebas dan bertanggung jawab, bisa menimbulkan perdebatan dan perbedaan interpretasi di kalangan masyarakat, pemerintah, dan dunia pers itu sendiri.

Bertolak dari ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang No. 21 tahun 1982, pers mempunyai penafsiran menekankan sisi kebebasan, sedang pemerintah mempunyai visi yang lebih menitikberatkan pada nilai tanggung jawab. Dalam konteks ini, sesuai dengan budaya politik bangsa ini, maka yang memiliki otoritas tertinggi dan berwewenang mengambil keputusan adalah pemerintah. Tidak heran, kalau penafsiran dari praktisi komunikasi dan pakar pers hanya berada dalam tataran konseptual dan wacana.

Membela Kebebasan Pers
Secara faktual, kualitas kebebasan pers dan bertambahnya penerbitan pers memang mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Peningkatan kualitas kebebasan pers itu, dapat diraih sejak masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sehingga memberikan keleluasaan bagi dunia pers dalam menyampaikan berita kepada masyarakat.

Kendati kebebasan pers telah diraih, namun kebebasan itu harus terus dijaga dan dibela dengan sungguh-sungguh. Dengan kata lain, kebebasan tidak boleh keluar dari norma dan batasan hukum yang berlaku, sehingga mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat kepada dunia pers. Itulah mengapa, fungsi pers sebagai media informasi, pendidikan, kontrol sosial dan hiburan yang sehat harus dapat berperan aktif dalam menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, keadilan dan kebebasan itu sendiri.

Menurut M. Simaremare (2001), penyelenggaran pers Indonesia harus kembali ke asas (bac to basic) jurnalistik yang benar, yakni jujur, tidak memihak atau berat sebelah (impartial), objektif, berimbang, dan memperhatikan hak-hak asasi manusia. Dengan mengacu pada asas pers itu, maka landasan hukum dalam dunia pers akan tetap berjalan sesuai dengan koridor yang telah ditetapkan.

Relevansi Pers dan Humanisme Transendental
Seorang jurnalis harus mampu menjaga nilai-nilai humanitas ketika melaksanakan tugas mencari berita. Dalam rumusan humanitas itu, akan timbul pengertian compassion, yakni seseorang harus terus menerus menempatkan diri dalam kenyataan kehidupan. Di kalangan intelektual dan wartawan, segi humanisme gampang diterima, tetapi bagaimana dengan unsur transendental?

Humannisme transendental dapat disebut religiositas, dimensi-dimensi relugius dalam kemanusiaan yang mengatasi sistem keagamaan. Itulah sebabnya, nilai-nilai transendental harus dimiliki oleh seorang wartawan atau jurnalis. Mengingat humanisme transendental juga mengarah pada transformasi compassion.

Dalam kajian filsafat, humanisme transendental menarik bila dilihat dari peran agama. Menurut Jakob Oetama, peran agama ialah menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi seorang manusia untuk bertindak dalam dunia ini. Tetapi, agama sendiri tidak mempunyai tugas untuk mengatur langsung kehidupan politik atau ekonomi.

Lalu, apa relevansi pers dengan humanisme transendental? Relevansinya adalah bahwa dunia pers tidak boleh lepas dari nilai-nilai humanitas yang bersifat spiritual, karena tugas seorang jurnalis tidak hanya menyampaikan berita, tetapi bagaimana jurnalis mampu menaruh simpati terhadap sesama manusia, berbagi perasaan, terharu, dalam suka dan damai.

Itulah sebabnya, Kees De Jong, mengatakan bahwa kemanusiaan atau humanisme adalah perikemanusiaan yang disublimasikan, disempurnakan oleh kepercayaan masing-masing. Maka, dasarnya hanyalah manusia dan kita disatukan oleh humanisme. Dengan kata lain, kemanusiaan kita adalah kemanusiaan yang disempurnakan, yang transenden, yang percaya kepada Allah. Bukan kemanusiaan yang sosialis, komunis, sekuler, tetapi kemanusiaan yang saling melengkapi satu sama lain.

Pada titik inilah, independensi pers harus terus dijaga dan dibela, agar dunia pers tetap berkibar dalam mengawal gerak laju demokrasi dan pembangunan Indonesia. Semoga, di Hari Aliansi Jurnalis Indenpenden (AJI) yang jatuh pada 7 Agustus ini, kita bisa memberikan kepercayaan kepada para jurnalis untuk melaksanakan tugasnya secara profesional dan independen.

*Mohammad Takdir Ilahi,
Direktur Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta dan Peneliti The Mukti Ali Institute Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Alamat: Gg. Ori 02. No. 6-F Papringan Depok Sleman Yogyakarta.
Emael. tkdr_ilahi@yahoo.co.id.

Komentar