Refleksi Atas Bangsa yang Kalah

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Problem kebangsaan yang menimpa kita sekarang memang cukup pelik dan kompleks. Berbagai persoalan terus menerus menghantui bangsa kita di tengah iklim demokrasi yang kian hari kian matang. Arogansi elit politik kita makin tak terbendung dan semakin menampakkan keluguhan dalam berpolitik, sehingga sama sekali tidak terkontrol oleh pemerhati dan rakyat biasa.

Kedewasaan politik para pemimipin kita juga sangat memperihatinkan. Mereka tidak memiliki sense of crisis yang menyelami hati nurani rakyat, bahkan cenderung ambivalen. Rakyat semakin tidak berdaya dan ambigu melihat cermin perpolitikan nasional yang tidak mendidik, sehingga kepercayaan rakyat semakin menurun. Tidak jarang, kepercayaan itu berubah cercaan dan hinaan yang berujung pada sikap acuh tak acuh.

Nasib rakyat makin tidak menentu, apalagi Indonesia tengah diterpa badai krisis dan musibah yang cukup mendera. Terlepas dari hal itu, kita masih belum sanggup keluar dari kepungan krisis yang melanda negeri tercinta, ditambah lagi dengan teror bom yang meluluhlantakkan kota Jakarta. Makin bertambahlah penderitaan dan ketakutan rakyat atas persoalan yang menimpa bangsanya.

Dalam Kubangan The Defeated Culture
Apa dosa negeri ini, ketika persoalan yang melanda kita tidak bisa diatasi. Mungkinkah negeri ini sudah dikutuk akan terus ditimpa dinamika persoalan yang terus mengalir seperti air? Adakah harapan dan optimisme yang tetap kita pegang untuk menyelami dan menghayati hikmah dibalik musibah yang menimpa kita?

Di tengah bangsa lain sudah berbenah dan memperbaiki kondisi stabilitas negerinya, negeri ini masih tertatih-tatih untuk sekedar keluar dari kepungan krisis. Di manakah letak kesalahan negeri ini, sehingga persoalan datang silih berganti?

Akan tetapi, bangsa kita sudah terlanjur keparat dan berada diambang kehancuran. Para pemimpin kita yang diharapkan membawa perubahan dan perbaikan atas kondisi bangsa yang carut marut, ternyata tidak bisa diandalkan. Pemimpin kita lebih mengedepankan citra dan popularitas daripada peningkatan kinerja dan integritas secara sinirgis. Iklim reformasi yang diharapkan merubah pola pikir dan mindset pemimpin bangsa, ternyata hanya menjadi isapan jempol belaka, bahkan tidak jarang mereka memanfaatkan momentum tertentu untuk mengelabui dan membangun citra.

Ada satu komentar bahwa elite politik dan penguasa bukan saja tidak mampu menyelesaikan problem kebangsaan saat ini, melainkan mereka telah menjadi bagian dari persoalan itu sendiri. Hemat saya, negeri ini butuh pemimpin yang berani dan mampu mengambil kebijakan secara cepat dan tepat untuk membendung problem dilematis yang menimpa rakyat kita.

Kalau kita mengacu pada teori antropologi, bangsa ini tergolong sebagai the defeated culture. Sebuah bangsa yang ditakdirkan Tuhan untuk selalu kalah. Kemudian teori ini dibantah, karena Tuhan tidak mungkin mengubah nasib satu kaum, bila mereka tidak mengubah nasibnya sendiri. Teori ini sejalan dengan apa yang dikatakan Komaruddin Hidayat (2006), bahwa bangsa ini telah terjerat kubangan "self-destroying nation", bangsa yang menghancurkan dirinya sendiri.

Sungguh sangat memilukan dan memalukan, jika bangsa ini terjebak pada pragmatisme politis yang mengkambing hitamkan pihak lain. Seharusnya bangsa ini harus bercermin diri dan melakukan refleksi kritis atas apa yang telah terjadi dengan bangsa ini. Tengoklah saja kasus bom bunuh diri yang terjadi di kawasan Mega Kuningan, yang diduga kuat dilakukan oleh rakyatnya sendiri. Sebagai bangsa yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, kasus bom bunuh diri yang dilakukan oleh orang Indonesia semakin menunjukkan bahwa kita memang menghancurkan bangsa kita sendiri.

Terlepas dari semua itu, kita harus belajar dari pengalaman bangsa Jepang. Hancurnya Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II, dijadikan momentum dan tekad bangsa Jepang untuk bangkit melawan Barat, tetapi kebangkitan itu dalam wujud ledakan produksi teknologi otomotif dan elektronika yang amat kompetitif. Kita harus bangkit di tengah ledakan bom JW Marriott dan The Ritz Carlton, dengan tetap membangun optimisme setinggi langit.
Perkuat Mental Bangsa

Salah satu faktor kegagalan bangsa ini terlepas dari kubangan persoalan adalah karena kita tidak memiliki mental sebagai bangsa yang teguh dan tegar. Kekuatan mental bangsa kita harus terus dipupuk dan dibina secara berkelanjutan agar bisa menghadapi segala tantangan dan ancaman di masa depan.

Dari pandangan itu, kebobrokan dan kekalahan bangsa ini bisa diatasi dengan mengedepankan keteladan para pemimpin kita. Seorang pemimpin yang memiliki mental baja dalam menghadapi persoalan, setidaknya harus diimbangi kecerdasan dalam memberikan keteladanan dan contoh yang baik kepada rakyatnya. Sebagai masyarakat yang kuat dengan tradisi paternalisme, sesungguhnya mengatur bangsa tidaklah sulit.

Kesadaran para pemimpin negeri ini, memang sangat dibutuhkan dalam rangka membangun optimisme tinggi sehingga tidak menjadi bangsa yang kalah sebelum berperang. Lakukan terobosan dan lompatan yang luar biasa untuk melayani rakyat dengan baik. Jangan sampai rakyat menjadi korban dari kebijakan pemerintah yang tidak mendukung, apalagi mengorbankan harga diri dan jati diri bangsa yang luhur.

Oleh karena itu, kita harus bulatkan tekad dan jernihkan hati serta pikiran untuk merancang bangunan keindonesiaan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa kita. Yakinlah bahwa kita masih punya harapan dan idealisme untuk membendung benturan peradaban, agama, politik, maupun etnis di antara kita.

Mohammad Takdir Ilahi,
Peneliti Utama The Mukti Ali Institute Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Alamat: Gg. Ori 02. No. 6-F Papringan Depok Sleman Yogyakarta.
Emael. tkdr_ilahi@yahoo.co.id.
No.Hp 08179445575. No.Rek 0130558568
BNI Cabang UGM a/n Mohammad Takdir.

Komentar