Filosofi Pagelaran Festival Kuwung: Memotret Kekayaan Seni-Budaya Banyuwangi
Oleh. Mohammad Takdir Ilahi
Dalam sebuah rangkaian pesta seni dan
budaya, Banyuwangi menggelar Festival Kuwung yang merupakan acara tahunan
dan berhasil menyedot
perhatian ribuan warga dan wisatawan domistik maupun luar negeri. Rangkaian
Banyuwangi Festival yang telah berlangsung selama September-Desember 2013, bertajuk “The Sunrise of Java” yang menghelat beberapa atraksi budaya sebagai cermin kekayaan monomental yang memberikan
warna-warni dalam dinamika kehidupan masyarakat Banyuwangi.
Perhelatan Festival Kuwung yang
berlangsung selama September-Desember ini, terasa menjadi angin segar bagi perkembangan budaya dan
seni di kota budaya dan pendidikan ini. Parade yang digelar oleh Pemerintah
Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi, patut kita apresiasi
sebagai bentuk kepedulian terhadap keutuhan nilai seni dan budaya dalam kehidupan masyarakat. Festival ini digelar
dalam rangka untuk mempertahankan potensi unggulan yang berkaitan dengan kekayaan seni dan
budaya serta berupaya mengakomodir berbagai kelompok
kesenian yang mulai redup diterpa gelombang globalitas yang menghantam kearifan
lokal masyarakat Banyuwangi.
Pada mulanya, acara kirab budaya dan kesenian itu
ditunjukkan dalam rangka promosi wisata di Kabupaten Banyuwangi. Promosi wisata diyakini
memang dapat menjadi daya tarik bagi para turis asing agar menikmati aroma keindahan
yang dimiliki Banyuwangi. Namun, sejak krisis keuangan global, kuantitas turis
asing yang berkunjung ke tempat-tempat wisata di kawasan Banyuwangi mengalami penurunan
drastis. Bahkan, turis-turis dalam negeri pun jarang sekali berkujung ke tempat
wisata. Padahal, bidang kebudayaan dan keparawisataan merupakan devisa bagi Pemerintah
Daerah Kabupaten Banyuwangi. Jika kuantitas pengunjung wisata semakin berkurang
setiap harinnya, maka pemasukan untuk APBD akan semakin berkurang.
Namun, dengan rutinas tahunan dari Festival Kuwung,
perlahan tapi pasti kekayaan seni dan budaya Banyuwangi mulai bangkit kembali
seiring dengan semakin maraknya pagelaran kesenian yang ditampilkan dengan
menghadirkan beberapa pelaku seni di berbagai daerah. Dalam rangka memeriahkan
Festival Kuwung, para komunitas kesenian
di Kabupaten Banyuwangi turut ambil bagian dalam memperkenalkan sekaligus menyuguhkan
suatu atraksi budaya yang bernilai seni tradisi bagi kemajuan masyarakat secara keseluruhan. Dengan semangat yang berlipat ganda, mereka berusaha
tampil memukau dan atraktif menghibur sebagian warga dan turis yang sempat
menyaksikan acara kirab budaya dan seni tersebut.
Kebetulan, saya juga menyaksikan secara seksama berbagai pertujukan
kesenian dari masing-masing komunitas yang menempuh perjalanan sekitar 2 kilometer mengelilingi
daerah-daerah di kawasan Banyuwangi. Dari cacatan yang saya dapatkan, ternyata kirab budaya
dan kesenian tersebut melibatkan sekitar 1.000 kelompok kesenian dari beberapa kecamatan di wilayah Banyuwangi. Dalam pagelaran itu, Banyuwangi menampilkan berbagai acara wisata,
mulai dari karnaval etnik, jazz pantai, sport-tourism Tour de Ijen, festival
batik, tari gandrung masal, hingga Festival Kuwung (Kompas, 14/12/2013).
Festival Kuwung sendiri adalah pawai tahunan
sebagai etalase yang memamerkan keaslian Banyuwangi, baik kekayaan budaya,
adat, maupun potensi unggulan yang ditampilkan oleh perwakilan 24 kecamatan se-Kabupaten
Banyuwangi. Seperti namanya, Kuwung yang dalam bahasa Indonesia berarti
pelangi, begitu kaya dengan warna warni seni dan budaya Banyuwangi. Festival
ini seolah menjadi sebuah ensiklopedia hidup dari seni dan budaya yang ada dan
berkembang di Kabupaten pimpinan Abdullah Azwar Anas ini. Tidak heran bila Festival Kuwung ini
benar-benar menampilkan Banyuwangi secara asli baik seni, budaya dan berbagai
potensinya yang sangat unik dan
menakjubkan.
Festival Kuwung inilah yang menjadi wadah bagi
masyarakat Banyuwangi untuk mengekspresikan budaya dan seni masing-masing.
Festival Kuwung yang diikuti oleh lebih dari 1000 peserta ini menjadi wadah
bagi pelaku seni-budaya Banyuwangi untuk mengekspresikan karya kreatifnya
secara lebih optimal. Festival ini juga berisi berbagai penggalan kisah sejarah
Banyuwangi yang dikemas dalam berbagai bentuk kreasi seni-budaya, seperti tari,
nyanyian, drama, simbol-simbol, hingga paduan dari semuanya. Hal ini menandakan
bahwa Banyuwangi diwarnai oleh kekayaan budaya yang luar biasa dibandingkan
dengan daerah-daerah lain di Jawa Timur.
Makna Filosofis
Kirab budaya dan kesenian yang digelar dalam acara Festival Kuwung di kabupaten Banyuwangi, tidak hanya bermakna simbolik semata, sebagaimana yang
telah diperagakan oleh sejumlah komunitas kesenian tersebut. Akan tetapi,
pertunjukkan itu mengandung makna filosofis yang patut kita internalisasi
secara lebih mendalam di tengah masyarakat yang plural. Makna filosofis yang paling
kentara dalam konteks pertunjukkan kesenian Festival Kuwung adalah terletak pada
simbolisasi masyarakat religius dan beradab. Kita tahu, bahwa Banyuwangi memiliki nilai
religiusitas yang sangat tinggi, apalagi ketika hari-hari besar Islam.
Hal ini bisa dimaklumi bahwa Banyuwangi didiami
bermacam etnis, mulai dari suku Using-suku asli Banyuwangi, Bugis, Madura, Jawa,
dan etnis lainnya. Uniknya, seni dan budaya dari semua etnis tersebut
berkembang dengan baik dan berjalan beriringan. Keragaman budaya itu, membuat
Banyuwangi menjadi miniatur Indonesia yang Berbhineka Tunggal Ika dan bisa menjadi contoh bagi daerah lain dalam
melestarikan kesenian dan kebudayaan lokal dengan penuh kearifan dan
kebijaksanaan.
Di
lain pihak, pertunjukkan kesenian dan kebudayaan menggambarkan
kesatuan keberagaman (the unity of multiply) yang bersifat
multikultural. Apalagi, ditopang dengan
nilai inklusifitas dan heteregonitas yang mencerminkan masyarakat terbuka dan
majemuk. Makna filosofis ini, menunjukkan bahwa Banyuwangi mampu mencerminkan
kearifan lokal dengan tidak mengabaikan kearifan global yang penting untuk dicermati. Terbukti, dalam kurun
waktu yang cukup lama, Banyuwangi tetap mampu mencerminkan diri sebagai miniatur Indonesia yang berbasis multikultura, sekaligus kota yang mampu mempertahankan tradisi tanpa terjebak dengan kebudayaan
global. Kendati demikian, Banyuwangi tetap bertahan dengan
tradisi lama dengan tidak terlalu inferior menyikapi perubahan dan
kemajuan peradaban.
Revitalisasi
Sebagai kawasan yang bernuansa religius, Banyuwangi dituntut untuk
mengapresiasi seni tradisi yang sudah berkembang sejak lama dalam rangka menghadapi
benturan peradaban (the class of civilitizion) yang mengkungkung
nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) masyarakat secara luas. Kearifan lokal (local wisdom) sebagai nilai-nilai
luhur masyarakat Banyuwangi merupakan nilai luhur
yang strategis bagi terciptanya nuansa kesatuan dalam keberagaman yang
diharapkan. Mengingat, pengaruh budaya global akan terus menggerogoti
nilai-nilai lokal yang sudah tertanam, apalagi menyangkut pemberdayaan seni
tradisi yang dianggap penting dalam rangka menghadapi benturan kebudayaan satu
sama lain.
Revitalisasi local
wisdom dalam Festival
Kuwung,
memang merupakan pilihan yang cukup tepat untuk turut serta dalam menciptakan
integritas dan loyalitas terhadap pengembangan komunitas kesenian di Banyuwangi. Ini karena, local
wisdom tidak hanya bertujuan untuk mempertahankan nilai-nilai budaya lokal,
tetapi juga sebagai upaya untuk mengapresiasi nilai-nilai budaya yang selama
ini sudah menjadi kebanggaan masyarakat Banyuwangi.
Adanya kirab budaya dan kesenian yang digelar setiap tahun, patut kita jadikan batu
loncatan untuk tetap mempertahankan Festival Kuwung dalam konteks lokal di daerah Banyuwangi. Apalagi, kota Banyuwangi dikenal sebagai kota
parawisata dan budaya yang banyak menularkan benih-benih intelektual dalam dimensi kesenian kepada generasi
mudanya. Itulah sebabnya, kenapa pembinaan generasi muda dalam mengembangkan
komunitas kesenian sangat penting digalakkan.
Pembinaan tersebut dapat dimulai dengan menumbuhkembangkan
minat dan hasrat generasi muda agar mencintai nilai kesenian, termasuk kekayaan
budaya yang sudah ada. Dengan begitu, harapan untuk tetap mempertahankan
eksistensi seni tradisi nenek moyang kita dapat menjadi kenyataan. Hal ini
dapat direalisasikan apabila kita memiliki kepedulian dan kesadaran untuk
mengembangkan komunitas kesenian agar tidak punah diterpa gelombang globalitas
dan modernitas, yang secara faktual dapat mengkontaminasi gaya hidup (life style) generasi muda.
Komentar
Posting Komentar
isilah komentar tentang blog saya