The Power of Shariah Economic


Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Pendahuluan: Tantangan Ekonomi Syariah
Penerapan ekonomi syariah dalam percaturan ekonomi global tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Tantangan ekonomi syariah akan semakin besar seiring dengan gencarnya ekonomi neoliberal yang mencoba meruntuhkan tatanan moral dalam melaksanakan aktifitas perekonomian. Tantangan ekonomi syariah di era modern sekarang, lebih berat dibandingkan dengan pelaksanaan ekonomi kapitalis dan sosialis di masa lampau.
Di tengah persaingan pasar, ekonomi syariah memang menghadapi tantangan yang tak terbatas dan muncul dalam segala arah. Tidak heran bila munculnya keinginan untuk mengembangkan ekonomi syariah di kalangan intelektual muslim bukanlah hanya dikarenakan tuntutan untuk menjalankan ajaran agama Islam secara komprehensif, tetapi juga dilandasi keinginan untuk menciptakan sistem perekonomian yang lebih adil, sejahtera dan berkemakmuran dari seluruh lapisan masyarakat dan diberkahi oleh Allah. Realitas menunjukkan bahwa sistem ekonomi sosialis dan kapitalis telah memberikan begitu banyak kesulitan, penderitaan dan ketidakadilan dalam tatanan sosial ekonomi masyarakat. Maka, ekonomi syariah harus menjadi tameng dan pelopor gerakan melawan semangat kapitalisme yang bisa menghancurkan tatanan masa depan perekonomian global.[1]
Sebagai bagian dari tuntutan syariah, pengembangan ekonomi syariah memang tidak akan mudah cepat diterima oleh masyarakat. Ini karena, ekonomi syariah merupakan sistem keuangan yang dilandasi dengan aturan-aturan ketat dan tidak boleh menghalalkan sistem riba sebagaimana yang sering terjadi dalam sistem ekonomi konvensional. Ekonomi syariah menuntun prilaku berekonomi agar kita memperoleh falah dari setiap aktifitas perekonomian yang dijalankan. Perilaku ini terkait dengan landasan syariat sebagai rujukan moral dalam fitrahnya, yang terbentuk dengan dasar nilai Ilahiyah.
Perbedaan mendasar ekonomi syariah dengan ekonomi konvensional (kapitalis dan sosialis) terletak pada sumber utama prilaku dan infrastruktur ekonomi syariah, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, yang bukan merupakan karya pakar ekonomi Islam, namun pengetahuan langsung dari sang Maha Pencipta. Di sisi lain, sumber pengetahuan ekonomi konvensional adalah intelegensi dan institusi akal manusia melalui studi empiris. Perbedaan kedua, terletak pada motif prilaku itu sendiri. Ekonomi syariah dibangun dan dikembangkan di atas nilai altruism, sedangkan ekonomi konvensional berdasarkan nilai egoisme.
Dibandingkan dengan ekonomi konvensional, ekonomi syariah memang tidak begitu mentereng dan menjual di tengah-tengah persaingan pasar yang begitu ketat. Namun, ekonomi syariah memiliki keunggulan dari aspek prinsip-prinsip dasar yang merupakan cermin ideal dalam melaksanakan aktifitas perekonomian, yaitu hidup hemat dan tidak bermewah-mewahan, implementasi zakat, penghapusan/pelarangan riba, gharar dan maisir, menjadi sistem bagi hasil (profit-loss sharing) dengan instrumen mudharabah [2]dan musharakah[3] sebagai pengganti sistem kredit dan bunganya[4] yang membersihkan ekonomi dari segala prilaku buruk yang merusak sistem, seperti menipu dan judi.
Pada perkembangan selanjutnya, ekonomi syariah berpotensi menggantikan posisi ekonomi konvensional, namun dalam penerapannya banyak kendala dan tantangan yang dihadapi. Diantara kendala itu adalah masih diberlakukannya pajak ganda di perbankan syariah, belum siapnya dukungan SDM ekonomi syariah, tidak ada kurikulum ekonomi syariah di sekolah umum, sehingga pemahaman, kesadaran serta kepedulian masyarakat rendah, persepsi negatif sekelompok muslim dan non-muslim yang takut mengaplikasikan hukum syariah secara kafah. Selain itu, belum kuatnya dukungan parpol Islam untuk menerapkan ekonomi syariah, kegairahan memperluas pasar ekonomi syariah belum diikuti dengan edukasi yang memadai, dan mampukah perbankan syariah memerankan fungsi intermediasi pemulihan ekonomi saat ini? Ekonomi syariah akan tegak bila umatnya melaksanakan secara istiqomah. Ekonomi syariah bukanlah ancaman bagi sistem ekonomi konvensional, melainkan hanya ingin memberikan warna baru dalam dinamika perekonomian yang betul-betul mengayomi masyarakat dengan penuh tanggung jawab dan berkeadilan tanpa harus mengorbankan peningkatan taraf ekonomi masyarakat yang bersangkutan.

Peluang Ekonomi Syariah Di tengah Persaingan Pasar
Di tengah persaingan ekonomi yang semakin tajam, ekonomi syariah tentu akan menghadapi benturan-benturan yang menghambat pengembangan bisnis Islam secara transparan dan akuntabel. Derasnya benturan-benturan itu, patut diduga sebagai akibat dari mencuatnya neoliberalisme[5] yang bisa menghancurkan sendi-sendi ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Kehadiran ekonomi syariah di tengah-tengah bangsa Indonesia, seolah menjadi angin segar bagi masyarakat yang sudah tidak tahan dengan hegemoni ekonomi kapitalis yang sudah merongrong tatanan nilai ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Ada banyak alasan kenapa penulis begitu yakin dengan prospek ekonomi syariah untuk bersaing dengan ekonomi konvensional. Pertama, respon masyarakat yang antusias dalam melakukan aktivitas ekonomi dengan menggunakan prinsip-prinsip Islami. Kedua, kecenderungan yang positif di sektor non-keuangan/ ekonomi, seperti sistem pendidikan, hukum dan lain sebagainya yang menunjang pengembangan ekonomi Islam nasional. Ketiga, pengembangan instrumen keuangan Islam yang diharapkan akan semakin menarik investor/ pelaku bisnis masuk dan membesarkan industri Bisnis Islam Nasional. Instrumen keuangan syariah bisa menjadi nilai tambah dalam melakukan sosialisasi secara menyeluruh terhadap investor yang berminat untuk menunjang perekonomian nasional.
Kemasan pengembangan ekonomi syariah memang perlu digalakkan agar keberadaan bank-bank Islam tidak menjadi sia-sia. Semakin gencarnya pengembangan ekonomi syariah secara tidak langsung juga telah membawa perubahan dan kemajuan yang cukup signifikan bagi perguruan tinggi untuk terus meningkatkan kualitas SDM-nya agar memiliki kecakapan dan kematangan dalam bidang ekonomi syariah. Mengiringi kondisi obyektif tersebut, perkembangan pemikiran di bidang ilmu ekonomi syariah menjadi gerakan pembangunan SEI semakin terpacu dan tumbuh disertai faktor-faktor lain yang mendahuluinya. Pertama, telah terumuskanya konsep teoritis tentang Bank Islam pada tahun 1940-an. Kedua, lahirnya ide dan gagasan mendirikan Bank Islam dalam Keputusan Konferensi Negara-negara Islam se- Dunia bulan April 1968 di Kuala Lumpur. Ketiga, lahirnya negara-negara Islam yang melimpah petro dolarnya. Maka, pendirian bank Islam menjadi kenyataan dan dapat dilaksanakan tahun 1975.[6]

Kekuatan Ekonomi Syariah dalam Menghadapi Gejolak Krisis
Perbankan syariah mulai bergerak maju untuk memberikan kontribusi positif bagi gejolak ekonomi yang semakin menambah beban masyarakat secara luas. Kontribusi perbankan syariah dalam menahan gejolak ekonomi tersebut patut diapresiasi, karena bank-bank konvensional yang lain mulai keteteran dalam mengarungi percaturan ekonomi global. Tidak heran bila perkembangan perbankan syariah di Indonesia makin pesat dan berkembang secara fantastis. Krisis keuagan global di satu sisi telah membawa hikmah bagi perkembangan perbankan syariah. Hal ini dikarenakan masyarakat dunia, para pakar dan pengambil kebijakan ekonomi, tidak saja melirik tetapi lebih dari itu mereka ingin menerapkan konsep syariah ini secara serius. Di Indonesia, prospek perbankan syariah makin cerah dan menjanjikan. Bank syariah di negeri ini, diyakini akan terus tumbuh dan berkembang di masa depan. Perkembangan industri lembaga syariah ini semakin menunjukkan keunggulannya dalam memperkuat stabilitas sistem keuangan nasional. Apalagi dengan pertumbuhan industri yang rata-rata mencapai 60% dalam lima tahun belakangan ini.
Berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah menunjukkan bahwa bahwa perbankan syariah masih stabil dalam menghadapi gejolak krisis. Sampai dengan periode Desember 2003, kredit macet (non-performing loan INPL) bank syariah hanya 2,34 % dibandingkan total perbankan nasional yang masih mencapai 8,2 % meskipun kredit macetnya banyak yang telah dialihkan pada BPPN. Sedangkan peranan bank syariah dalam mendorong pertumbuhan sektor riil dapat terl ihat ratio pinjaman (loan to deposit ratio/LDR) sebesar 109,5 % dibandingkan total perbankan nasional yang hanya 86,4 %.
Untuk mencapai kehidupan bisnis yang sehat dan beretika, hanya satu solusinya yaitu menerapkan sistem ekonomi syariah secara kaffah, dimulai dengan melahirkan Islamic Human Capital melalui lembaga pendidikan dan secara simultan diikuti oleh kegiatan kehidupan lainnya. Keampuhan sistem ekonomi syariah telah terbukti ketika krisis moneter tahun 1997, hanya Bisnis dan Bank Tanpa Bunga yang dapat bertahan dan bahkan membukukan laba yang berlipat, sementara Bisnis dan Bank konvensional terpuruk.
Keampuhan dan kekuatan sistem ekonomi syariah yang terbukti mampu menahan gejolak ekonomi yang cukup dahsyat, membuat perbankan Islam semakin percaya diri dalam mengelola keuangan berdasarkan prinsip-prinsip syariah dan tidak menghalalkna riba sebagai bagian dari praktek bunga yang ada di dunia perbankan nasional. Bukti keampuhan dan kekuatan ekonomi syariah dalam menciptakan keseimbangan ekonomi di tengah-tengah persaingan pasar, membuat ekonomi Indonesia semakin tertantang untuk bekerja keras dalam memperbaiki kinerja dan pelayanan yang terbaik bagi para nasabah.
Kematangan ekonomi syariah dalam menghadapi gejolak krisis yang begitu besar bisa menjadi senjata ampuh untuk memulihkan perekonomian nasional. Kontribusi ekonomi syariah bagi perekonomian nasional patut mendapatkan apresiasi yang luar biasa, karena di tengah perbankan nasional mulai keteteran menghadapi gejolak krisis, justru ekonomi syariah tetap bertahan di tengah gempuran resisi global yang sangat mengancam stabilitas dalam negeri. Buktinya, pada sektor perbankan syariah, meskipun krisis keuangan global masih terjadi namun perbankan syariah masih dapat meningkatkan fungsi intermediasinya secara efektif yang tercermin dari komposisi aset yang didominasi pembiayaan kepada sektor riil terutama sektor usaha kecil dan menengah dengan rasio FDR mencapai 103,64%.[7]
Di tengah ancaman krisis keuangan global, ekonomi syariah tetap bekerja sesuai dengan aturan dalam setiap perbankan. Bahkan, ekonomi syariah terus melakukan terobosan baru dalam mengelola keuangan negara agar semakin matang dalam menghadapi setiap masalah krisis yang menghadang. Kendati menghadapi dilema dalam sistem perbankan, ekonomi syariah masih terus berupaya meningkatkan penyedian akses layanan bagi masyarakat yang sangat bermanfaat melalui penawaran produk dan jaringan operasional yang semakin luas.
Bukti kongkrit kontribusi ekonomi syariah bagi perekonomian nasional adalah semakin meningkatknya jumlah bank-bank Islam[8] yang melaksanakan  kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah 10 mengalami penambahan 2 Bank Umum Syariah (BUS),1Unit Usaha Syariah (UUS) dan 17 BPRS, sehingga pada akhir 2008 terdapat 5 BUS, 27 UUS dan 131 BPRS. Jaringan kantor bank syariah, termasuk layanan syariah juga menunjukkan peningkatan menjadi 953 kantor dan 1.470 layanan syariah. Industri perbankan syariah mengalami peningkatan volume usaha sehingga pada akhir 2008 mencapai Rp49,55 triliun, dengan pangsa terhadap total aset perbankan nasional sebesar 2,14%. Di sisi penghimpunan dana, perkembangan DPK perbankan syariah menunjukkan pertumbuhan sebesar 31,5%.[9]
Walau krisis ekonomi global secara keseluruhan membawa pengaruh pada industri keuangan syariah, namun industri keuangan syariah di Indonesia masih dapat bertahan, bahkan masih tumbuh dan berkembang; akan tetapi krisis tersebut masih membawa permasalahan sosial lain berupa makin banyaknya pemutusan hubungan kerja, kenaikan harga barang dan jasa serta efek sosial yang lain yang dapat menekan laju pertumbuhan sektor riil sehingga membawa dampak makin banyaknya masyarakat miskin.
Dalam percaturan ekonomi nasional, perbankan syariah mampu membuat dinamis sektor riil dan memberikan warna baru dalam sistem perekonomian Indonesia. Hal itu disebabkan dalam perbankan syariah terdapat step wise process atau proses bertahap sebagai alternatif untuk mengganti sistem bunga pada perbankan konvensional.[10] Penggunaan sistem bunga merupakan salah satu permasalahan bagi dunia perbankan konvensional saat ini. Sistem perekonomian dengan sistem bunga ini perlu diganti atau dicari solusinya.Sistem bunga dapat memengaruhi pembentukan sistem ekonomi makro salah satunya terjadi pelemahan pada sektor riil. Dalam menghadapi ketidakpastian dan ketidakstabilan dunia usaha dan perekonomian ternyata bank syariah mampu menunjukkan daya tahan (viability) yang kuat bahkan tetap beroperasi mendukung pertumbuhan ekonomi.
Setidaknya ada tiga hal yang menjadi sumbangan ekonomi syariah bagi perekonomian nasional. Pertama, ekonomi syariah memberikan andil bagi perkembangan sektor riil. Pengharaman terhadap bunga bank dan spekulasi mengharuskan dana yang dikelola oleh lembaga-lembaga keuangan syariah disalurkan ke sektor riil. Kedua, ekonomi syariah lewat industri keuangan syariah turut andil dalam menarik investasi luar negeri ke Indonesia, terutama dari negara-negara Timur-tengah. Adanya berbagai peluang investasi syariah di Indonesia, telah menarik minat investor dari negara-negara petro-dollar ini untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Minat mereka terus berkembang dan justru negara kita yang terkesan tidak siap menerima kehadiran mereka karena berbagai “penyakit akut” yang tidak investor friendly, seperti rumitnya birokrasi, faktor keamanan, korupsi, dan sebagainya. Ketiga, gerakan ekonomi syariah mendorong timbulnya perilaku ekonomi yang etis di masyarakat Indonesia. Ekonomi syariah adalah ekonomi yang berpihak kepada kebenaran dan keadilan dan menolak segala bentuk perilaku ekonomi yang tidak baik seperti sistem riba, spekulasi, dan ketidakpastian (gharar).
Sumbangan penting ekonomi syariah bagi perekonomian nasional memang tidak bisa diabaikan, karena sektor rill menjadi prioritas dalam menjaga stabalitas keuangan dalam negeri. Titik sentral ekonomi syariah adalah bagaimana memberdayakan ekonomi masyarakat dengan penuh tanggungjawab dan kepedulian yang merata antar sesama. Pemberdayaan ekonomi ini menjadi penting, karena selama ini implementasi dalam memulihkan ekonomi rakyat hanya terbatas pada kelompok-kelompok tertentu saja. Titik tekan ekonomi syariah yang berbasis kerakyatan juga harus ditopang dengan pengerahan dan pemberdayaan ekonomi kecil dan menengah yang jumlahnya mungkin 80 persen dari kekuatan ekonomi rakyat. Hal ini penting untuk dilakukan, karena berawal dari Usaha Kecil Menengah (UKM) pertumbuhan ekonomi bangsa bisa ditentukan.
Dengan cacatan, perubahan sikap dan mental birokrasi berhasil dilakukan, sehingga lebih efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat. Dalam peranannya memberdayakan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), perbankan syariah telah menghidupkan usaha yang dimiliki oleh masyarakat kecil dan menengah melalui investasi dan gerai-gerai sentra pelayanan usaha mikro. Komposisi penggunaan dana perbankan syariah juga menunjukan bahwa amanah dana simpanan masyarakat disalurkan ke sektor riil sebesar tujuh puluh persen lebih sebagai pembiayaan sehingga perbankan syariah dapat survive di tengah ketidakpastian ekonomi modern dan mempunyai kontribusi besar dalam pembangunan sektor ril.
Di tengah persaingan ekonomi yang sangat ketat, lembaga keuangan syariah dituntut untuk menciptakan ketentraman di lapisan bawah, menengah dan pedalaman, terutama di luar sentra-sentra ekonomi, agar dapat berkembang secara berkesinambungan. Keharmonisan hubungan antar pihak yang terkait, menjadi kunci utama dalam membangun sebuah usaha dalam peningkatan ekonomi pada pertumbuhan yang pesat dan kompetitif. Keharmonisan dalam membangun kerjasama (time work) juga berdampak positif pada kelancaran sistem ekonomi yang sedang dijalankan pada investor-investor yang menanamkan modalnya di Indonesia.
Sebagai icon sistem ekonomi Islam,[11] lembaga keuangan syariah tidak tergantung dengan investor asing untuk mengelola sistem keuangan agar berjalan dengan lancar. Intinya, setiap usaha yang dijalankan tidak perlu mencari daya beli dari investor asing, cukup mengerahkan daya beli dalam negeri. Kita memang tidak sadar, bahwa sebenarnya ini merupakan upaya orang-orang barat untuk menghegemoni dan mengeksploitasi perekonomian bangsa ini menuju kemerosotan. Seharusnya dengan meningkatkan produksi-produksi dalam negeri, paling tidak sudah ada upaya kongkrit untuk meningkatkan perekonomian rakyat. Dengan berbekal semangat dan kepedulian terhadap produksi dalam negeri, maka dambaan untuk meningkatkan perekonomian bangsa Indonesia secara keseluruhan dapat direalisasikan dengan baik.
Lalu seperti apa peranan lembaga keuangan syariah dalam menjaga stabilitas keuangan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat? Secara eksplisit, peranan ekonomi syariah memang sangat luar biasa dalam menopang sektor ekonomi mikro di masyarakat. Tidak heran bila keberadaan perbankan syariah secara tidak langsung telah mampu menjawab keraguan atas kontribusinya pada peningkatan taraf ekonomi masyarakat. Ini karena, perbankan yang berbasis syariah memiliki nilai lebih dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Apalagi, perbankan yang berbasis syariah memberi penekanan kuat pada penghidupan sektor-sektor riil. Penekanan ini sebagai konsekwensi prinsif dasar sistem ekonomi Islam yang mengharmoniskan antara sektor keuangan dengan sektor riil.
Harmonisasi antara sektor keuangan dengan sektor riil tersebut menurut Janu Dewandaru, peneliti senior di Biro Penelitian Pengembangan dan Pengaturan Perbankan Syariah pada Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, memberikan model proyeksi kebutuhan likuiditas lebih akurat oleh otoritas moneter. Akurasi kebutuhan likuiditas akan menunjukkan besarnya likuiditas yang dibutuhkan untuk membiayai produksi dan konsumsi yang pada gilirannya menciptakan pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, stabilitas harga, dan lain sebagainya.[12]

Penutup
Besarnya peran perbankan syariah dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi, membuat perbankan nasional merasa tersaingi dengan semakin meluasnya jaringan lembaga keuangan syariah yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Dalam pelaksanaan operasinya yang didasarkan pada prinsip islami, perbankan syariah tumbuh menjadi bank yang mempunyai potensi untuk membangun perekonomian yang lebih baik di Indonesia. Melalui peranannya dalam perbaikan kondisi ekonomi perbankan syariah dapat menjadi sarana alternatif untuk mewujudkan ekonomi yang berkeadilan di Indonesia. Apalagi, perbankan syariah secara konsepsional didasarkan atas prinsip kemitraan berdasarkan kesetaraan (equality), keadilan (fairness), kejujuran (transparancy) dan mencari keuntungan yang halal semata (halalan thoyyiban).





[1] Umer Chapra, The Future of Economics: An Islamic Perspective, (UK: The Islamic Foundation, 2000), hlm. 23.
[2] Mudharabah adalah kontrak antara dua pihak, dimana satu pihak yang disebut rab al-mal (investor) mempercayakan uang kepada pihak kedua, yang disebut mudharib, untuk tujuan menjalankan usaha dagang. Mudharib menyumbangkan tenaga dan waktunya untuk mengelola kongsi mereka sesuai dengan syarat yang disepakati. Salah satu ciri dari kontrak ini asalah bawa keuntungan, jika ada, maka akan dibagi antara investor dan mudharib. Sementara jika ada kerugian, maka akan ditanggung sendiri oleh investor. Lihat Ahmed Abdel Fattah El-Ahker, The Islamic Bussines Enterprise, (Kent: Croom Helm, 1987), hlm. 75.
[3] Dalam fiqih, konsep musyarakah digunakan dalam arti yang lebih luas ketimbang yang digunakan dalam perbankan Islam. Musyarakah dalam fiqih disebut sebagai kemitraan-pembiayaan. Bahkan mazhab Syafi’I dan Hanbali memegang pandangan bahwa masing-masing mitra dapat menjalankan hubungan kemitraan demi kepentingan bisnis yang dijalankan sesuai dengan praktik dagang. Menurut Ibn Qudaimah, si mitra dapat melakukan apa saja sebatas dalam kepentingan bisnis berdasarkan kemitraan. Lihat Ibn Qudaimah, al-Mughni, (Riyadh: Maktabat al-Riyadh al-Haditsah, 1981), hlm. 189.
[4] Sebagian modernis, seperti politikus Syiria kontemporer, Doualibi, membedakan antara pinjaman untuk konsumsi dengan pinjaman untuk produksi. Ia berpendapat bahwa bunga pada pinjaman untuk produksi adalah halal, sementara bunga pada pinjaman untuk konsumsi adalah haram. Pendapat ini berdasatkan ayat al-Qur’an yang terkait dengan keharaman riba. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Bahuts fi al-Riba, (Kuwait: Dar al-Buhuts al-Ilmiyyah, 1970), hlm. 52-53.. Lihat juga Nabil A. Saleh, Unlawful Gain and Legitimate Profit in Islamic Law, (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), hlm. 29.
[5] Faham neoliberalisme awalnya berangkat dari diskursus yang berkembang di kalangan para ekonom yang berada di Washington DC, untuk menyikapi krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Latin pada pertengahan 1980-an, terutama yang menimpa tiga negara besar, yaitu Meksiko, Brazil, dan Argentina. Lihat Boediono, Ekonomi Indonesia, Mau ke Mana?, (Jakarta: KPG, 2009), hlm. XI. 
[6] Sutan Remy Syahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukanya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 4-5.
[7] Adiwarman Karim, Bank Syariah: Analisa Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: Penerbit IIIT, 2003), hlm. 234.
[8] Sejak eksprimen perbankan Islam yang pertama dari Mit Ghamr pada tahun 1960-an, bank-bank Islam berkembang pesat. Bank-bank Islam mulai bertambah jumlahnya setelah kelahiran mereka pada 1960-an. Dari hanya satu bank di dunia pada awal 1970-an, jumlahnya terus bertambah menjadi Sembilan pada tahun 1980. Di antaranya adalah Nasser Social Bank (1971), Islamic Development Bank (1975), Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank Mesir (1977), Bahrain Islamic Bank (1979), dan International Islamic Bank for Investment and Development (1980). Sementara di Indonesia, muncul bank muamalah, bank syariah mandiri, dan bank-bank Islam lainnya. Lihat Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 16.
[9] Bank Indonesia, Laporan Perkembangan Perbankan Syariah, (Jakarta: Bank Indonesia Mannan, 2008), hlm. 123. Berbagai studi menunjukkan bahwa keberadaan institusi keuangan memainkan peranan vital dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Institusi keuangan, terutama perbankan, menjadi penggerak bagi pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, jumlah institusi keuangan sya- ri’ah mengalami peningkatan. Pada tahun 2005, jumlah perbankan syari’ah baru ada tiga lembaga. Pada tahun 2010, jumlahnya mening- kat menjadi 11 lembaga. Lihat Bank Indonesia, “Statistik Perbankan Syariah” , Desember 2010, hlm. 1.
[10] M Kuncoro, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2000), hlm. 145.
[11] Bangunan ekonomi Islam didasarkan atas lima nilai universal, yakni tauhid (keimanan), adl (keadilan), nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerintahan), dan ma’ad (hasil). Kelima nilai ini menjadi dasar inspirasi untuk menyusun proposisi dan teori-teori ekonomi Islam. Tiga prinsip ekonomi Islam, yakni multitype ownership, freedom ta act, dan social justice terbangun dari lima nilai universal di atas. Tiga prinsip tersebut menjadi ciri-ciri dan cikal bakal sistem ekonomi Islam. Lihat Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2003), hlm. 52.
[12] Janu Dewandaru, “Apa yang Sebenarnya Ditawarkan oleh Ekonomi Islam”, dalam Islam and Contemporary Issues, ed. Ahmad Syukri Shaleh dan Ahmad Syukri Baharuddin, (Jambi: PPs IAIN Jambi, 2009), hlm. 161.

Komentar