Kemajemukan Tanpa Kekerasan

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Tragedi kekerasan bertubi-tubi menghancurkan harmoni kehidupan masyarakat kita. Setelah tragedi kekerasan menggemparkan publik di Cikeusik dan Temanggung, kini insiden kekerasan yang bernuansa SARA menimpa sebuah Yayasan Pondok Pesantren Islam (YAPI) di Desa Kenep, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan. Dalam insiden tersebut, sejumlah santri mengalami luka berat akibat serangan sekelompok orang tak dikenal yang datang secara tiba-tiba.

Semakin meluasnya eskalase kekerasan yang menimpa negeri ini, semakin besar pula rasa pesimisme masyarakat terkait dengan jaminan keamanan yang tidak bisa terkendali. Aksi kekerasan seolah tak mengenal sekat maupun golongan, bahkan kini menimpa sebuah pondok pesantren yang menjadi pilar ilmu agama bagi masyarakat. Barangkali ini menjadi ujian bangsa kita dalam menghadapi tragedi besar yang bisa saja memecah persatuan kita sebagai bangsa yang majemuk.

Kita bisa mengandaikan bahwa kemajemukan negeri ini semakin memperlebar potensi konflik dan eskalase kekerasan yang bernuansa agama. Bahkan, agama seolah-olah dijadikan tameng untuk menghalalkan tindakan kekerasan. Menurut St. Sunardi, dalam masyarakat sekarang ini, tidak hanya terjadi eskalase kekerasan, melainkan juga sofistikasi kekerasan (melalui proses budaya)- bahkan agamanisasi kekerasan.

Di tengah hantaman cobaan yang bertubi-tubi datangnya, kita makin sadar bahwa bangsa ini harus berbenah diri dari segala kompleksitas persoalan yang selalu mewarnai kehidupan masyarakat. Di saat sebagian besar masyarakat kita hidup dalam himpitan kemiskinan dan pengangguran, kini insiden kekerasan seolah menjadi hantu baru bagi kedamaian dan ketenangan masyarakat yang hampir frustasi akibat kesejahteraan yang mereka idamkan belum tercapai.

Barangkali semua insiden kekerasan yang menimpa bangsa kita, tidak lepas dari rapuhnya ikatan emosional kita sebagai bangsa yang satu dan diikat oleh asas kebersamaan dan saling ketergantungan satu sama lain. Kenapa seolah-olah kita hendak menghancurkan saudara sebangsa sendiri? Padahal kita tahu Indonesia terbentuk sebagai suatu bangsa yang di dalamnya terdapat keragaman budaya, agama, bahasa, adat istiadat, ras, dan lain sebagainya.

Seharusnya di tengah ancaman perpecahan ini, seluruh elemen bangsa bersatu dalam rangka menyelamatkan martabat kita yang mulai rapuh akibat gesekan-gesekan bernuansa SARA yang semakin mencederai wawasan kebhinneka-an kita. Bukankah perbedaan keyakinan, suku, ras, budaya, maupun latar belakang sosial merupakan keunggulan kita sebagai bangsa yang majemuk? Kenapa kita harus membunuh satu sama lain, padahal kita satu tubuh yang diciptakan Tuhan untuk saling mengasihi dengan aroma cinta dan kasih sayang?

Apa dosa negeri ini, ketika insiden kekerasan yang bernuansa SARA semakin merajalela di tengah iklim demokrasi kita. Mungkinkah negeri ini sudah dikutuk akan terus ditimpa eskalase kekerasan yang tak pernah surut? Adakah harapan dan optimisme yang tetap kita bingkai untuk menyelami dan menghayati hikmah dibalik insiden kekerasan yang menimpa bangsa kita?

Kita sangat menyesalkan tindakan kekerasan semakin meluas ke berbagai lini kehidupan. Di tengah bangsa lain sudah berbenah dan memperbaiki kondisi stabilitas negerinya, negeri ini masih tertatih-tatih untuk sekedar keluar dari jeratan kekerasan yang bertubi-tubi meruntuhkan martabat bangsa. Di manakah letak kesalahan negeri ini, sehingga seolah-olah aksi kekerasan menjadi budaya bangsa?

Kita harus sadari bahwa bangsa kita sudah terlanjur keparat dan berada diambang kehancuran. Para pemimpin kita yang diharapkan membawa perubahan dan perbaikan atas kondisi bangsa yang carut marut, ternyata tidak bisa diandalkan. Pemimpin kita lebih mengedepankan citra dan popularitas daripada peningkatan kinerja dan integritas secara sinergis guna mencari jalan keluar atas segala aksi kekerasan yang menyayat hati masyarakat luas.

Kita memang sangat miris dengan pemimpin sekarang yang hanya mengandalkan pencitraan daripada tindakan nyata. Seolah-olah negara ini tak bernyawa, apalagi pemimpinnya hanya bernostalgia menyaksikan jeritan masyarakat yang membutuhkan jaminan keamanan demi kehidupan yang sejahtera.

Kalau kita mengacu pada teori antropologi, bangsa ini tergolong sebagai the defeated culture. Sebuah bangsa yang ditakdirkan Tuhan untuk selalu kalah. Kemudian Tuhan teori dibantah, karena Tuhan tidak mungkin mengubah nasib satu kaum, bila mereka tidak mengubah nasibnya sendiri. Teori ini sejalan dengan apa yang dikatakan Komaruddin Hidayat (2006), bahwa bangsa ini telah terjerat kubangan “self-destroying nation”, bangsa yang menghancurkan dirinya sendiri.

Itulah sebabnya, kita membutuhkan tokoh panutan yang mampu meredam konflik dengan jalan damai dan toleran. Kita membutuhkan pemimpin yang mampu mengayomi dan merangkul tokoh-tokoh agama untuk bersatu dalam mewujudkan kehidupan yang penuh dengan persaudaraan dan perdamaian sekaligus sebagai antisipasi semakin melebarnya timbulnya gejala-gejala kekerasan yang menjadi tantangan kita bersama.

Kita perlu menyadari bahwa kita telah dikalahkan oleh arogansi primordialisme dan sektarianisme yang mengakar kuat di tubuh semua elemen bangsa. Karenanya, demi membangkitkan kembali perasaan, wawasan, dan semangat kebangsaan kita yang mulai lentur, dibutuhkan persatuan dan kesatuan yang kokoh dengan memegang teguh semboyan negara kita, yakni “Bhinneka Tunggal Ika”.

Jadi, kalau landasan rasa kebangsaan di waktu yang lampau lebih disadari oleh rasa kebersamaan masa lalu kita, maka sekarang dan ke depan rasa kebangsaan harus lebih dilandasi oleh kesamaan pandangan tentang masa depan bersama yang akan kita tuju “sebagai suatu bangsa” (a nation).

Untuk itulah, dalam menyikapi aksi kekerasan yang melebur di semua lini kehidupan, Indonesia harus mampu menguinifikasi semua elemen bangsa dalam kesadaran fundamental ”Bhinneka Tunggal Ika”. Ungkapan integrasi nasional “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”, merupakan ungkapan yang sangat baik untuk memandang keragaman kebangsaan Indonesia, sehingga keutuhan sebuah peradaban Indonesia tetap dipertahankan sampai titik darah penghabisan.

Mohammad Takdir Ilahi, Staf Riset The Mukti Ali Institute Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Komentar