Ahmadiyah dan Kebebasan Beragama

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Kekerasan atas nama agama kembali bergolak. Sikap tidak menerima terhadap keberadaan faham dan keyakinan kelompok lain, menjadi pemicu terjadinya kekerasan yang berakibat pada perusakan tempat ibadah dan bentrokan fisik yang berujung jatuhnya korban jiwa. Bentrokan antara Jamaah Ahmadiyah dan warga di Cikeusik, Pandeglang, Banten, yang menewaskan tiga orang dan enam lainnya mengalami luka berat merupakan potret buram kebebasan beragama di Indonesia.

Munculnya ketegangan tersebut, semakin memunculkan konflik yang terbilang akut dan menjadi phobia bagi kedamaian hidup manusia. Betapa tidak, konflik yang berlarut-larut mengakibatkan semangat perdamaian dan kebebasan dalam spirit keberagamaan semakin sulit diwujudkan. Apalagi konflik itu terjadi dalam internal agama yang memiliki perbedaan faham dan keyakinan mengenai penafsiran ajaran agama tersebut.

Berangkat dari kenyataan inilah, penyerangan terhadap sekelompok Jamaah Ahmadiyah tidak bisa dibenarkan, apalagi dilakukan dengan menggunakan tindakan kekerasan yang berakibat jatuhnya korban jiwa. Kendati ajaran Ahmadiyah sudah difatwa sesat dan merupakan aliran terlarang, akan tetapi pemaksaan terhadap keyakinan orang lain adalah suatu tindakan pelanggaraan HAM dan mengabaikan fitrah kemanusiaan kita.
Dalam konteks ini, setiap orang memiliki hak untuk menentukan kepercayaan dan keyakinan mereka masing-masing tanpa harus dipaksa untuk mengikuti faham orang lain. Dengan cacatan, aliran Ahmadiyah tidak menyebarluaskan secara terbuka keyakinan mereka yang dianggap sesat dan menyesatkan.

Kita masih ingat pada penyerangan di tahun 2005 ini, yang ditengarai dipicu oleh dikeluarkannya 11 fatwa MUI, dimana salah satunya menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah sesat, sehingga terjadi perusakan atas rumah-rumah dan mesjid jamaah Ahmadiyah, bahkan terjadi penjarahan harta benda milik Jamaah oleh beberapa perusaknya. Lebih dari itu, mereka pun dipaksa untuk menandatangani pernyataan keluar dari kepercayaan yang telah dianutnya, yang kemudian mereka lakukan karena mereka merasa takut.

Itulah sebabnya, penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyah merupakan pelanggaran hak kebebasan beragama, suatu hak yang memungkinkan manusia untuk mengembangkan kepribadian intelektual, teologis, dan moralnya sendiri, menentukan sikapnya terhadap kekuatan-kekuatan alam dan supranatural, dan membentuk hubungannya dengan sesama makhluk.

Tidak heran bila pelanggaran atas hak ini menimbulkan tekanan yang menyakitkan pada kelompok Ahmadiyah, karena berkaitan dengan eksistensinya sebagai anak bangsa yang juga mempunyai hak untuk dapat dihidup dengan damai dan diberi kebebasan untuk memilih kepercayaan sesuai dengan kebenaran hatinya.

Apalagi, dalam konstitusi kita, jaminan anti-diskriminasi atas dasar agama dan kepercayaan sebenarnya cukup kuat. Pasal 28 (e), Ayat 1 dan 2 UUD 1945 menyebutkan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Pada ayat berikutnya, disebutkan bahwa ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.

Bahkan, kebebasan beragama ini pun, sudah ditegaskan dalam pasal 4 dan pasal 22 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia, dimana dikatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk memeluk agama yang diyakininya dan bebas beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu, bahkan ditegaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan untuk memeluk agama dan beribadat tersebut.

Perlindungan Hukum

Kita semakin bertanya-tanya, mengapa di negeri yang bebas ini, dimana keragaman dan kebebasan beragama dihormati, persoalan semacam ini dapat terjadi? Dimana aparat pemerintah kala itu? Diduga pada saat penyerbuan dan perusakan dilakukan, terjadi pembiaran oleh pihak aparat pemerintah, karena memang aparat kepolisiaan pada waktu itu jumlahnya tidak terlalu banyak.

Saya memahami bahwa tindakan kekerasaan atas nama agama ini merupakan tindakan di luar batas kemanusiaan kita, karena apa pun alasannya, kita tidak berhak menghakimi keyakinan orang lain dengan cara kekerasan yang tidak dibenarkan dalam setiap ajaran agama. Yang memperihatinkan, terjadinya kekerasan ini seolah-olah dibiarkan begitu saja tanpa ada langkah-langkah pencegahan yang cepat. Padahal, sebelum bentrokan ini terjadi, aparat kepolisian sudah tahu bahwa memang ada perselisihan antara warga dengan Jamaah Ahamadiyah. Lalu kenapa persoalan ini seolah diabaikan oleh aparat pemerintah sehingga menimbulkan kerugian dan kengerian di kalangan Jamaah Ahmadiyah.

Kita memang menyadari bahwa aliran Ahmadiyah sudah difatwa sesat dan telah terjadi kesepakatan antara pemerintah dan pimpinan tokoh Ahmadiyah yang harus dipatuhi. Namun, kebebasan mereka sebagai warga Indonesia juga harus diberi perlindungan hukum yang pasti sehingga mereka pun bisa menjalankan ajaran agama mereka dengan bebas tanpa pemaksaan dari keyakinan lain. Kita sudah faham, bahwa mereka dianggap sesat dan berbahaya, namun sejauh ini tampaknya mereka tidak merugikan siapapun, sebaliknya merekalah yang dirugikan dan diperkosa hak-haknya akibat penyerangan dan perusakan tempat-tempat ibadah mereka oleh sekelompok ormas yang tidak memiliki pemahaman tentang fitrah kebebasan beragama.

Sehubungan dengan makin maraknya kekerasan atas nama agama, aparat hukum harus bisa lebih tegas dalam menindak pelaku kekerasan yang seolah-olah dibiarkan tanpa pencegahan berarti. Namun yang terjadi, pemaksaan atas Jamaah Ahmadiyah serta perusakan atas properti mereka, seringkali menimbulkan perpindahan mereka dari tempat asalnya.
Oleh karena itu, pemerintah dituntut bertanggung jawab terhadap jaminan kebebasan beragama sehingga kita bisa memastikan bahwa hukum dapat ditegakkan dan bukan hanya menjadi hiasan di atas kertas belaka, apalagi keberadaan SKB tiga menteri ternyata tidak memiliki pengaruh dan manfaat yang berarti bagi kelompok Ahmadiyah. Padahal, dalam isi SKB itu dijelaskan bahwa semua warga negara diperintahkan untuk menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut Jamaah Ahmadiyah.

Mohammad Takdir Ilahi, Peminant Kajian Perbandingan Agama dan Staf Riset The Mukti Ali Institute Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Alamat: Gg. Ori 02. No. 6-F Papringan Depok Sleman Yogyakarta.
Emael. tkdr_ilahi@yahoo.co.id.

Komentar