HMI dan Independesi Organisasi

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Setiap tanggal 5 Februari, seluruh aktifis HMI di berbagai belahan Nusantara memperingati kelahiran pergerakan mahasiswa ini yang sudah memasuki usia 64 tahun mengawal keutuhan NKRI dan pengembangan ajaran Islam di Indonesia. Momentum Hari Kelahiran HMI ini patut menjadi refleksi kritis bagi semua elemen bangsa agar turut memberikan apresiasi atas perjuangan aktifis HMI yang terlibat aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan dan menjaga martabat bangsa. Tidak heran bila HMI sampai sekarang masih tetap eksis mengawal laju pembangunan nasional dan menjadi gerakan pemuda Islam yang berpihak pada kepentingan rakyat.

Bila bercermin pada sejarah kelahiran HMI, maka organisasi ini patut mendapatkan apresiasi karena mampu memberikan sumbangan pemikiran dan gerakan revolusioner bagi keutuhan NKRI yang kita cintai. Itulah sebabnya, momentum ini harus menjadi telaah lebih mendalam bagi generasi bangsa agar menghargai perjuangan mahasiswa zaman kemerdekaan yang ikut andil dalam menentukan rumusan ideologi bangsa dan masa depan rakyat secara keseluruhan.

Sebagaimana diketahui bahwa kelahiran HMI berawal dari pergolakan politik dan revolusi fisik bangsa yang sangat menakutkan dan mencekam waktu itu. Maka, pada tanggal 5 Februari 1947, sejumlah elemen mahasiswa Islam dengan didasari oleh semangat untuk mengimplementasikan nilai-nilai keislaman dalam bingkai keindonesiaan mendeklarasikan HMI sebagai gerakan mahasiswa Islam yang berupaya mengawal nilai-nilai ajaran Islam agar diaplikasikan secara holistik.

Semangat inilah yang menjadi salah satu embrio lahirnya organisasi mahasiswa berbasis Islam sebagai sebuah organisasi penggerak dan pengawal kebijakan pemerintah agar berada pada jalur yang benar. Kendati demikian, sasaran yang hendak diwujudkan organisasi ini lebih kepada perjuangan untuk menegakkan sendi-sendi keislam agar tetap berkibar di tengah tekanan pemerintah yang membatasi ruang gerak organisasi keislaman waktu itu. Demi tercapainya tujuan ideal tersebut, HMI lahir di saat bangsa ini masih belum matang dalam menancapkan ideologi pancasila sebagai falsafah bangsa yang masih menuai perdebatan.

Pada titik itu, orientasi aktivitas HMI yang merupakan penjabaran dari tujuan organisasi menganjurkan terjadinya proses adaptasi pada zamannya. Keyakinan Pancasila sebagai ideologi negara pada kenyataanya mengalami proses kebuntuan (stagnasi) yang cukup melelahkan. Hal ini memberikan tuntutan strategi baru bagi lahirnya metodologi apliksi Pancasila agar dapat diterima oleh semua elemen bangsa yang majemuk, sehingga tidak ada resistensi dari pihak manapun yang kurang sepaham dengan penjabaran ideologi pancasila.

Demi tercapainya nilai-nilai keislaman dalam bingkai keindonesiaan, maka HMI bertekad menjadikan Islam sebagai doktrin yang mengarah kepada peradaban secara integralistik, transedental, humanitas, dan inklusif. Dengan kata lain, kader-kader HMI diharapkan memiliki keberanian untuk bersikap tegas terhadap penanaman nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta prinsip-prinsip demokrasi, tanpa melihat perbedaan keyakinan, suku, adat istiadat, bahasa, maupun agama sehinga dapat mendorong tegaknya nilai-nilai Islam sebagai sumber kebenaran yang paling hakiki.

Tantangan HMI

Secara historis sejak tahun 1995 HMI mulai melaksanakan gerakan reformasi dengan menyampaikan pandangan, gagasan dan kritik terhadap pemerintahan. Sesuai dengan kebijakan PB HMI bahwa HMI tidak akan melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional dan konfrontatif terhadap berbagai kebijakan pemerintah, namun bukan berarti tidak melakukan kontrol dan pengawasan yang ketat bagi tegaknya keadilan bagi masyarakat. Dengan kata lain, HMI harus menjadi garda terdepan dalam mengawal jalannya pemerintahan dan tegaknya moralitas bangsa sehingga tantangan HMI dalam konteks kekinian begitu sangat besar.

Dalam konteks ini, tantangan HMI tidak saja berkaitan dengan platform ideologi yang meniscayakan pembaharuan Islam dengan pemikiran yang bersifat dinamis dan progresif dari masing-masing individu, namun juga berkenaan dengan kesan yang muncul bahwa HMI terlalu dekat kekuasaan. Kesan ini bisa memunculkan anggapan negatif bagi masa depan HMI sehingga bisa memperlemah kekuatan ideologi yang menjadi tonggak dasar berdirinya HMI sebagai organisasi pengawal keutuhan NRKI dan penopang tegaknya nilai-nilai keislaman.

Sebagai organisasi mahasiswa Islam, HMI tidak boleh terjebak pada kepentingan politik praktis yang bisa mengacaukan platform ideologi dan merusak tujuan ideal kelahiran HMI. Dalam mengawal kebijakan pemerintah, HMI sebisan mungkin menghindari kesan sebagai anak tiri penguasa maupun politik tertentu yang hendak memanfaatkan organisasi ini pada satu kepentingan sesaat demi mengumpulkan suara maupun massa ketika masa pelaksanaan Pilpres.

Di tengah kemelut bangsa yang diwarnai krisis kepercayaan terhadap pemimpin negeri ini, HMI harus bisa menggerakkan tegaknya keadilan bagi rakyat, karena persoalan yang menimpa bangsa ini berkaitan langsung dengan ketidakadilan penguasa terhadap rakyat jelata yang hidup dalam jurang kemiskinan dan kemelaratan. Dengan kata lain, HMI bisa memosisikan diri sebagai pioner dan pelopor gerakan peduli rakyat jelata yang semakin termarginalkan oleh kebijakan penguasa yang tidak berpihak kepada kepentingan mereka, sehingga perlu dilakukan tuntutan secara politis maupun yuridis atas kinerja penguasa yang kurang memuaskan bagi tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Itulah sebabnya, bila ada kritikan yang ditunjukkan kepada HMI, sebisa mungkin dapat ditampung sebagai bahan koreksi dan perbaikan ke arah yang lebih baik. Barangkali kritik tersebut bernilai positif bagi masa depan HMI, sehingga ke depan kita mampu memperbaiki dan menentukan sikap dan kebijakan yang sesuai dengan keinginan rakyat.

Oleh karena itu, dari masa kemasa, beberapa persoalan yang dihadapkan pada HMI tentang kritik independensi HMI, kedekatan dengan militer, sikap HMI terhadap komunisme, tuntutan Negara Islam, dukungan terhadap rehabilitasi Masyumi, penerimaan azas tunggal Pancasila, adaptasi rasionalitas pemikiran, dan lain-lain yang memberikan penilaian kemunduran terhadap HMI, perlu dilakukan revitalisasi dan refungsionalisasi bagi tegaknya azas-azas yang menjadi ideologi HMI.

Tidak heran bila Anas Urbaningrum yang waktu masih menjabat Ketua PB HMI menjawabnya dengan pemberian wacana politik etis HMI, yakni dengan langkah peningkatan visi HMI, intelektualisasi, penguasaan basis dan modernisasi organisasi. Dengan demikian, di momen bersejarah ini, kita masih berharap agar masa depan HMI akan tetap berkibar untuk menjaga keutuhan NKRI dan menegakkan sendi-sendi keislaman secara total, sehingga masa depan bangsa kita bisa terlepas dari kubangan persoalan yang sangat melukai hati masyarakat.

Mohammad Takdir Ilahi, Staf Riset The Mukti Ali Institute Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Alamat: Gg. Ori 02. No. 6-F Papringan Depok Sleman Yogyakarta.

Komentar