Meneguhkan Semangat Toleransi, Membendung Arogansi

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Peristiwa kekerasan yang menimpa Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten dinilai sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Tidak heran bila kasus kekerasan yang menimbulkan korban jiwa itu merupakan potret buram matinya kebebasan beragama di Indonesia. Sebagai negeri yang toleran dengan kemajemukan yang dimiliki Indonesia, kita sangat menyayangkan konflik kekerasan atas nama agama kembali terjadi.

Pada titik inilah, kita bisa mengidentifikasi terjadinya konflik dari dua faktor penting. Pertama, faktor dari luar agama. Faktor ini mempunyai relevansi dengan masalah-masalah ekonomi, politik, sosial, ketidakadilan dan kemiskinan. Kedua, faktor dari dalam dalam. Tak dapat disangkal bahwa agama di dalam dirinya sendiri berpotensi memunculkan konflik yang sulit diredam. Karena itu, faktor ini merupakan hal yang paling berpengaruh terhadap terjadinya konflik antar agama, sehingga perlu disikapi secara kritis-radikal akan arti pentingnya agama sebagai pedoman hidup (way of life) bagi ummat manusia.

Di sinilah, kekerasan atas agama menjadi penyebab padamnya kreativitas berpikir cendekiawan agama dalam menyumbangkan gagasannya demi kepentingan ummat manusia. Secara emperis, kita sering menyaksikan kebengisan simbol agama yang menjelma menjadi konflik horizontal, dan konflik SARA yang bernuansa agama. Sangat wajar, ketika Djohan Effendi (2002) menganalis problem ini sebagai sebuah persoalan yang memang rezim sengaja memelihara “api dalam sekam”, sehingga persoalan tersebut tak pernah kunjung selesai.

Interpretasi Kebebasan Beragama

Dalam arti yang lebih luas dapat dinyatakan bahwa kebebasan beragama mengisyaratkan adanya kebebasan untuk boleh memeluk agama apa saja yang dijadikan pilihan. Namun, hak asasi paling mendasar tersebut, kini rentan dirampas oleh pihak-pihak tertentu dengan dalih kekuasaan semata. Maka, negara yang demokratis, seperti Indonesia tidak boleh membiarkan itu terjadi.

Tidak heran bila sejarah kelam kebebasan beragama dan berkeyakinan memang menjadi wacana aktual dalam konteks keberagaman kita saat ini. Ini karena, kita (ummat Islam) tidak memiliki fondasi keimanan yang kokoh sehingga tercipta suatu bangunan kehidupan yang tidak ramah pada kehadiran faham lain. Dengan kata lain, kita masih belum mengaplikasikan makna substansial kedewasaan beragama ketika berinteraksi dengan kelompok agama lain.

Itulah sebabnya, konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan salah satu hak asasi manusia yang perlu diperjuangkan. Perjuangan kita dalam menyuarakan kebebasan beragama patut ditingkatkan, mengingat bangsa Indonesia memiliki latar belakang pluralitas yang beragam, baik suku, agama, adat istiadat, kepercayaan tertentu dan lain sebagainya.

Saya memahami bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak yang tidak diciptakan oleh masyarakat atau negara, melainkan suatu anugerah yang dimiliki oleh setiap individu atau kelompok keagamaan yang memahami hakikat humanitasnya. Pendek kata, tidak ada seorang pun yang berhak mengatur identitas dan status agama seseorang, sehingga kebebasan dan kemerdekaan beragama menjadi hak asasi yang perlu dipertahankan.

Kalau kita kaji, sebenarnya perdebatan antara pro dan kontra salah satunya, berpusat pada kata ”kebebasan” yang disandarkan pada agama atau keyakinan. Jika ”kebebasan” dimaknai sebagai kemerdekaan, apakah hal ini mengimplikasikan tidak adanya batasan atas kebebasan itu sendiri? Atau kebebasan di sini, dimaknai sebagai kemerdekaan relatif yang membuka kemungkinan definisi ruang lingkup yang jelas? Dalam konteks ini, Zakiyuddin Baidhawi (2005) menafsirkan kebebasan beragama atau keyakinan (kepercayaan) dalam dua katagori.

Pertama, kebebasan beragama dapat dimaknai sebagai perbedaan dan keragaman agama-agama (al-milal) yang hidup bersama dan berdampingan (live together). Agama-agama monotheistik seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, atau agama-agama non-monotheistik seperti Zoroaster, Hindu, Tao, Kong Hucu, dan Budha, adalah memiliki hak yang sama untuk hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat manusia.

Kedua, kebebasan berkeyakinan adalah merujuk pada pandangan-pandangan hidup (life stances) atau posisi-posisi non-keagamaan dan sekuler. Humanisme misalnya, menggambarkan pandangan hidup non-keagamaan. Tentu saja, orang yang tidak memiliki komunitas keagamaan atau mereka yang berbeda pandangan, memiliki hak penuh untuk memperoleh perlindungan dan keamanan.

Bahkan, kini neoliberalisme yang meyakini pasar sebagai ”pandangan hidup atau agama dunia yang sejati” yang mengikat seluruh penjuru dunia dan seperangkat nilai, telah menjadi ”agama paling sukses sepanjang masa”. Lebih dari itu, ia memenangkan lebih banyak dan lebih cepat orang konversi dari sistem kepercayaan mana pun yang pernah ada dalam sejarah peradaban manusia. (Farid Essack, 2001).

Mengedepankan Semangat Toleransi

Wacana kebebasan beragama dan berkeyakinan, secara faktual dapat menumbuhkan semangat toleransi terhadap agama lain yang berbeda keyakinan dengan kita. Dengan semangat toleransi, diharapkan akan terjalin hubungan yang harmonis antar ummat beragama, sehingga tercipta sikap saling memahami dan menerima setiap perbedaan yang muncul dalam sendi-sendi kehidupan kita.

Pada dasarnya, kebebasan dan pengakuan terhadap agama-agama bukan sekedar melahirkan sikap toleransi terhadap orang lain, lebih dari pada itu adalah suatu upaya rekonstruksi untuk saling memahami satu sama lain. Dapat dikatakan pula, bahwa perbedaan agama bukan merupakan penghalang bagi kita untuk bergaul dan berinteraksi dengan orang lain, tetapi yang paling urgen adalah semangat keberagamaan di tengah heterogenitas bangsa bisa tumbuh dengan seimbang dan berkesinambungan tanpa ada tindakan provokatif yang melahirkan sikap dendam dan antipati terhadap agama-agama lain.

Kita harus memahami bahwa kebebasan beragama dan kepercayaan orang lain adalah ajaran agama, di samping itu memang merupakan sesuatu yang urgen bagi masyarakat Indonesia yang plural. Dengan demikian, membela kebebasan beragama bagi siapa saja, menghormati agama, dan kepercayaan orang lain dianggap sebagai bagian dari kemusliman. Ia merujuk ayat al-Qur’an yang menyatakan keniscayaan membela kebebasan beragama yang disimbolkan dengan sikap mempertahankan rumah-rumah ibadah seperti, Gereja, Sinagog, dan Masjid.

Pada akhirnya, kita tidak punya kewajiban memaksakan kehendak orang lain apalagi dilakukan dengan tindakan kekerasan. Kita seharusnya memahami bahwa kebebasan adalah hak setiap orang. Jalan hidup seseorang tidak bisa dipaksakan apalagi diatur sesuai kehendak kita.

Mohammad Takdir Ilahi, Peminat Kajian Perbandingan Agama dan Staf Riset The Mukti Ali Institute Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Komentar