Meredam Agamanisasi Kekerasan

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Bercermin pada kasus kekerasan yang terjadi di Cikeusik dan Temanggung, kita merasa cemas dengan stabilitas dan keamanan di negeri ini yang semakin tidak terkendali. Betapa tidak, dua contoh kasus kekerasan tersebut seolah hadir dalam jangka waktu yang hampir bersamaan sehingga memberikan sinyal negatif bagi keutuhan NKRI yang kita cintai. Padahal, sebagai negara yang berasaskan pancasila, negara ini tidak boleh kalah oleh pelaku anarkistis yang meresahkan masyarakat.

Dalam melihat kasus kekerasan ini, saya mencermati bahwa negara tidak bisa bertindak apa-apa untuk mencegah terjadinya amukan massa yang lebih besar. Dengan kata lain, seolah-olah negara membiarkan tindakan sekelompok orang yang berkomplot melakukan kekerasan dengan sangat sadis dan banal. Bahkan, dengan payung organisasi kemasyarakatan (ormas), kelompok itu mendapatkan tiket untuk meneror, merusak, melukai, dan membunuh warga yang memiliki pandangan dan keyakinan berbeda.

Padahal, kita tahu bahwa negara memiliki wewenang untuk menindak pelaku anarkistis yang mengatasnamakan agama tertentu. Sementara yang kita saksikan dari kasus di Cekeusik dan Temanggung, negara tidak menggunakan haknya untuk menegakkan hukum, tetapi malah menjadi penonton atas kebrutalan massa yang tidak terkendali. Seharusnya negara ini sadar bahwa ormas telah berkali-kali melakukan tindakan anarkistis, bahkan menjadi hakim jalanan tanpa ada tindakan tegas dari aparat kepolisian.

Kekerasan di negeri ini memang semakin tidak terkontrol, bahkan semakin meluas ke lingkungan masyarakat bawah. Data Setara Institute menunjukkan sepanjang 2009-2010 terjadi 286 tindak kekerasan. Sebanyak 103 kekerasan atas nama agama itu dilakukan elemen negara dan 183 kekerasan oleh non-negara, termasuk ormas anarkistis.

Data tersebut menunjukkan bahwa negara terus-menerus dikalahkan oleh ormas pelaku anarkistis itu. Hal ini makin memperihatinkan, negara telah kalah telak ketika tuntutan pembubaran ormas anarkistis itu diabaikan begitu saja tanpa ada tindak lanjut untuk memberikan efek jera terhadap kebrutalan mereka yang meresahkan masyarakat. Padahal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan telah memberikan jalan bagi pembubaran ormas anarkistis.

Mengeliminasi Budaya Kekerasan

Hampir bisa dipastikan bahwa tindakan kekerasan bernuansa agama yang terjadi di negeri ini tidak lepas dari doktrin dan pemahaman yang keliru tentang substansi ajaran agama. Padahal, kita sudah sering menggelar konferensi dunia mengenai agama dan perdamaian (World Conference on Religion and Peace), namun ternyata belum mampu membangun iman yang dapat menyejukkan dan mengurangi semakin menguatnya eskalase kekerasan di negeri kita tercinta. Bahkan, isu-isu kekerasan berbau SARA di lingkungan masyarakat yang beragama, termasuk di Indonesia semakin mempertebal terjadinya potensi konflik yang lebih besar.

Menyadari semakin meluasnya eskalase kekerasan di negeri ini, kita memang membutuhkan tokoh panutan yang mampu meredakan konflik dengan jalan damai dan toleran. Kita membutuhkan pemimpin yang mampu mengayomi dan merangkul tokoh-tokoh agama untuk bersatu dalam mewujudkan kehidupan yang penuh dengan persaudaraan dan perdamaian sekaligus sebagai antisipasi semakin melebarnya timbulnya gejala-gejala kekerasan yang menjadi tantangan agama-agama.

Kita memaklumi bahwa eskalase kekerasan di negeri tidak mudah dihentikan dengan mudah. Ini karena, kekerasan telah menjadi budaya yang mewarnai konstelasi negara yang majemuk dan plural. Itulah sebabnya, budaya kekerasan yang melekat dalam sanubari setiap elemen bangsa harus dihilangkan dari permukaan agar tidak menjadi bagian dari justifikasi kekerasan itu sendiri.

Johan Galtung (2002), dalam bukunya “Kekerasan Budaya” membagi dua tipe kekerasan yang melekat di kehidupan masyarakat. Pertama, kekerasan kultural yang biasa disampaikan dalam ceramah-ceramah agama dengan mengedepankan sentimen-sentimen suku, ras, dan agama. Dalam konteks ini, kekerasan kultural dipahami sebagai bentuk propaganda melawan kebaikan, cinta, dan kasih sayang yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Kedua, kekerasan struktural yang dilakukan secara terorganisir dan di-desaign dengan sangat rapi oleh suatu kelompok pelaku anarkistis yang membenarkan tindakan kekerasan. Dengan kata lain, kekerasan struktural tidak hanya berupaya membangun kekuatan, mengorganisir kelompok, dan mewujudkan kekuasaannya, tetapi juga memecah belah dan membuat harmoni disintegratif yang semakin luas di lingkungan masyarakat.

Mencermati teori Galtung di atas, kita bisa memahami bahwa pembelaan terhadap simbol agama memang manjadi senjata ampuh untuk menjustifikasi tindakan kekerasan tanpa batas-batan kemanusiaan yang beradab. Pendek kata, kita boleh mengatakan bahwa kekerasan seolah-olah menjadi doktrin agama yang harus dilakukan demi mencapai tujuan tertentu yang memberikan kepuasaan dan perasaan menang.

Terlepas dari contoh kasus kekerasan yang terjadi di negeri ini, kita memang sangat prihatin dengan semangat persaudaraan dan persatuan yang kita miliki sebagai negeri Bhinneka Tunggal Ika. Sebuah negeri yang menjunjung tinggi kemajemukan dan pluralitas, tetapi justru mengabaikan semangat toleransi yang sejatinya menjadi platform kita bersama.

Kita bisa mengandaikan bahwa kemajemukan negeri ini semakin memperlebar potensi konflik dan eskalase kekerasan yang bernuansa agama. Bahkan, agama seolah-olah dijadikan tameng untuk menghalalkan tindakan kekerasan. Menurut St. Sunardi, dalam masyarakat sekarang ini, tidak hanya terjadi eskalase kekerasan, melainkan juga sofistikasi kekerasan (melalui proses budaya)- bahkan agamanisasi kekerasan.

Itulah sebabnya, dalam mencegah semakin meluasnya konflik atas nama agama, semua pihak perlu bersatu untuk melawan tindakan kekerasan yang melanggar HAM dan martabat kita sebagai homo religion. Kita perlu memikirkan secara serius cara-cara yang paling tepat untuk merintis kultur anti-kekerasan yang bisa saja meruntuhkan fondasi NKRI yang telah kita bangun. Semoga, budaya kekerasan di negeri ini dapat dihilangkan dengan mengedepankan semangat persaudaraan dan persatuan demi mempertahankan kemajemukan tanpa kekerasan.


Mohammad Takdir Ilahi, Staf Riset The Mukti Ali Institute Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Alamat: Gg. Ori 02. No. 6-F Papringan Depok Sleman Yogyakarta.

Komentar