Global Warming dan Kecerdasan Ekologis

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Setidaknya 190 negara mulai berunding dalam Konferensi Perubahan Iklim KTT PBB di Kopenhagen, Denmark, yang berlangsung sepanjang 7-18 Desember 2009. Pada pertemuan yang ke-15 (COP) Konferensi Perubahan Iklim PBB (UNCCC) ini, akan bernegoisasi untuk mencapai kesepakatan baru sebagai pengganti skema Protokol Kyoto yang akan berakhir sampai 2012. (Kompas, 7/12/2009).

Pertemuan yang melibatkan kepala negara, illmuan, cendekiawan, dan pemerhati lingkungan hidup ini, setidaknya menjadi langkah strategis bagi terciptanya kesepakatan baru dalam rangka kerja sama internasional guna mengatasi persoalan pemanasan global (global warming), isu perubahan iklim, kerusakan hutan, pencemaran lingkungan, dan efek rumah kaca. Isu-isu global yang mewarnai problem kemanusiaan modern sekarang ini, menuntut semua pihak untuk bahu membahu dalam mengatasi perubahan iklim yang terjadi di seluruh dunia.

Tidak heran, bila Sekretaris Eksekutif Badan PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC), Yvo de Boer, menekankan pentingnya semua delegasi negara agar menunjukkan spirit kerja sama dan kompromi guna menghasilkan kesepatan baru yang berdampak pada keselamatan milyaran ummat manusia di dunia. Pendek kata, isu pemanasan global (global warming) yang menjadi agenda utama dalam perundingan tersebut harus dijadikan lompatan awal guna menekan arus dan laju kenaikan temperatur cuaca, sehingga tidak berdampak pada krisis pangan, air, kerusakan ekosistem, cuaca yang ekstrim, dan ancaman bencana besar yang akan melanda jutaan manusia.

Degradasi Alam dan Ancaman Kepunahan

Pada titik inilah, Living Planet Report 2006, World Wild Fund for Nature (WWF) menyebutkan, bahwa kini ekosistem alam planet bumi mengalami degradasi, karena mencapai titik nadir yang mengkhawatirkan. Degradasi hutan tropis di Indonesia pun sudah melaju cepat sehingga dalam kondisi kolaps.

Padahal, hutan di Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa, bahkan kita juga memiliki keanekaragaman hayati yang bervariatif dengan segala keindahannya. Tak salah, jika Indonesia yang berada di tengah-tengah zamrud khatulistiwa disebut sebagai paruh-paruh dunia, yang merupakan tempat strategis dan potensial dari hal kekayaan alamnya.

Bahkan, dari data yang saya dapatkan, disebutkan bahwa jumlah manusia yang memerlukan tanah, air dan udara di bumi ini untuk hidup pada tahun 1991 sudah berjumlah 5,2 miliar. Jumlah planet bumi pada tahun 1998 bejumlah 6,8 miliar. Pada tahun 2000 membengkak menjadi 7 miliar. Kalau pertumbuhan penduduk tetap dipertahankan seperti sekarang, maka menurut Paul R. Enhirch, 900 tahun lagi (tahun 2900) akan ada satu biliun (delapan belas nol dibelakang 1) orang di atas planet bumi ini atau 1700 orang parameter persegi. Seandainya jumlah itu terus berlanjut sampai pada tahun 2000 atau 3000 tahun kemudian, maka berarti jumlah orang yang tinggal di planet ini sudah melebih berat bumi itu sendiri.

Apalagi, jika target menurunkan emesi karbon dioksida hingga 40 persen bagi negara-negara kaya (Annex I) tahun 2020 tidak bisa terlaksana, maka akibatnya akan mempercepat pencairan es di kutub. Itulah sebabnya, delegasi Indonesia membawa empat agenda penting, yakni reducing emissions for deforestation and forest deregulation (REDD), masalah kelautan, percepatan transfer teknologi untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, dan teknologi mengantisipasi perubahan iklim.
Menurut Philip Kristanto (2004), dalam ”Ekologi Industri”, ada beberapa alasan yang mendasari mencuatnya pemanasan global, perubahan iklim, dan lingkungan hidup, sehingga PPB mengadakan Konferensi tentang Lingkungan Hidup pertama kali di Stockholm.

Pertama, dapat kita lihat pada tahun 1953, di Jepang, terjadi malapetaka yang mengerikan yang menimpa sebagian nelayan dan keluarganya di sekitar Teluk Minamata yang makanan utamanya adalah ikan. Di daerah tersebut telah terjadi wabah neurologis yang disebut dengan penyakit Minamata. Pada penderita secara progresif mengalami lemah otot, hilangnya penghilatan hingga menyebabkan kematian. Ternyata setelah diadakan penelitian, pada tahun 1959, penyakit tersebut disebabkan oleh metilmerkuri, yaitu limbah yang mengandung air raksa dari berbagai industri kimia milik Chisso CO.

Kedua, pada tahun 1963 Amerika Serikat mengeluarkan Undang-Undang Tentang Lingkungan Hidup (National Environmental Policy Act, NEPA) sebagai reaksi atas kerusakan lingkungan oleh aktivitas manusia yang meningkat, antara lain dengan tercemarnya lingkungan oleh pestisida serta limba industri dan transportasi.
Ketiga, terjadinya penipisan lapisan ozon (03) sebagai dampak dari rumah kaca dan meningkatnya suhu permukaan bumi akibat penebalan lapisan C02, yang akan mengancam terhadap kesehatan dan keselamatan ummat manusia, karena ozon menjadi tameng dari pancaran sinar matahari yang sangat menyengat.

Kecerdasan Ekologis

Semakin berkembanganya isu pemanasan global yang terjadi di berbagai belahan dunia, membuat negara-negara maju yang memiliki banyak emisi karbon dioksida perlu bersepakat untuk menurunkan target emisi tersebut. Itulah sebabanya, kita membutuhkan kecerdasan ekologis sebagai penopang laju pertumbuhan ekonomi dan pembangunan secara berkelanjutan tanpa harus merusakan ekosistem dan alam yang kita cintai.

Dalam ”Ecology The Encylopedia of Religion” (1995), A Hultkrant menyatakan bahwa kecerdasan ekologis diaplikasikan dalam kerangka kearifan lokal (local wisdom) berwawasan ekologis. Kearifan ini melahirkan sikap kawan manusia dengan alam yang mendahului gerakan ekologi modern setelah Perang Dunia II. Dengan kerangka tersebut, kesadaran manusia akan melahirkan kecerdasan ekologis dalam menyelematkan alam semesta dari ancaman pemanasan global dan perubahan iklim.

Menghadapi ancaman pemanasan global di atas, kita perlu memelihara proses ekologi yang esensial sebagai bagian dari keseimbangan ekosistem hutan antara tingkat populasi dan daya dukung lingkungan, mempersiapkan sumber daya yang cukup sebagai usaha untuk meningkatkan manfaat yang didapat dari sumber daya alam (hutan), dan penyediaam lingkungan sosial, budaya, dan ekonomi yang sesuai.

Oleh karena itu, kita harus tetap berkomitmen untuk memelihara dan melestarikan potensi kekayaan alam (lingkungan) dari berbagai ancaman bencana kemanusiaan. Yang terpenting lagi adalah kesadaran dan kepedulian kita terhadap alam perlu ditingkatkan dan dikembangkan secara berkelanjutan, sehingga akan tercipta bangunan kehidupan yang terbebas dari kungkungan kemarahan alam, dan pada akhirnya kondisi planet bumi yang kita tempati ini bisa pulih kembali seperti semula.

Mohammad Takdir Ilahi, Juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah HMI Cabang Jogja 2009

Komentar