Idul Kurban dan Egalitarianisme Sosial

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Setelah pada bulan Ramadan kita merayakan Idul Fitri, tibalah saatnya seluruh ummat Islam kembali menyambut momen bersejarah Idul Kurban dengan perasaan suka cita bercampur bahagia. Berbagai persiapan dilakukan, agar momen bersejarah ini tidak terlupakan begitu saja tanpa menghasilkan sesuatu yang bermakna dan bernilai dalam konteks kehidupan nyata. Momentum Idul Kurban ini bisa dijadikan bahan refleksi kita untuk merenungkan ketabahan Nabi Ibrahim ketika harus mengorbankan putra tercintanya di hadapan Allah.

Tidak heran bila ummat Islam di berbagai belahan dunia menyambut syiar agama ini dengan penuh antusiasme dan kepedulian terhadap sesama. Perayaan besar keagamaan yang dilaksanakan setiap 10 Dhulhijjah ini memiliki makna substansial bahwa ummat Islam dianjurkan untuk berkurban melalui penyembelihan hewan yang telah disyariatkan oleh Nabi Ibrahim. Itulah sebabnya, Idul Kurban menjadi simbol perayaan bagi ummat Islam untuk mengorbankan sebagian hartanya demi mengharap ridha Allah semata.

Bila kita mengacu pada landasan fundamental Idul Kurban, maka pemaknaan terhadap momen bersejarah ini tidak sekedar menjadi simbol perayaan formalitas semata, melainkan harus dimaknai sebagai bentuk pengabdian dan pengorbanan kita dalam berjuang menuju rahmat Allah secara ikhlas. Pendek kata, Idul Kurban tidak dijadikan kesempatan untuk berbuat kebajikan tanpa penghayatan dan refleksi kritis terhadap makna dibalik perayaan itu. Itulah mengapa, ummat Islam dituntut untuk memahami pesan-pesan moral yang diajarkan Nabi Ibrahim ketika harus memotong kepala putranya sendiri.

Menurut Abdul Hamid Hakim, Idul Adha adalah hari penyembelihan hewan ternak pada tanggal 10 Dhulhijjah sampai akhir hari tasyrik (11-13 Dhulhijjah) dengan maksud untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah (al-Mu’in al-Mubin II, 1975). Sebagai momen bersejarah, Idul Kurban harus dimanfaatkan sebaik mungkin guna memperbanyak amal kabajikan dengan membantu orang-orang fakir yang tidak memiliki kesempatan untuk berkurban. Ini karena, perintah berkurban bagi ummat Islam termaktub dalam al-Qur’an yang berbunyi, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dialah yang terputus. (al-Kautsar,1-3).

Terlepas dari hal itu, Idul Kurban juga tidak sekedar dimaknai sebagai momen menuju sejarah baru, akan tetapi harus dijadikan spirit untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Setiap momen sejarah dalam Islam, semestinya menjadi bahan kontemplasi untuk memperbaiki diri terhadap tindakan yang kita lakukan pada tahun sebelumnya. Dalam artian, momen tersebut tidak hanya dijadikan perayaan yang bersifat artifisial, lebih daripada itu adalah berupaya memperkuat persaudaraan sesama muslim sehingga bisa membawa pencerahan dan perbaikan terhadap manifestasi nilai-nilai kemanusiaan.

Momen Kesalehan Sosial

Mengacu pada landasan pemikiran di atas, sesungguhnya syariat Islam itu sangat humanis. Meminjam gagasan Kuntowijoyo dalam “Paradigma Islam” (1991), bahwa Islam adalah “humanisme teosentrik”. Maksudnya adalah Islam merupakan agama yang menitikberatkan pada keimanan kepada Tuhan dan mengarahkan perjuangannya untuk kemulian peradaban manusia sehingga transformasi sosial bisa tumbuh dan berkembang di tengah problem kebangsaan yang akut ini.

Di tengah problem kebangsaan yang menimpa negeri ini, mulai dari krisis keuangan global yang menghantam perekonomian Indonesia, semestinya kita memiliki sikap kepedulian dan kesadaran untuk memberikan sumbangsih pemikiran agar problem yang menimpa bangsa kita dapat diatasi dengan baik. Salah satu bentuk kepedulian itu adalah dengan menumbuhkan kesalehan sosial di antara sesama. Apalagi, kita berada ditengah momentum Idul Kurban yang merupakan manifestasi nilai-nilai keislaman yang terkandung dalam al-Qur’an.

Menurut Abdul Munir Mulkhan (2005), kesalehan sosial adalah suatu tindakan yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain, serta dilakukan atas dasar kesadaran pada ajaran Tuhan. Tindakan saleh (sering disebut dalam kosa kata ”amal saleh”) merupakan implementasi keberimanan, pernyataan atau produk dari iman (percaya kepada Tuhan) seseorang yang dilakukan secara sadar. Sama halnya dengan pemaknaan Idul Kurban yang mengandung unsur-unsur kemanusiaan, karena dilandasi oleh kepedulian terhadap sesama dan perasaan ikhlas untuk membantu fakir miskin yang sangat membutuhkan uluran tangan kita.

Dalam konteks ini, Idul Kurban tidak boleh dimaknai seberapa besar ukuran kurban yang telah kita berikan, melainkan harus dipahami sebagai bentuk kesalehan terhadap sesama dengan semata-mata mengharapkan ridha Allah. Kesalehan dalam bentuk materi dan dorongan moril merupakan salah satu bagian dari penghayatan nilai-nilai kemanusiaan yang terpancar dalam jiwa dan pribadi kita. Itulah sebabnya, kepedulian bukan saja berarti memberikan sebagian harta yang kita miliki, lebih daripada itu, kepedulian merupakan bagian dari jihad yang termanifestasi dalam konteks sosial masyarakat.

Idul Kurban: Simbol Egalitarianisme Sosial

Meminjam istilah Fauzan Shaleh (2006), kita harus berjihad melawan ketidakadilan yang mengkungkung ummat dari keterbelakangan, penindasan, diskriminasi, dan ”exploitation de’l homme par l’homme”. Termasuk jihad dalam konteks ini ialah kesediaan untuk berkurban di tengah momentum bersejarah di bulan Dhulhijjah yang penuh dengan nuansa kebaikan dan kebajikan antara sesama. Dalam artian, seseorang tidak boleh mengedepankan kepentingan pribadi atau mempertahankan status quo, tetapi berjuang untuk membela kepentingan orang-orang lemah dan tertindas.

Dengan kata lain, sikap keberimanan kita tidak saja dimaknai mempercayai Tuhan semata, melainkan juga kesatuan ummat manusia (the unity of mankind), yang tidak akan terwujud tanpa memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan sifat egalitarianisme sosial.

Pada titik inilah, makna substasial Idul Kurban dapat kita rasakan melalui penghayatan dan refleksi kritis terhadap ajaran agama itu sendiri. Tidak heran, bila Bung Karno selalu mengatakan pentingnya mengobarkan api Islam, bukan abunya. Sebab ia melihat pentingnya esensi sebagai pesan universal dari konsep rahmatal lil a’lamin.

Mohammad Takdir Ilahi,
Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta. Penulis Buku “Gelegar Gajah Mada Sang Proklamator Nusantara” (Garailmu, November 2009).

Komentar