Menakar Modernisme Intelektual dan Politik

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Sebagai seorang modernis Islam, al-Afghani sadar bahwa kejumudan dan kebekuan wacana pemikiran keislaman merupakan problem klasik yang perlu dicari solusinya. Mengingat, geliat globalitas yang diusung Barat sudah merambah masuk pada tatanan keimanan dan keyakinan ummat Islam. Bentuk kesadaran ummat Islam, menurut al-Afghani tidak boleh berhenti pada tataran konseptual semata, melainkan harus ditopang dengan kesungguhan kita dalam mendalami khazanah keilmuan para pemikir Islam.

Pada titik inilah, konsep modernisme Islam yang diusung al-Afghani dan Muhammad Abduh perlu direkonstruksi kembali agar bisa sejalan dengan wacana keilmuan yang dimiliki ummat Islam. Dalam artian, bahwa konsep modernisme tidak harus mengubur khazanah keilmuan kita yang dianggap kaku dan konservatif, melainkan bagaimana kita bisa menyeleraskan dan memberikan keseimbangan atas wacana modernisme yang berasal dari Barat.

Begitu pula, ketika kita akan mengadopsi konsep modernisme, maka asumsi yang digunakan tidak boleh mengatakan bahwa apa yang diusung modernisme tidak lebih sebagai westernisasi, melainkan harus dipahami sebagai bagian dari rasionalisasi.
Kalau kita kaji secara lebih cermat, ternyata modernisme Islam setidaknya mencakup dua aspek pembaruan atau modernisasi yang merupakan elemen terpenting dalam menuju perubahan, kemajuan, dan kebangkitan gagasan pemikiran.

Modernisme Intelektual

Pada abad 13/19 para filosof dan ulama Islam melakukan revolusi cara berpikir yang baru, dalam mengembangkan rasionalisme, pada ilmu pengetahuan. Semangat baru dalam merombak nalar intelektual yang kaku, mulai gencar dilakukan, mulai penerjemahan karya-karya ilmuan klasik sampai mendirikan sekolah-sekolah khusus untuk mencetak generasi muslim yang modernis dan reformis.

Namun, semangat baru yang muncul itu, pada masa ini muncul masalah-masalah yang krusial, seperti apakah agama dan akal dapat di sesuaikan. Masalah tersebut muncul dari Barat, sebagaimana E. Renan dan Sir William Muir, yang berpendapat bahwa keterbelakangan sosial dan ekonomi pada masyarakat muslim, pada akhir zaman pertengahan ini, disebabkan oleh kurangnya peradaban Islam. Hal semacam ini diduga berasal dari pendapat yang menganggap kekurangan Islam sebagai sebuah agama, karena dipandang sebagai sebuah gejala yang bertentangan dengan akal dan faham orang lain.
Terlepas dari hal itu, Nurcholish Madjid (1999) dalam “Islam Kemodernan dan Keindonesiaan” menegaskan bahwa “agama adalah akal dan tidak ada agama bagi mereka yang tidak berakal”, sehingga mengandung kebenaran yang asasi. Jadi, tanpa mendukung faham rasionalisme sebagai keniscayaan modernisme, agama tetap menghendaki nalar intelektualisme.

Inilah yang menjadi wawasan dasar Muhammad Abduh, dan yang melandasi gerakan reformasinya pada penghujung abad ini di Mesir, ketika menganjurkan kepada Mahasiswa al-Azhar untuk belajar filsafat dan mengikuti jejak Ibn Khaldun dalam kajian-kajian yang lebih empiris.

Maka, sesungguhnya yang amat yang penting dalam konteks modernisme Islam adalah kobaran semangat kaum intelektual muslim melalui hasil pendidikan Barat modern. Seperti tercermin dalam dukungan kaum intelektual Iran kepada revolusinya, bahwa perkembangan kaum intelektual muslim tidak hanya berbentuk di dalam negeri-negeri muslim sendiri, tapi juga di luar (Eropa dan Amerika).

Itulah sebabnya, pendidikan dan ilmu pengetahuan modern menjadi keyakinan baru bagi kaum muslimin untuk meneguhkan identitas intelektual yang tertancap dalam pribadi mereka. Itulah sebabnya, muncul gerakan-gerakan intelektual yang militan yang berupaya mengembalikan gairah pemikiran ummat Islam.

Dalam konteks inilah, modernisme intelektual berupaya melakukan gebrakan awal dalam menumbuhkan jiwa-jiwa kritis dalam pribadi ummat Islam. Hal ini disadari, karena jiwa-jiwa kritis merupakan sentrum intelektualisme dan keilmuan (scientism) serta menjadi nilai kontributif bagi kemajuan peradaban Islam selama beabad-abad lamanya. Namun, gerakan jiwa kritis harus diimbangi dengan semangat keterbukaan dan kedinamisan dalam merengkuh kejayaan yang gemilang, sehingga sinirgitas dan profesionalitas keilmuan dapat menjadi mercucuar peradaban di masa depan.

Di sinilah peran vital para modernis dan reformis Islam, seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, sampai intelektualisme Pak Rasydi, yang mampu menularkan gagasan-gagasan intelektualnya demi tegaknya tiang peradaban Islam secara dinamis. Meminjam Istilahnya, Syed Hussein Alatas (1977), dalam karya klasiknya, “Intellectuals in Developing Societies”, bahwa seorang intelektual seperti Muhammad Abduh merupakan pemikir Islam yang terlibat langsung dalam melahirkan gagasan-gagasan dan persoalan non-material dengan menggunakan rasio atau akal.

Modernisme Politik

Pada tataran praksis, modernisme politik dapat dipahami sebagai gerakan pembaruan yang lebih menitikberatkan pada dinamisasi jaringan dengan gerakan Islam radikal. Dalam artian, gerakan yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan ekspansi militer dalam konteks modernisme. Buktinya, pada awal permulaan gerakan tersebut, dampak-dampak ekspansionis Barat atau wilayah-wilayah muslim, kaum muslim, sesudah kegagalan militer pertama dan politik melawan Barat, telah disibukkan dengan masalah reorganisasi politik yang efektif. Tetapi , sebagaimana masalah-masalah yang dipandang pertama kali sebagai militer murni, yang menimbulkan kesadaran akan perlunya pembaruan politik.

Dalam modernisasi politik, muncul ide pembaharuan pada seorang tokoh Islam seperti Jamaluddin al-Afghani. Dalam hal ini, terdapat dua elemen yang menonjol dalam pemikiran politiknya, yakni kesatuan dunia dan kependudukan muslim. Ajaran persatuan dalam politik dunia Islam yang dikenal sebagai pan-islamisme, yang dibawa langsung oleh al-Afghani sendiri sebagai satu-satunya kubu yang efektif untuk melawan pelanggaran-pelanggaran dari Barat yang berada pada wilayah-wilayah muslim.
Meskipun perasaan terhadap pan-islamisme itu kuat, tetapi nasionalisme jarang melakukan penerobosan ke dalam dunia muslim. Dan diwujudkan secara resmi, dengan sesuatu penekanan khusus pada ideologi-ideologi negara dalam negeri-negeri muslim tertentu. Tetapi istilah “nasionalisme” memiliki perbedaan, walaupun terdapat kesamaan yang kecil dalam pengertian untuk mendapatkan kejernihan dalam situasi pada Islam.

Itulah sebabnya, Ziauddin Sardar (2005), mengatakan bahwa nasionalisme menuntut loyalitas mutlak rakyat terhadap bangsanya, dan Islam pun menuntut loyalitas dan ketundukan kepada Tuhan. Pada titik inilah, nasionalisme melahirkan struktur negara modern dan berdaulat. Namun, di sisi lain, Islam menegaskan bahwa kedaulatan adalah miliki Tuhan semata, dan terlepas dari kepentingan nasional.

*Mohammad Takdir Ilahi,
Peneliti Utama pada The Mukti Ali Institute Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Komentar