Refleksi Natal dan Persahabatan Ummat

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Setiap tanggal 25 Desember, seluruh ummat Kristiani di jagat raya ini melaksanakan perayaan Natal. Pada momen itulah, ummat Kristiani mengheningkan cipta pada Yesus Kristus sebagai Tuhan yang dianggap suci dan sakral. Dengan spirit keagamaan, mereka melaksanakan ritual-ritual keagamaan yang termanifestasi dalam kitab Injil sebagai kitab yang menakjubkan.

Perayaan Natal tidak saja berlangsung di negara-negara dengan komunitas terbesar di dunia. Di Indonesia, perayaan Natal juga tidak kalah meriahnya, meski ummat Kristiani di bumi nusantara ini masih kalah jauh dari ummat Islam. Dengan penuh suka cita, ummat Kristiani menyambutnya dengan rasa syukur kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan mereka.

Menjelang Natal, di berbagai mall atau tempat keramaian seringkali kita menyaksikan aneka hiasan yang begitu gemerlap dengan pernak-pernik yang menjadi simbol perayaan Natal setiap tahun. Pada saat momen itu, ummat Kristiani tidak segan-segan menghamburkan uang untuk sekedar membeli keperluan Natal, seperti ornamen-ornamen pohon terang, hiasan lampu, kue, pakaian, dan lain sebagainya. Bahkan, ketika Natal tiba, ummat Kristiani sering melakukan suatu kebiasaan, yakni ”the christmas shopping season” (musim belanja Natal), dengan cara membeli dan tukar menukar hadiah Natal.

Di saat Natal atau “Christmas” yang katanya untuk menghormati Yesus Kristus dan menghidupkan ajarannya, justru ummat Kristiani bertambah set back (jauh) dari ajaran Yesus. Padahal, menurut Richard Rubenstein (2006), dalam bukunya ”Kala Yesus Jadi Tuhan”, bahwa Yesus dilahirkan sebagai manusia yang mendapatkan ilham untuk menyampaikan kebajikan, pesan moral, cinta kasih, dan menyelamatkan manusia dari ambang kesesatan. Tidak berlebihan, kalau Yesus disebut ”seorang jenius spiritual” yang dapat disejajarkan dengan deretan para Nabi , seperti Musa dan Muhammad sendiri.

Perayaan Natal dengan menggunakan ornamen-ornamen dan pernak-pernik merupakan hal yang lazim dilakukan, sehingga yang tampak dari perayaan Natal hanya sekedar bungkusnya saja. Sementara, mutu dan relevansi pada aspek-aspek fundamental kemanusiaan seringkali terabaikan. Akibatnya, perayaan Natal kehilangan makna dan nilai signifikansinya, yang mencerminkan spirit keagamaan, kebangsaan, perwujudan perdamaian, dan perbaikan tatanan kemanusiaan.

Solidaritas Kemanusiaan

Di tengah suka cita merayakan Natal, kita tidak boleh melupakan saudara-saudara kita yang tertimpa musibah, mulai banjir, tanah longsor, gemba bumi, tsunami, lumpur lapindo, dan persoalan kebangsaan yang masih melilit negeri ini. Di Yogyakarta, Aceh, Nias, Sidoarjo, dan Sumatra adalah daerah-daerah yang banyak ditimpa musibah sehingga mengubur impian dan masa depan mereka untuk menikmati kehidupan secara layak.

Persoalan kebangsaan tersebut, sejatinya menjadi refleksi bagi kita (ummat Kristiani) untuk menumbuhkan rasa kepeduliaan dan persahabatan demi membangun solidaritas kemanusiaan yang utuh dan memberikan jaminan ideal bagi terciptanya nilai-nilai kemanusiaan yang humanis-transformatif. Dalam konteks ini, kepedulian tidak hanya menuntut ketajaman analisis dan solusi, melainkan yang paling urgen adalah tindakan nyata atau aksi. Di samping itu, tidak hanya keberpihakan romantis yang ditonjolkan, tetapi juga tendensi empati-praktis.

Terlepas dari hal itu, yang perlu kita kembangkan di negeri ini, sambil kita merayakan Natal dan usaha menumbuhkan nilai spiritualitas, ialah jargon ”persahabatan dan kesalehan sosial”. Itulah sebabnya, St Sunardi (1999), menekankan kepada kita agar kebiasaan menjalin persahabatan dengan sesama, tidak sampai terbenam ditelan nafsu kekuasaan, dan sebisa mungkin menjauhkan prasangka menjadi sikap terhadap agama ataupun orang ”yang lain” (the other). Meminjam istilahnya, Elisabeth Moltmann (1999), kita harus mengaktualisasikan “friendship combines intimacy, trust and closeness with detachment, respect for the otherness of the other, the mystery of his or her strangeness”.

Apa yang dikatakan Moltmann di atas, sesungguhnya memberikan pesan universal kepada kita, supaya memperat tali persahabatan dan persaudaraan antara sesama tanpa memandang identitas agama. Dengan demikian, setiap komunitas keagamaan dituntut agar mengembangkan companionship sebagai kesaksian dan amanah agamanya. Selanjutnya, setiap agama-agama harus menciptakan persahabatan dengan siapa saja selaku misi dan dakwah. Persekutuan ataupun komunitas agama akan ditandai dengan spirit hospitality (keramahtamahan yang membuka tangan bagi yang lain), bukan tindakan represif yang akan menimbulkan perpecahan.

Pada titi inilah, Natal tidak hanya bermakna peningkatan iman kepada Sang Pencipta, lebih daripada itu, Natal mengandung spirit keagamaan untuk membangun solidaritas kemanusiaan kepada sesama. Peningkatan keimanan juga tidak terbatas pada hubungan kita pada Tuhan, melainkan tumbuhnya kesalehan sosial yang teraktualisasi dalam realitas kehidupan.

Hari Natal adalah hari istimewa bagi umat Kristen, yang berakar dari semangat kepedulian. Kepedulian harus diimplementasikan melalui solidaritas terhadap yang lemah, miskin, dan terbelakang. Ekspresinya terkadang melenceng dari semangat dasar tersebut. Tidak heran kalau Natal jadi barang dagangan. Bahkan, ungkapan ”Ucapan Selamat Natal”, seringkali menjadi komersial dan bisnis. Dengan begitu, kepedulian Natal tergantikan oleh naluri pragmatisme hedonis dan kapitalis.

Maka, refleksi Romo Johannes Dijkstra SJ (1911-2003), misalnya, dapat memberikan penegasan tentang pentingnya sikap peduli kepada rakyat miskin. Pada perkembangan selanjutnya, ia mengatakan bahwa, “seluruh bangsa kita hidup dari hasil bumi petani kecil di desa”. Artinya, solusi kemiskinan, khususnya beras, harus ditempatkan dalam kerangka keberpihakan kepada petani (Menjadi Garam Dunia Sejati, 2006).

Dalam konteks inilah, di Hari Natal yang penuh suka cita dan cinta kasih, kita ingin mengajak ummat Kristiani di Indonesia agar merefleksikan makna Natal sebagai upaya membangun solidaritas dan kepeduliaan tehadap sesama ummat manusia, yang tidak sekedar diperingati secara simbolik dan formal. Selamat Hari Natal!


Mohammad Takdir Ilahi, Studi Perbandingan Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penulis Buku “Gelegar Sumpah Gajah Mada Sang Proklamator Nusantara” (Garaimu, 2009)

Komentar