Memotret Eksistensi Tukang Ojek di DIY

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Kemajuan transportasi di negeri ini (khususnya di DIY), bagaikan magnet yang luar biasa cepatnya menghiasi hiruk pikuk perjalanan ummat manusia. Transportasi yang berfungsi sebagai sarana vital dalam perjalanan masyarakat, ternyata berkembang pesat dari waktu ke waktu. Bahkan, perkembangan yang begitu cepat tersebut, telah mengantarkan masyarakat pada perubahan karakter, sikap, wawasan, gaya hidup, mental, maupun kebutuhan secara instan.

Berbagai macam alat transportasi turut serta dalam memperlancar aktivitas masyarakat di setiap lini kehidupan. Mulai dari transportasi sederhana, seperti sepeda ontel, sampai transportasi yang mewah seperti kapal terbang. Kebetulan, dalam tulisan ini, saya akan fokus pada fenomena tukang ojek sebagai salah satu pelaku transportasi yang cukup eksis dalam percaturan transportasi nasional.

Semakin menjamurnya alat transportasi alternatif, aman, nyaman, fleksibel, dan ber-AC, maka semakin sulit bagi tukang ojek untuk memperoleh penumpang, apalagi harapan mendapatkan setetes rezeki yang hanya sebatas cukup untuk membeli rokok dan makanan. Fenomena inilah, yang sering saya temukan di berbagai sudut kota DIY akhir-akhir ini. Bahkan, karena semakin merebaknya hiruk pikuk alat transportasi, seperti munculnya Trans Jogya, eksistensi tukang ojek justru mengalami ketidakpastian.

Ada banyak faktor sebenarnya yang menyebabkan tukang ojek semakin sulit mendapatkan penumpang. Selain juga, termasuk semakin menipisnya kuantitas pangkalan tukang ojek di DIY secara keseluruhan.

Pertama, walaupun ojek termasuk alat transportasi yang muncul cukup awal, namun keberadaannya sekarang semakin dipertanyakan. Dari wawancara yang saya lakukan terhadap sebagian warga Sleman, ternyata mayoritas lebih memilih menggunakan angkutan umum dari pada ojek. Salah satu alasanya adalah karena faktor keselamatan. Saya pun, mengakui, bahwa menjamurnya tindakan kriminalitas yang terjadi, sedikit banyak karena menggunakan ojek.

Kedua, bagi orang yang berpikir ekonomis (perhitungan), naik ojek bukanlah merupakan transportasi alternatif. Kenapa demikian? Karena ongkos ojek bagi sebagian orang sangatlah mahal. Sehingga, tidak heran kalau banyak orang yang berpaling dari alat transportasi ini, dan lebih memilih angkutan umum sebagai transportasi yang diyakini dapat memberikan kepuasan dan ketenangan.

Ketiga, keterbatasan pangkalan ojek. Di daerah pedesaan, pangkalan tukang ojek memang cukup menjanjikan. Namun, ketika kita melihat di sudut-sudut perkotaan DIY, eksistensi pangkalan ojek jarang sekali ditemukan. Bahkan, boleh dibilang tidak ada sama sekali. Maka dari itu, dibutuhkan adanya pangkalan ojek yang benar-benar merangkul para penumpang.

Tingkatkan Kualitas Pangkalan

Kuantitas pangkalan memang cukup memberikan pengaruh bagi eksistensi tukang ojek, namun peningkatan kualitas pangkalan ojek merupakan hal yang lebih penting. Kualitas pangkalan, sangat terkait dengan menagemen pangkalan yang tersusun secara sistematis. Dalam artian, harus ada pembagian penumpang sehingga tukang ojek yang belum kebagian penumpang dapat juga mendapatkan penghasilan walaupun tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

Kualitas pangkalan ojek, tidak hanya difokuskan pada pembagian penumpang, namun yang lebih penting adalah bagaimana merespon positif penumpang dengan senyum manis sehingga mengembalikan citra tukang ojek yang cukup suram.

Pada satu sisi, peningkatan kualitas pangkalan berkaitan dengan pembangunan fisik dan tempat menunggu penumpang. Walaupun, pembangunan fisik bukan merupakan salah satu cara yang dinilai efektif, namun nuansa keamanan, ketentraman, dan ketertiban dapat mendorong hasrat orang untuk naik ojek. Ketika membangun tempat pangkalan, mencari tempat yang strategis juga sangat determinan dalam memperoleh penumpang.

Di sisi lain, perubahan karakter tukang ojek juga harus dibenahi. Penilaian negatif terhadap tukang ojek yang marak di pemberitaan media, sudah saatnya disikapi secara objektif bahwa tidak semua tukang ojek memiliki karakter represif dan anarkis kepada penumpangnya. Yang harus diketahui, bahwa tukang ojek adalah manusia biasa yang memiliki harapan untuk membantu kebutuhan anak, istri, dan seluruh keluarga mereka.

Mohammad Takdir Ilahi, Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta, Sedang Studi Perbandingan Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Dimuat di Harian Jogja, 10 Januari 2010.

Komentar