Refleksi Idul Fitri dan Solidaritas Kemanusiaan

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Momen perayaan Idul Fitri patutlah dijadikan kesempatan guna merengkuh kemenangan bagi seluruh ummat Islam. Kemenangan itu baru kita rasakan, setelah melaksanakan bulan puasa dengan penuh ketulusan dan mampu mengendalikan hawa nafsu dari berbagai ujian yang datang. Seluruh ummat Islam di jagat raya ini melaksanakan perayaan Idul Fitri sebagai hari kemenangan karena telah lulus ujian dengan predikat ”caum laude”.

Makna Idul Fitri secara metamorfosis ibarat suatu kelahiran kembali. Pendeknya, proses pencerahan batin dari segala kungkungan keakuan yang destruktif. Dalam pemikiran Komaruddin Hidayat (2003), Idul Fitri bukanlah pesta anti-klimaks untuk melepaskan nasfu-nafsu setelah sebelum lamanya dikekang dan dikendalikan. Dengan kata lain, Idul Fitri adalah hari wisuda bagi mereka yang telah berhasil mencapai prestasi dalam upaya mengembalikan keseimbangan jiwa dengan memosisikan kekuatan hati nurani yang bening sebagai alat untuk memegang kendali kehidupan.

Pada titik inilah, hari raya Idul Fitri merupakan momen yang paling ditunggu oleh setiap muslim yang berpuasa. Di saat momen itulah, mereka telah kembali kepada kesuciaan mereka. ’Id al-Fitri, secara harfiah berarti kembali pada fitrah, kembali pada keadaan semula sebagaimana bayi yang baru lahir. Itulah sebabnya, Idul Fitri juga disebut sebagai ”Hari Kemenangan”.

Hari kemenangan ini merupakan peristiwa penting dalam sejarah ummat Islam. Tidak heran bila di sepanjang bulan puasa, ummat Islam menyambutnya dengan penuh meriah dan suka cita. Berbagai persiapan dilakukan, agar momen bersejarah ini tidak terlewatkan begitu saja tanpa nilai dan makna yang dapat dipetik.

Perayaan Idul Fitri tidak saja berlangsung di negara-negara dengan komunitas muslim terbesar di dunia. Di Indonesia, perayaan Idul Fitri juga tidak kalah meriahnya, meski bukan tempat kelahiran agama Islam itu sendiri. Dengan penuh suka cita, ummat Islam menyambutnya dengan rasa syukur kepada Allah, karena masih diberikan kesempatan untuk berjumpa dengan hari istimewa ini. Tidak heran, bila ummat Islam memanfaatkan betul anugerah dan rahmat ini guna meminta maaf kepada keluarga, tetangga, dan sesama muslim sendiri agar bisa hidup dengan damai dan rukun sampai ajal menjemputnya.

Kendati demikian, perayaan Idul Fitri dengan menampilkan gaya dan modis yang baru bukanlah hakikat kemenangan yang sebenarnya, sehingga yang tampak dari perayaan Idul Fitri itu hanya sekedar bungkusnya saja. Sementara, mutu dan relevansi pada aspek-aspek fundamental kemanusiaan seringkali terabaikan. Akibatnya, perayaan Idul Fitri kehilangan makna dan nilai signifikansinya, yang mencerminkan spirit keagamaan, kebangsaan, perwujudan perdamaian, dan perbaikan tatanan kemanusiaan.

Solidaritas Kemanusiaan

Di tengah suka cita merayakan Idul Fitri, kita tidak boleh melupakan saudara-saudara kita yang tertimpa musibah, mulai banjir, tanah longsor, gemba bumi, tsunami, lumpur lapindo, dan persoalan kebangsaan yang masih melilit negeri ini. Di Yogyakarta, Aceh, Nias, Sidoarjo, sebagian besar wilayah Jawa Barat adalah daerah-daerah yang banyak ditimpa musibah sehingga mengubur impian dan masa depan mereka untuk menikmati kehidupan secara layak.
Persoalan kebangsaan tersebut, sejatinya menjadi refleksi bagi kita (ummat Islam) untuk menumbuhkan rasa kepeduliaan dan persahabatan demi membangun solidaritas kemanusiaan yang utuh dan memberikan jaminan ideal bagi terciptanya nilai-nilai kemanusiaan yang humanis-transformatif. Dalam konteks ini, kepedulian tidak hanya menuntut ketajaman analisis dan solusi, melainkan yang paling urgen adalah tindakan nyata atau aksi. Di samping itu, tidak hanya keberpihakan romantis yang ditonjolkan, tetapi juga tendensi empati-praktis.

Terlepas dari hal itu, yang perlu kita kembangkan di negeri ini, sambil kita merayakan Idul Fitri dan usaha menumbuhkan nilai spiritualitas, ialah jargon ”persahabatan dan kesalehan sosial”. Itulah sebabnya, St Sunardi (1999), menekankan kepada kita agar kebiasaan menjalin persahabatan dengan sesama, tidak sampai terbenam ditelan nafsu kekuasaan, dan sebisa mungkin menjauhkan prasangka menjadi sikap terhadap agama ataupun orang ”yang lain” (the other). Meminjam istilahnya, Elisabeth Moltmann (1999), kita harus mengaktualisasikan “friendship combines intimacy, trust and closeness with detachment, respect for the otherness of the other, the mystery of his or her strangeness”.

Apa yang dikatakan Moltmann di atas, sesungguhnya memberikan pesan universal kepada kita, supaya memperat tali persahabatan dan persaudaraan antara sesama tanpa memandang identitas agama. Dengan demikian, setiap komunitas keagamaan dituntut agar mengembangkan companionship sebagai kesaksian dan amanah agamanya. Selanjutnya, setiap agama-agama harus menciptakan persahabatan dengan siapa saja selaku misi dan dakwah. Persekutuan ataupun komunitas agama akan ditandai dengan spirit hospitality (keramah-tamahan yang membuka tangan bagi yang lain), bukan tindakan represif yang akan menimbulkan perpecahan.

Pada titi inilah, Idul Fitri tidak hanya bermakna peningkatan iman kepada Sang Pencipta, lebih daripada itu, ia mengandung spirit keagamaan untuk membangun solidaritas kemanusiaan kepada sesama. Peningkatan keimanan juga tidak terbatas pada hubungan kita pada Tuhan, melainkan tumbuhnya kesalehan sosial yang teraktualisasi dalam realitas kehidupan. Itulah cara yang dapat dilakukan guna membersihkan hati dan jiwa kita yang terkadang terbuai oleh rayuan modernitas dan sikap hedonis ala Barat yang jelas-jelas bertentangan dengan spirit keimanan ummat Islam.

Dengan demikian, Hari Idul Fitri adalah hari istimewa bagi umat Islam, yang berakar dari semangat kepedulian. Kepedulian harus diimplementasikan melalui solidaritas terhadap yang lemah, miskin, dan terbelakang. Biasanya dengan mengeluarkan sebagian rezeki kita melalui jalan zakat yang bisa diberikan sebelum puncak kemenangan itu berlangsung. Bagi yang mampu, semangat solidaritas kepada sesama harus terus dipupuk dan dikembangkan secara berkelanjutan.

Itulah sebabnya, kita harus menghindari perayaan Idul Fitri dengan cara ucapan yang bersifat formalistik. Tidak heran, bila ekspresinya terkadang melenceng dari semangat dasar tersebut, bahkan tidak jarang jadi barang dagangan. Bahkan, ungkapan ”Ucapan Selamat Idul Fitri”, seringkali menjadi komersial dan bisnis. Dengan begitu, kepedulian kepada yang lemah tergantikan oleh naluri pragmatisme hedonis dan kapitalis. Dengan demikian, kepedulian harus ditunjukkan dengan semangat kebersamaan dan solidaritas terhadap penderitaan orang lain dan berupa merefleksikan diri atas berbagai musibah yang menimpa bangsa kita akhir-akhir ini.

Mohammad Takdir Ilahi,
(Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta, Sedang Studi Perbandingan Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Komentar