Infiltrasi Ideologi Transnasional dan Fragmentasi Politisasi Agama

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi*


Baru-baru kita kita dikejutkan dengan munculnya gerakan ideologi baru yang disebut “ideologi transnasional” sebagai manifesto gerakan dari Barat yang hendak melumat ideologi pancasila yang sudah final. Ideologi baru tersebut menginginkan sebuah perubahan revolusioner dan radikal guna memantapkan dasar negara yang dinilai timpang dalam mengayomi dakwah keislaman. Sebagai sebuah tatanan baru dalam ranah ideologi politik, ideologi transnasional juga hendak mengusung gerakan keagamaan yang masuk pada dimensi kultural dan struktural. Dengan kata lain, politik transnasional mengacu pada ideologi lintas sektoral yang berasal dari dunia ketimuran dan kebaratan. Pencampuran asal usul ideologi ini memungkinkan bangsa kita terjebak pada pragmatisme faham dan sindroma kekuasaan yang melabelkan agama sebagai manifesto gerakan.
Sebagai bangsa yang berdaulat, kita patut mewaspai gerakan politik bertemakan transnasional yang dinilai timpang dalam memproyeksikan gerakan keagamaan sehingga secara perlahan masuk pada politik praktis. Munculnya organisasi kemasyarakatan maupun partai politik yang berlandaskan pada ideologi keislaman juga tidak luput dari bayang-bayang ideologi transnasional yang seolah-olah menjadi pijakan dalam setiap aksinya di lapangan. Tidak hanya itu saja, ideologi transnasional dianggap akan mengancam eksistensi kedaulatan bangsa yang telah menjadikan pancasila sebagai falsafah negara. Suatu hal yang naif, bila ideologi pancasila tergantikan oleh ideologi transnasional yang tidak memiliki akar budaya dengan nilai-nilai keislamaan rahmatan lil ‘alamin.
Perlu digarisbawahi bahwa ideologi keagamaan tidak semuanya memiliki akar budaya yang sama dengan bangsa kita, karena dibalik munculnya ideologi tersebut pasti menyimpan orientasi dan kepentingan lain yang hendak dijalankan. Pada awalanya, memang terkesan mengayomi dan memberikan jaminan kedamaian bagi tatanan baru bangsa kita, namun setelah cita-cita untuk membumikan ideologi baru itu tercapai, mereka terkesan balik arah dan mengalihkan orientasinya pada ranah kekuasaan dan kepentingan pragamatis semata. Itulah potret dan cerminan ideologi baru yang perlu diwaspadai oleh setiap elemen bangsa, terutama bagi ummat Islam dari kalangan tradisional yang mudah dikibuli oleh kepentingan politik tertentu yang menyesatkan.



Agama dan ideologi transnasional
Saya bisa memahami bahwa ideologi transnasional adalah suatu istilah yang merujuk pada penggunaan istilah kejahatan transnasional, dengan konotasi lintas batas negara. Jika ada agama dan ideologi yang disebut sebagai agama dan ideologi transnasional, itu adalah Islam. Kalau Islam bukan agama transnasional, maka tidak ada ibadah yang dilakukan lintas negara, seperti haji, umrah dan jihad. Kalau Islam bukan agama transnasional, pasti praktik ibadah kaum Muslim di Indonesia berbeda dengan kaum Muslim di Arab Saudi, Iran, Irak, Kuwait, dan sebagainya. Namun, justru karena shalat, puasa, zakat dan hajinya sama, maka semuanya ini membuktikan, bahwa Islam adalah agama transnasional.
Walaupun itu membuktikan bahwa Islam adalah agama transnasional, tetapi bukan berarti Islam dianut dalam lintasan yang semrautan tanpa mempertimbangkan dasar-dasar keyakinan yang terbingkas dalam ajaran agama itu sendiri. Dalam artian, ideologi transnasional tidak merujuk pada konsepsi tentang substansi agama, karena yang dipermasalahkan adalah motif ideologi yang radikal dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Demikian halnya dengan Islam sebagai ideologi. Persatuan umat Islam di seluruh dunia selama 14 abad dalam satu kebudayaan dan negara adalah bukti, bahwa Islam juga merupakan ideologi transnasional. Seperti kata Will Durant (1885-1981), “Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir bahkan sampai Maroko dan Spanyol”. Islam juga telah menguasai cita-cita mereka, mendominasi akhlaknya, membentuk kehidupannya dan membangkitkan harapan di tengah-tengah mereka, yang meringankan masalah maupun duka mereka. Kita bisa memahami bahwa Islam telah mewujudkan kejayaan dan kemuliaan bagi mereka, sehingga jumlah orang yang memeluknya dan berpegang teguh kepadanya pada saat ini. Agama Islam telah menyatukan mereka dan melunakkan hatinya walaupun ada perbedaan pendapat dan latar belakang politik di antara mereka.” (Will Durant, The History of Civilization, vol XIII).

Manifesto Gerakan Ideologi Transnasional
Gerakan politik keagamaan yang cenderung menggunakan kekerasan dalam menjalankan perjuangannya dikenal dengan istilah gerakan transnasional. Selama ini, Timur Tengah dianggap sebagai salah satu sumber utama gerakan transnasional yang kini tersebar di banyak negara. Gerakan politik Ikhwan Muslimin, misalnya, ditengarai sebagai pionir gerakan perlawanan Islam. Gerakan politik yang radikal demikian, juga muncul dan mengakar kuat di tengah-tengah bangsa kita yang telah mencapai babak baru. Sedemikian kuatnya akar ideologi tersebut, sehingga gerakan transnasional dianggap dapat berbahaya bagi keutuhan dan kedaulatan negara kita tercinta.
Maka tidak heran bila Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) mengeluarkan seruan penting dan meminta masyarakat Indonesia berhati-hati terhadap gerakan transnasional yang berkembang di Indonesia. Gerakan ini dinilai PBNU potensial menghancurkan ideologi negara Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Mantan Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, menyebut Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, dan al-Qaeda sebagai bagian dari international political movement (gerakan politik dunia) yang tak memiliki akar budaya, visi kebangsaan, dan visi keumatan yang sejalan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang ada di Indonesia. Menurut Hasyim, organisasi-organisasi tersebut telah menjadikan Islam sebagai ideologi politik dan bukan sebagai jalan hidup. Lebih jauh, Hasyim menengarai bermunculannya tendensi formalisasi agama sebagai indikator dari gerakan mereka itu. Padahal, yang dilakukan mestinya bukan formalisasi melainkan substansialisasi agama itu sendiri.
Mengingat gencarnya gerakan politik yang bernuansa keislaman, maka segenap elemen bangsa perlu memantapkan kembali ideologi pancasila sebagai pedoman utama. Gerakan politik yang berlabel agama bisa menghancurkan tatanan nilai-nilai kebangsaan dan keislaman yang terbingkai dalam ajaran kenabian. Pendek kata, tatanan nilai-nilai kebangsaan dan keislaman merupakan ruh dan jiwa bagi tegaknya gerakan dakwah yang mengusung kedamaian dan keselarasan bagi setiap ummat di dunia ini. Oleh karena itu, gerakan politik yang berupaya mencampuradukkan atau menyulut api kemarahan ummat Islam harus dipandang sebagai sebagai “kejahatan ideologi” yang hendak merusakan pola pikir dan paradigma masyarakat kita yang mudah terbuai oleh iming-iming kapitalisme global. Tidak berlebihan, bila gerakan politik transnasional telah membuat NKRI menjadi tempat “bal-balan” (main bola) pihak asing yang menghasilkan konflik lintas agama, interen Islam dan separatisme dan lain-lain di Indonesia (Republika, 7 Juli 2007).
Kita tidak bisa membayangkan bahwa ideologi bisa di ekspor melalui berbagai macam jalur, dari mulai yang radikal ataupun moderat. Radikal-bisa melalui teror, serangan militer, embargo, moderat (halus) bisa berupa promosi media massa, buku-buku dan propaganda. Dalam skala global, NU berupaya memblokade sebuah ekspor ideologi yang disebutnya bukan berasal dari kepribadian bangsa, tidak sesuai dengan sosio-historis bangsa melainkan dari jazirah timur tengah yang berbeda karakter dan tradisinya. Tidak heran bila PBNU memberikan peringatan akan masuknya ideologi baru yang berpotensi merusak tatanan ummat Islam dan ideologi pancasila secara lebih khusus.
Apa yang menjadi kekhawatiran Hasyim Muzadi tentang munculnya ideologi transnasional perlu disikapi secara serius, karena bisa saja ideologi tersebut meluluhlantakkan tatanan ideologi keislamaan yang sejuk dan damai. Hasyim menjelaskan, potensi gerakan transnasional yang dapat mengganggu hubungan antar-negara itu terjadi karena mereka kerap kali berupaya “mengganggu” kedaulatan negara kita tercinta. Mereka berupaya mengganti bentuk negara yang sah dan disepakati rakyatnya dengan konsep Pemerintahan Islam (Khilafah Islamiyah).
Jika sebuah negara tak dapat mencegah semakin meluasnya gerakan tersebut, Presiden World Conference on Religions for Peace itu, mengatakan bahwa keutuhan negara yang bersangkutan dalam keadaan terancam. Dengan demikian, hubungan dengan negara lain pun akan terganggu. Itulah yang menjadi kekhawatiran yang selalu diwaspadai agar integrasi bangsa dapat dipertahankan. Pendek kata, kita perlu mensinergikan visi keagamaan dengan kepentingan politik nasional, bukan malah dipertentangkan secara sepihak. Dengan demikian, agama dapat hidup dengan baik di dalam sebuah negara, pun kepentingan negara tidak terganggu. Tidak heran bila banyak kalangan yang mengatakan bahwa kemunculan gerakan politik transnasional itu justru berperan menjadikan agama potensi konflik, bukannya agama menjadi potensi untuk membangun politik kebangsaan, politik keumatan.

Fragmentasi Politisasi Agama Ditengah Gencarnya Ideologi Transnasional
Tidak bisa dipungkiri bahwa siapa saja yang terjun dalam kancah politik menyimpan sebuah kepentingan baik itu untuk dirinya sendiri maupun untuk kepentingan golongannya. Tujuannnya hanya satu, yakni untuk merengkuh dan mencapai kekuasaan. Terlebih lagi bila organisasi yang jelas-jelas mengatas-namakan partai politik masuk pada lingkar civil society- dalam hal ini organisasi massa (ormas) berbasis agama- tidak boleh tidak, perlu diwaspadai sebagai sebuah bentuk infiltrasi yang mentransfer ideologi tertentu.
Ketika infiltrasi ideologi tersebut kemudian menjadi sebuah kultur dalam ormas keagamaan tersebut, sehingga bisa dipastikan akan terjadi dualisme kepentingan yang diametral antara kepentingan dakwah an sich di kutub yang satu dan politik praktis dikutub yang lain. Jika ini terjadi, lama kelamaan identitas ormas tersebut akan buyar, dan pada akhirnya akan mengancam eksistensi ideologi yang mereka bangun. Dengan kata lain, fragmentasi orientasi dan kepentingan tersebut tidak berjalan sesuai dengan hakikat demokrasi dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Parahnya lagi, infiltrasi ideologi terkadang terlalu sulit untuk dideteksi dan identifikasi secara eksplisit, mengingat para “penyusup” tadi menggunakan semacam-kuda troya-alih-alih dakwah, pengajian, kemudian masuk ke pusat-pusat struktural ormas tadi, bisa berupa pesantren, sekolah, unit usaha, atau masjid. Lambat-laun, konsistensi para anggota ormas tersebut dibelokkan orientasinya bukan membela umat secara kseluruhan tetapi untuk menggolkan proyek kekuasaan pertai politik tertentu.
Niccolo Machiavelli (1469-1527), misalnya, adalah salah seorang pemikir kenamaan yang memiliki konsistensi pemikiran pada aspek kekuasaan. Machiavelli adalah seorang pemikir era abad Renaissance Eropa yang banyak menggagas dasar-dasar ilmu politik dan kekuasaan. Melalui buku-bukunya seperti ”The Art of War ”(Seni Perang), ”Dialogue on Language” (Dialog Bahasa) dan ”The Prince and Discourses” (Sang Penguasa dan Uraian-uraiannya), Machiavelli banyak memperkenalkan beberapa gagasan politiknya. Diantara gagasan-gagasan penting Machiavelli adalah tentang bagaimana kekuasaan diperoleh dan bagaimana kekuasaan dipertahankan, peran agama dalam kekuasaan dan kemiliteran. (Yasraf Pilliang dalam Tim Maula, 1999: 19).
Kalau kita cermati, betapa menonjolnya penguasa dan politisi negeri ini yang mengamalkan gagasan-gagasan Machiavelli. Pertama, dalam rangka meraih kekuasaan. Machiavelli 1mengajarkan bahwa seseorang yang ingin meraih kekuasaan (tujuan), cara apapun bisa digunakan (the ends justify the means). Ia bisa menarik minat dan kepercayaan dari masyarakat dalam rangka memperoleh kekuasaan yang didambakan. Kedua, dalam rangka mempertahankan kekuasaan. Machiavelli mengajarkan bahwa seorang politisi harus memiliki dua sifat, yaitu sifat manusia– tulus, penyayang, baik, pemurah– tetapi juga memiliki sifat-sifat binatang atau sifat tidak terpuji, jahat, kikir, licik, bengis dan kejam. Ketiga, pemisahan agama dari kekuasaan. Machiavelli tidak anti agama. Ia malah menyarankan agar setiap penguasa mempertahankan dan memelihara ritual ibadah keagamaan dan senantiasa melaksanakannya sebaik-baiknya. Dengan cara itu, tambahnya, republik akan terbebas dari kebobrokan (korup), menumbuhkan harapan dan semangat rakyat, mengendalikan tentara, menghasilkan orang-orang baik dan menjaga persatuan. (Suhelmi Ahmad, 1999:124).
Sudah saatnya kita sadar, bahwa nafsu kekuasaan dengan memakai jargon agama, pada gilirannya akan mengancam nilai-nilai kemanusiaan yang diusung konsepsi agama. Dalam konteks ini, kembali kepada Islam, bukan berarti hanya menjadikan agama (Islam) sebagai alat meraih kekuasaan, bukan pula menggunakan agama hanya sebagai jaminan dan sumber kepatuhan warga negara, moralitas kolektif, dan kebajikan. Cara pandang seperti ini adalah cara pandang Machiavellis. Dalam konteks inilah, kita harus faham bahwa konsepsi tentang agama dan kekuasaan sangat penting disuarakan. Menurut Robert N. Bellah (2003), agama, pada satu sisi, mungkin mengklaim berasal dari kekuasaan yang melebihi seluruh kekuatan di dunia ini. Namun, di sisi lain, kekuasaan mungkin berarti lebih dari pada sebuah seni pragmatis untuk mencapai tujuan tertentu dan agama membatasi dirinya pada masalah-masalah ”spiritual”.
Ketika Naisbitt dan Aburdene dalam bukunya ”Megatrends” (2000), meramalkan bahwa salah satu kecendrungan baru menjelang abad 21 adalah ”The Religious Survival of the New Millennium”, banyak pihak, yang menyebutnya dengan antusias, karena seakan-akan mengukuhkan harapan kembalinya ”kebangkitan agama” setelah ditelan modernitas yang membawa sekularisasi. Namun antusiasme itu, seketika berubah, ketika dibagian lain, mereka mengumandangkan realitas lain (the other reality) tentang ”Spirituality, yes; Organized Religion, no.”.
Apa yang diintroduksi Naisbitt dan Aburdene ini, sesungguhnya mencerminkan kegelisahan lama ketika dalam masyarakat tertentu menunjukkan kecendrungan bahwa agama terlalu sering diinstitusionalisasikan dalam berbagai lembaga formal, atau agama dipolitisasi dalam berbagai bentuk kepentingan politik praktis. Kegelisahan inilah, yang pada gilirannya menjadikan agama terjebak pada politik praktis yang diusung para penguasa atau politisi yang haus akan kekuasaan, dengan menempatkan agama sebagai tameng utama dalam merengkuh jabatan tinggi di lembaga negara.
Pada masyarakat beragama, politik seringkali dijadikan lompatan utama untuk mencapai tujuan tertentu. Tidak mengherankan, apabila kecendrungan politisi yang masih menganut konsep agama, masih terus menghiasi dinamika kekuasaan di negeri ini. Tidak tanggung-tanggung, mereka memposiskan agama sebagai manuver utama untuk manarik simpati dan kepercayaan dari masyarakat. Kecendrungan penguasa atau politisi di negeri ini, semakin memporak-porandakan konsep kemurnian agama yang dijadikan alat dan tujuan untuk mencapai keinginan sesaat. Bahkan, agama ditempatkan sebagai sentrum pendulang suara melalui kesan fragmentasi yang utopis.
Suatu hal yang naif, apabila nilai substansi agama dipolitisasi dalam berbagai bentuk. Padahal, kita tahu bahwa agama adalah sesuatu yang ”suci” dan memiliki peranan penting dalam perubahan sosial. Namun, pada kenyataannya agama menjadi “alat” dari pada kekuasaan untuk membangun kekuatan. Agama dijadikan ”alat” pembenaran, penguat, pengesahan dan sebagainya, sehingga kekuasaan mendapat pembenaran. Konsep seperti ini, sering dinamakan dengan ”politisasi agama”. Dimana agama dipolitisasi atau dijadikan ”tumbal” oleh kekuasaan. Dalam konteks inilah, kita harus percaya bahwa elite-elite agama menjadi ”kaki tangan” kekuasaan untuk melegalkan keinginan dari pada kekuasaan. Hasan Hanafi (2003:2), sehubungan dengan ini, menyebutkan bahwa dalam satu negara setidaknya telah terjadi dua tradisi, yaitu tradisi kekuasaan dan tradisi oposisi. Tradisi kekuasaan inilah yang dominan menjadikan agama sebagai “alat”.

*Mohammad Takdir Ilahi, Peneliti Utama The Annuqayah Institute Jogjakarta, Penulis Buku “Gelegar Sumpah Gajah Mada Sang Proklamator Nusantara” (2009).

Komentar