Pergeseran Moral Force dan Disorientasi Gerakan Mahasiswa

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Maraknya aksi demonstrasi yang selama ini gencar dilakukan secara masif oleh mahasiswa, menurut saya telah keluar dari substansi orientasi dan tujuan awal yang hendak dicapai. Bagi saya, aksi brutal yang berlebihan, semisal merusak tempat-tempat umum, mengganggu ketertiban dan ketenangan masyarakat merupakan bagian dari keteledoran mahasiswa dalam mempersiapkan sematang mungkin aksi dan gerakan yang akan dilakukan. Jika aksi itu melahirkan tindakan anarkis dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain, maka hal itu pun tidak dibenarkan dalam sistem demokrasi kita.

Walaupun aksi mahasiswa bertujuan gerakan sosial dan menentang segala bentuk ketidakadilan, akan tetapi kalau dibumbui dengan gerakan merusak dan mengganggu kenyamanan orang lain, maka gerakan sosial yang dilakukan tidak akan membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat, bahkan semakin memperburuk citra negatif mahasiswa di mata masyarakat secara umum. Sebagai agen perubahan (agen of change), mahasiswa seharusnya bisa mempertimbangkan gerakan sosial itu pada satu tujuan yang jelas dan memberikan dampak positif bagi iklim demokrasi kita ke depan. Akan tetapi, saya mencermati gerakan sosial mahasiswa telah keluar dari konteks persoalan sehingga arah dan tujuan yang ingin dicapai pun berjalan stagnan.

Pergeseran Moral Force

Ada beberapa cacatan yang perlu saya sampaikan kepada pembaca budiman terkait dengan kesalahan penafsiran mahasiswa dalam melakukan aksi demonstrasi. Pertama, mahasiswa melihat bahwa realitas anarkis tidakklah menjadi ukuran formal buntunya gerakan mahasiswa. Padahal, tindakan anarkis dengan merusak ketertiban umum adalah bagian dari kejahatan sosial, karena telah mengganggu ketenangan masyarakat sekitar. Mahasiswa seolah-olah tidak menyadari bahwa gerakan sosial yang dilakukannya selama ini bukan dilakukan dengan tindakan kekerasan.

Kedua,penafsiran gerakan demonstrasi adalah murni kontrol sosial-politik, merupakan penilaian yang terkesan menutupi citra negatif mahasiswa itu sendiri di mata masyarakat umum. Bila gerakan itu murni sebagai kontrol sosial-politik, maka sebisa mungkin menghindari bentrokan dan pertikaian dengan aparat kepolisian, karena itu bukan mencerminkan moral force yang menjadi titik nadir perjuangan ideal seorang mahasiswa. Hemat saya, gerakan sosial mahasiswa telah mengalami pergeseran, baik dari gerakan moral force, pencarian identitas dan jati diri, maupun kematangan leadership yang semakin tidak terkendali.

Padahal, masyarakat semakin cerdas melihat gerakan sosial mahasiswa yang semakin brutal dan lebih menunjukkan kekuatan otot daripada kejernihan otak guna memecahkan berbagai persoalan kebangsaan yang sedang berkecamuk di negeri ini. Bagi mahasiswa sekarang, cara dialog dengan pertimbangan konsolidasi dianggap tidak berarti apa-apa, bahkan boleh dibilang bukan zamannya lagi. Dalam artian, kejernihan pikiran guna membangun dukungan secara masif sudah tidak lagi diperlukan. Maka, jalan pintas yang bisa dilakukan mahasiswa adalah dengan mengandalkan egosentrisme dan arogansi kekuatan yang kerapkali ditonjolkan sehingga terjadilah apa yang biasa kita dengar dengan istilah “disorientasi gerakan”.

Istilah disorientasi gerakan merupakan potret buram gerakan sosial yang dilakukan mahasiswa, karena melenceng dari tujuan primordial guna membangun semangat persatuan dan menjaga stabilitas politik nasional secara sinergis. Namun, dengan dalih melawan segala ketidakadilan dan hendak menumbangkan penguasa yang otoriter, mahasiswa seringkali terjebak pada aksi kerumunan massa yang belum tampak arah dan tujuannya, sehingga yang terjadi adalah kebimbangan dan kegelisahan yang non-rasional tanpa dilandasi oleh gerakan moral yang jelas.

Bagi saya gerakan sosial mahasiswa sekarang ini lebih bersifat pragmatis dan keluar dari konteks moral force, sehingga perjuangan pun terkesan stagnan dan ambivalen. Oleh karena itu, perlu orientasi yang jelas dalam melakukan aksi demonstrasi biar tidak salah arah dan tujuan.

Bukan Cermin Demokrasi

Demonstrasi yang menimbulkan kerusakan dan ketenangan masyarakat, apalagi sampai menewaskan nyawa seseorang, menurut saya tidak bisa dikatakan bagian dari iklim demokrasi. Ini karena, demokrasi menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dengan semangat keadilan, keseimbangan, kebersamaan, dan sikap egalitarianisme terhadap sesama. Makna demokrasi dapat dipahami sebagai bentuk kepedulian dan sikap saling menghormati atas setiap keputusan dan kebijakan yang datang dari siapa pun. Jika kita mengabaikan hak-hak orang lain dan sengaja menyulut api kemarahan, maka hal itu bukan cermin dari nilai-nilai demokrasi.

Harus kita pahami bersama, bahwa Negara Indonesia adalah berlandaskan pada semangat demokrasi yang menjunjung tinggi semangat toleransi dan sikap lapang dada menerima keputusan apa pun, tanpa mencari kesalahan orang lain atau mengabaikan makna dialog dalam setiap persoalan. Apalagi sampai melakukan tindakan di luar batas norma dan etika demokrasi.

Apa yang dilakukan para demonstran yang berujung anarki, sesungguhnya merupakan tindakan melanggar makna demokrasi yang sebenarnya. Tindakan anarkis, apa pun bentuknya, tidak bisa diterima oleh siapa pun. Ini karena, mekanisme melakukan demonstrasi sudah diatur sedemikian rupa dalam UUD 45. Aksi demo, apa pun bentuknya, tidak boleh mengganggu ketertiban, keamanan, dan ketenangan orang banyak.

Mohammad Takdir Ilahi, Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta.

Komentar