Keselamatan Penerbangan Menuju Zero Accident

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi*

Saat ini, dunia penerbangan memang kita dihadapkan pada persoalan dilematis dan antiklimaks, apalagi jika teknologi yang dipakai pesawat mengalami problem besar terkait dengan bandara yang rata-rata sudah usang. Kita bisa mencermati kejadian pesawat yang lepas landas tanpa kontrol atau pun ketika terjadi hard landing, maka itu menunjukkan bahwa pesawat tersebut berada di bawah standar dan tidak up to date.

Banyak kalangan yang mengatakan bahwa tidak adanya dana untuk memperbaiki sistem sarana dan prasarana, terutama navigasi yang dikelola ATC (air traffic control) menjadi kendala utama bagi peningkatan perbaikan guna merekonstruksi pesawat-pesawat yang sudah usang. Itulah sebabnya, teknologi pesawat yang digunakan harus memenuhi standard Internasional dan telah dilakukan pengembangan lebih lanjut untuk meningkatkan keselamatan penumpang dan sebisa mungkin menekan angka kecelakaan di bidang penerbangan.

Bila kita cermati lebih mendalam, keselamatan penumpang juga tidak lepas dari kewaspadaan dan kepekaan pilot dalam mengarahkan penumpangnya agar menerapkan jargon “safety flight” yang menjadi jalan alternatif bila terjadi kecelakaan darurat. Semisal, bila terjadi hard landing, baik di darat maupun di laut, semestinya pilot akan segera mengumumkan apa yang mesti dilakukan oleh seluruh penumpang. Bisa saja pilot menyatakan situasi aman dan semua penumpang diminta tetap duduk, atau kondisi darurat dan penumpang harus segera melakukan evakuasi.

Oleh karena itu, pada kondisi hard landing di darat seperti yang terjadi di berbagai Bandara di Indonesia, standar operasi yang mesti dilakukan adalah co-pilot keluar dari pintu depan sebelah kiri dan memegang komando untuk mengarahkan penumpang menjauh dari pesawat.

Katagori Rendah

Menurut hasil Tim Nasional Evaluasi Keselamatan dan Keamanan Transportasi (Timnas EKKT) yang dibentuk pada tahun 2007, menyimpulkan bahwa tingkat keselamatan transportasi udara di Indonesia masuk kategori rendah. Persoalan rendahnya tingkat keselamatan itu menjadi ancaman serius bagi dunia penerbangan nasional ke depan, apalagi maskapai penerbangan boleh dibilang sebagai alat transportasi paling strategis dan cepat untuk memperlancar hubungan diplomasi atau kerja sama dengan negara lain.

Juru Bicara Timnas EKKT, Oetarjo Diran, mengatakan bahwa dari hasil interview dengan sekitar 40 sumber informasi yang terdiri atas regulator (Dirjen Dephub), operator hingga level CEO, LSM, pakar universitas, dan lembaga penelitian, telah mendapatkan temuan awal yang menunjukkan beberapa indikasi, fakta, dan bukti yang membenarkan persepsi yang tersebar di masyarakat bahwa tingkat keselamatan transportasi kita memang sangat mengkhawatirkan dan berada di bawah standard keselamatan tinggi.

Ada beberapa penyebab rendahnya tingkat keselamatan. Yang utama adalah faktor lemahnya sumberdaya manusia. Sekitar 70-80 persen penyebab banyaknya kecelakaan adalah faktor kualitas sumberdaya manusia (pilot) yang kurang mumpuni dalam mengendalikan pesawat dengan baik. Sumberdaya manusia yang lemah itu berada di semua lini, mulai di maskapai penerbangan hingga petugas di bandara. Beberapa maskapai mempekerjakan orang tidak sesuai dengan kapasitasnya. Ini terjadi di hampir semua maskapai penerbangan.

Kita tidak bisa membayangkan bahwa faktor SDM memang sangat mendominasi. Mulai pilot, maintenance pesawat, petugas air traffic control, hingga manajemen maskapai penerbangan. Peliknya persoalan SDM ini, membuat kekhawatiran penumpang semakin meradang terhadap rendahnya kualitas keselamatan penerbangan di Indonesia.

Sejak terjadinya deregulasi industri penerbangan di Amerika Serikat, kita bisa menelisik perkembangan penerbangan di Indonesia mengalami kenaikan drastis. Pada 1998, dari jumlah penumpang pesawat 6 juta per tahun melonjak menjadi 30 juta penumpang per tahun. Dari sini jelas Kementrian Perhubungan merasa kewalahan untuk mengontrol operasi penerbangan guna melayani dan menangani 30 juta penumpang tersebut.

Mengantisipasi ancaman keselamatan penumpang di berbagai maskapai penerbangan, maka diperlukan suatu strategi alternatif guna menekan laju kecelakaan yang sangat mengkhawatirkan ini. Itulah sebabnya, dibutuhkan tiga rekomendasi yang mesti dijalankan dalam rangka mengantisipasi kesalahan lepas landas dan terjadinya hard landing yang memberikan tekanan psikologis dan traumatis bagi penumpang.
Pertama, perbaikan aspek kelembagaan yang melibatkan semua elemen terkait, mulai perbaikan administrasi penerbangan sampai pada tingkat pengoperasian sistem dalam maskapai penerbangan.

Kedua, peningkatan kualitas sumberdaya manusia di berbagai lini. Yang harus menjadi titik tekan adalah kualitas pilot dalam menjalankan penerbangan, karena ia salah satu peran sentral dalam melakukan tindakan keselamatan bila pesawat yang dijalankannya mengalami permasalahan teknis maupun akibat cuaca buruk yang tidak mendukung perjalanan maskapai penerbangan.

Ketiga,perbaikan sarana dan prasarana teknologi. Masalah teknologi di bidang penerbangan memang cukup mengkhawatirkan, karena bila teknologi yang digunakan pada pesawat tidak sesuai dengan standard keamanan dan keselamatan bagi penumpang, maka hal itu bisa berakibat fatal terhadap tingkat kerawanan terjadinya kecelakaan pesawat yang lebih dahsyat.

Oleh karena itu, semua pihak perlu memikirkan strategi progresif untuk menekan laju kecelakaan yang sulit dikendalikan. Dengan banyaknya kecelakaan yang menimpa maskapai penerbangan Indonesia, pemerintah harus merumuskan langkah konkret terkait dengan upaya membangun confidence building menuju pada tingkat zero accident. Paling tidak menurunkan angka kecelakaan sekecil-kecilnya merupakan tindakan penyelamatan utama bagi para penumpang yang kebetulan menjadi korban.


*Mohammad Takdir Ilahi, Peneliti Utama The Annuqayah Institute Jogjakarta dan Staf Riset The Mukti Ali Institute Fakultas Ushuluddin UIN Jogjakarta.

Komentar