Momentum Kebangkitan dan Apresiasi Perfilman Nasional

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Ditengah momentum bersejarah ini, insan perfilman kita dituntut untuk bangkit dari tidur panjangnya guna menepis matinya kreatifitas praktisi perfilman kita dalam menyuguhkan nuansa berbeda bagi penikmat film. Insan perfilman kita juga tengah menghadapi meluasnya boom sinetron namun semakin rendahnya daya kemampuan lembaga sensor film kita dalam melihat, mengantisipasi, dan melakukan pekerjaan sensornya. Saatnya, kita melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas film yang kita buat agar memberikan kepuasan bagi pemirsa dan penikmat film secara khsusus.

Momentum kebangkitan perfilman Indonesia dapat dimulai dengan pemutaran film gratis agar masyarakat merasa tertarik dan tumbuh semangat untuk menonton, menilai, dan mengapresiasi keberadaan film Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan munculnya Kineforum Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang mencoba menggelar Bulan Film Nasional selama bulan Maret. Acara yang digelar ini menyajikan program pemutaran film gratis untuk masyarakat umum selama Maret di Studio 21 Taman Ismail Marzuki.

Tema yang diusung dalam peringatan Film Indonesia ini adalah Sejarah adalah Sekarang, yang hendak mempresentasikan sejarah perfilman Indonesia mulai dari zaman kemerdekaan sampai zaman kontemporer. Pada penyelenggaran itu, Kineforum akan memutarkan beberapa film-film klasik Indonesia. Intinya kita akan diajak bernostalgia menikmati hiburan film Indonesia yang telah lama berkembang semenjak Indonesia menggapai kemerdekaan.

Momentum Kebangkitan

Hari Film Nasional menjadi ajang pertaruhan dan momentum kebangkitan untuk mengapresiasi karya-karya insan film kita yang telah mengharumkan nama bangsa lewat dunia akting di layar kaca.Tanggal 30 Maret diambil pada hari pertama syuting film “Darah dan Doa “yang disutradarai Usmar Ismail pada 1950. Jadi, peringatan Hari Film ini sudah memasuki usia 60 yang boleh dibilang sudah matang.

Kita tidak bisa menyangkal bahwa dunia film adalah bagian dari industri yang selalu mengandalkan promosi, kecanggihan teknologi, maupun peningkatan intensitas produksi. Dari sisi industri, peran teknologi cukup dominan untuk membuat dunia perfilman lebih berkembang sampai mencapai puncak keemasannya. Saat ini, kita memang harus mengakui bahwa untuk membuat film berkualitas dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Bahkan tidak jarang, setiap produksi film bisa menghabiskan dana antara Rp 5 miliar-Rp 10 miliar.

Sejak tahun 2001 dunia perfilman Indonesia mulai menggeliat kembali setelah beberapa lama terpuruk tanpa produksi film. Kini, jumlah produksi film meningkat bahkan di tahun 2008 mencapai 87 film.Tahun 2009 saja produksi film sebanyak 100 judul, dan diharapkan kualitas film kita ke depan dapat makin baik. (Kompas, 30/3/2009).
Pada titik inilah, kita mengajak semua insan perfilman Indonesia untuk terus berkarya dan berkreativitas. Lebih bagus lagi jika bisa menghasilkan film-film Indonesia yang berkualitas. Dari segi kuantitas kita sudah mencapai target, lalu bagaimana dari segi kualitas film yang kita hasilkan?

Pertanyaan itu, menjadi momentum kebangkitan perfilman Indonesia agar senantiasa meningkatkan kualitas pelaku film dan cerita yang disuguhkan dapat memberikan pesan-pesan moral dan pembelajara bagi masyarakat. Hemat saya, film berkualitas adalah film yang mengandung pembelajaran tinggi dan memuat unsur-unsur hikmah sehingga memberikan pengaruh bagi masyarakat yang menikmatinya, bukan sekedar karya yang mengedepankan nilai ekonomi (komersil).

Sesaat kita memang telah terlena dengan membanjirnya film bertemakan mistis dan horor yang menggetarkan dunia perfilman kita. Semisal, film yang berjudul Hantu Jeruk Perut, Kuntianak, Pocong 2, 40 Hari Bangkitnya Pocong, Lentera Mera, Terowongan Casablanca, maupun Kesurupan. Rata-rata, dalam flim-film jenis itu membodohi dan tidak normal untuk sebuah estika logika.

Terlepas dari itu membanjirnya film-film mistis dan horor, kita patut bersyukur dengan hadirnya film bertemakan religius, perjuangan, maupun pendidikan yang niscaya kita apresiasi. Film-film tersebut adalah Kiamat Sudah Dekat, Naga Bonar Jadi 2, Mengejar Matahari, Gie, Issue, Get Married, Ayat-Ayat Cinta, Laskar Pelangi, Ketika Cinta Bertasbih, Garuda di Dadaku, King (dan mungkin sejumlah film yang lain). Tema yang diusung mampu mengangkat nilai-nilai pembelajaran (learning values) yang positif bagi penontonnya, namun tetap menghibur. Beberapa film bahkan mencetak rekor fantastis dari segi jumlah penonton dam penjualan CD.

Apresiasi

Patutlah kita bangga dengan kebangkitan perfilman Indonesia yang terus mengalami peningkatan tajam, baik dari aspek penonton, pendapatan, penghargaan maupun animo masyarakat terhadap kreatifitas dan kesenian insan film Indonesia. Di tengah hiruk politik yang semakin panas, dunia perfilman kita masih tetap eksis dan kreatif dalam menyuguhkan aroma hiburan yang menjadi pilipur lara bagi insan kaula muda dan masyarakat secara umum. Secara kasat mata, kita bisa mencermati kebangkitan film Indonesia melalui dari intensitas produksi film sampai pada peningkatan kualitas substansi film yang disuguhkan.

Agaknya, kita perlu memberikan apresiasi setinggi-tingginya dengan keberadaan perfilman Indonesia walaupun pada kenyataannya masih sulit bersaing dengan film-film kelas dunia yang telah menorehkan beragam prestasi, penghargaan, dan pengembangan kreatifitas seni pemain film itu sendiri.

Terlepas dari lesunya kualitas film itu sendiri, kita tidak boleh menyangkal bahwa jumlah produksi film Indonesia semakin meningkat tajam. Ini membuktikan bahwa dunia perfilman kita masih mendapatkan posisi strategis dan menjadi bagian dari entertainment yang menarik bagi masyarakat kita. Maka, posisikanlah karya film sebagai sebuah karya seni yang monomental bagi perkembangan dunia perfilman kita selanjutnya.

Mohammad Takdir Ilahi, Penikmat Film dan Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta.

Komentar