Konflik Agraria dan Sikap Otoritarian Penguasa

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Fenomena bentrokan dengan menampilkan amukan massa kembali terjadi di negeri ini. Kali ini tragedi bentrokan dengan jumlah massa yang cukup besar menjadi tontonan memalukan yang mencerminkan sikap arogansi dan egosentrisme yang berlebihan. Bentrokan yang melibatkan warga dan Satpol PP seolah-olah menjadi fenomena biasa dalam iklim demokrasi kita yang sangat menghargai kemajemukan dan semangat toleransi.
Sikap demokrasi yang ditampilkan bangsa ini masih terlalu jauh untuk mencapai titik sempurna, karena sebagian besar masyarakat lebih memilih menciptakan konfrontasi dan resistensi. Sementara semangat konsolidasi dan negoisasi yang menjadi cerminan etika demokrasi malah diabaikan begitu saja, sehingga pada akhirnya jalan kekerasan dan amukan massa menjadi pilihan.

Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana masa depan demokrasi kita ke depan yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah, saling menghargai, dan mengedepankan etika kesantunan dalam mengambil tindakan apa pun. Bentrokan antara warga dan aparat kepolisian di makam Mbah Priok, Kelurahan Koja, Jakarta Utara, Rabu (14/4/2010) merupakan potret buram kegagalan pemerintah dalam mengatasi persoalan sengketa tanah sehingga berujung pada perlawanan warga yang tidak menghendaki pemakamaan yang mereka anggap keramat digusur.

Kewalian Mbah Priok

Ketegangan yang melahirkan bentrokan berdarah tersebut, bermula saat ratusan warga dan santri yang berupaya mempertahankan tanah makam Mbah Priok sebagai seorang wali bagi mereka, sehingga pertikaian pun tidak bisa dihindarkan dengan petugas Satpol PP yang didukung oleh aparat polisi dan TNI. Secara serentak dan bersama-sama, warga yang di antaranya bersenjatakan bambu runcing, batu maupun sejumlah senjata tajam, pada akhirnya harus bertahan di dalam makam setelah petugas Satpol PP yang juga diperkuat petugas dari Departemen Perhubungan menerobos hujan lemparan batu dan perlawanan warga hingga berhasil berada di depan gerbang makam.

Pada titik inilah, saya mencermati sengketa tanah di sebuah pemakaman Mbah Priok adalah sebuah tontonan yang kurang menarik dan menimbulkan persepsi negatif di kalangan masyarakat. Seharusnya, dengan segala kebijakan politik maupun hukum, pemerintah sudah melakukan tindakan antisipatif untuk mencegah terjadinya bentrokan yang menimbulkan korban tewas dan luka-luka dari kedua belah pihak.

Bagi masyarakat kelurahan Koja, makam Mbah Priok bukan hanya merupakan tempat berziarah semata, melainkan juga sebagai monumen untuk mengenang kontribusi dan jasa-jasa Mbah Priok yang telah menyebarkan agama Islam di daerah mereka. Sebagai seorang ulama yang telah banyak berjasa, makam Mbah Priok perlu dijaga dan dilestarikan secara bersama-sama oleh masyarakat sekitar.

Terlebih lagi, ada rencana PT Pelindo II akan membangun bidang tanah terebut untuk pengembangan pelabuhan Tanjung Priok. Yakni sebagai tempat kegiatan bongkar muat peti kemas sebagai penunjang pertumbuhan ekspor maupun impor sesuai rencana induk pelabuhan dan untuk memenuhi syarat standar Internasional. Rencana itu, serentak membuat warga tidak terima dan berusaha mempertahankan pemakaman itu sampai titik darah penghabisan. Tidak heran, bila bentrokan pun tidak bisa dihindari sehingga mengakibatkan jatuhnya korban, sekitar 130 orang luka-luka, dan puluhan mobil dibakar.

Konflik Agraria

Bentrokan berdarah terkait dengan sengkata tanah merupakan bagian dari persoalan konflik agraria yang masih belum terpecahkan sampai sekarang. Sangat disayangkan, sengketa tanah yang seharusnya diselesaikan secara damai dan musyawarah berakhir dengan pilu dan sikap arogan dari aparat kepolisian yang terus memaksa untuk melakukan penggusuran.

Saya memahami bahwa konflik agraria di Indonesia sudah berlangsung cukup lama, tepatnya ketika masih dalam masa penjajahan Belanda. Konflik itu pun sampai saat ini masih terulang kembali dan belum ada tindakan penyelesaian secara arif, bijaksana, dan adil bagi masyarakat miskin. Bedanya, pada masa reformasi ini, kita menghadapi resistensi antara pemerintah dan rakyat jelata yang kurang memperoleh perhatian atas hak hidup mereka secara layak.

Menurut Mahkamah Agung, data empiris sengketa mengenai pertanahan di Indonesia cukup tinggi dibandingkan dengan sengketa lain dalam perkara perdata, baik di pengadilan tingat pertama maupun yang telah masuk ke MA. Rata-rata perkara perdata bidang pertanahan yang ditangani MA (2001-2005) tercatat 63% dari perkara perdata yang masuk ke MA (Muchsin, 2007).

Kita bisa mencermati bahwa secara umum konflik agraria berawal dari proses “negaraisasi” tanah-tanah yang sudah lama dikuasai dan didiami rakyat. Atas nama hak menguasai dari negara, pemerintah memberikan alas klaim atau hak pemanfaatan baru bagi badan-badan usaha. Padahal, rakyat juga memiliki hak untuk hidup secara layak dan pemerintah wajib menyediakan tempat tinggal tanpa harus ada pungutan biaya.

Perubahan Paradigma

Maka, sangat jelas bahwa akar konflik agraria saat ini adalah politik agraria yang dianut rezim pemerintahan yang berkuasa. Politik agraria jadi landasan perumusan dan pelaksanaan berbagai regulasi, peraturan perundang-undangan dan program pembangunan yang dijalankan pemerintah. Sepanjang dianut politik agraria yang kapitalistik, otoritarian dan represif, maka sengketa atau konflik agraria struktural akan terus terjadi.

Menghadapi kompleksitas konflik agraria yang semakin merajalela di berbagai sektor, sudah saatnya kita melakukan perubahan paradigma dan orientasi politik agraria nasional dari kebijakan yang represif dan otoritarian menuju kebijakan yang demokratis dan berkeadilan bagi semua warga.

Selanjutnya, diperlukan tindakan aksi bersama untuk menerapkan rasa keadilan substansial seperti yang disuarakan Prof. Satjipto Rahardjo, bagi para korban konflik agraria, sehingga hak-hak korban konflik agraria dapat dipulihkan, diberi kompensasi dan dilakukan restitusi atas hak asasi mereka yang merasa termarginalkan.


*Mohammad Takdir Ilahi,
Peneliti Utama The Annuqayah Institute Jogjakarta dan Staf Riset The Mukti Ali Institute Fakultas Ushuluddin UIN Jogjakarta.

Komentar