Refleksi Kritis atas Tragedi Priok:
Reformasi Agraria yang Berkeadilan
Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Tragedi Tanjung Priok yang menelan korban jiwa patut kita jadikan pelajaran berharga bagi semua pihak, terutama pemerintah agar segera mungkin melakukan reformasi agraria yang berkeadilan bagi rakyat jelata. Bentrokan berdarah di makam Mbah Priok itu, seolah-olah mencerminkan sikap eksploitatif, otoritarian, dan diskriminatif pemerintah terhadap korban politik agraria yang termarginalkan hak-hak hidupnya.

Tidak hanya itu, bentrokan berdarah yang menimbulkan korban jiwa semakin memberikan bukti nyata bahwa pemerintah sama sekali tidak memiliki rasa keadilan dan hati nurani bagi rakyat yang merasa menjadi korban dari kebijakan politik agraria pemerintah. Kendati, klaim tanah di makam Mbah Priok adalah milik PT Pelindo II, namun pemerintah tidak boleh mengabaikan hak-hak ahli waris yang sudah puluhan tahun mengelola dan melestarikan bangunan makam yang dianggap keramat itu.

Apa yang terjadi di Tanjung Priok, seolah-olah mengingatkan memori otak kita terhadap kebijakan politik agraria Belanda yang menelantarkan rakyat jelata sehingga mereka tidak bisa mengelola dengan baik sumber mata pencaharian utama bagi mereka. Rakyat hanya menjadi korban atas setiap kebijakan represif penjajah yang mengabaikan hak-hak asasi manusia dan menjungjung tinggi rasa keadilan demi memperoleh tempat tinggi dan sumber mata pencaharian yang layak dan memadai bagi keberlangsungan hidup mereka.

Kita bisa mengingat sejarah, bahwa sejak bumi pertiwi dijajah, rakyat jelata dihadapkan pada persoalan pelik terkait politik agraria kolonial Belanda yang menyengsarakan. Itu sebabnya, muncul perlawanan sengit dari kaum marginal melawan hegemoni tentara Belanda yang mengeksploitasi tanah rakyat tanpa perasaan. Namun, rakyat tidak bisa berbuat apa-apa, karena Belanda menerapkan sistem kerja paksa, yang disebut “Romusha”.

Pada titik inilah, masalah agraria merupakan masalah pokok dalam menunjang hidup rakyat Indonesia. Politik agraria kolonial Belanda yang menjajah bumi pertiwi tercinta, tidak saja berdampak sistemik atas hilanganya mata pencaharian rakyat, tetapi juga semakin mempertajam kemiskinan dan kesengsaraan.
Kita bisa mencermati bahwa secara terang benderang terkait ambruknya struktur fondasi pokok kehidupan mayoritas rakyat (desa) akibat politik agraria yang eksploitatif dan diksriminatif dalam rentang waktu yang cukup panjang sejak masa kolonial sampai dekade awal pasca proklamasi kemerdekaan.

Tanah, Konflik, dan Rasa Keadilan

Secara umum, politik agraria Belanda telah melenceng dari rasa keadilan rakyat. Setidaknya, ada tiga rumusan yang melahirkan ketegangan-ketegangan antara kaum feodal, kolonial Belanda, dan rakyat jelata, yakni “land, conflict, and justice”.

Itulah mengapa, Avery Kollers (2009), mengatakan bahwa kebijakan birokrasi agraria yang dijalankan harus menghindari potensi konflik-konflik agraria yang ada di sekitar kita. Kebijakan itu juga sebisa mungkin mampu memperkuat struktur penguasaan, pemilikan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria yang egaliteral dan berkeadilan bagi seluruh rakyat.

Sejalan dengan analisis tersebut, maka persoalan agraria (tanah) adalah persoalan kronis yang menyangkut kelangsungan hidup, karena tanah adalah asal dan sumber makanan bagi manusia. Dengan kata lain, perebutan tanah berarti berebut makanan sehingga kerapkali manusia rela mengorbankan darah demi mempertahankan hak hidup selanjutnya.

Kita masih ingat dengan pujangga ilmu jiwa, Freud, yang mengatakan bahwa soal pokok(fundamental) hidup manusia adalah mempertahankan hidup dan mempertahankan keturunan (zelfbehond dan soortbehond). Demi mempertahankan hidup, orang berjuang untuk mendapatkan makanan dan memperkuat ketahanan keluarga mereka masing-masing, sehingga tidak salah ketika muncul adagium yang berbunyi “sanyari bumi sadumuk batuk, ditohi tekaning pati”.

Zaman Feodal dan Kolonial

Pada zaman kekuasaan raja-raja, hukum tanah yang berlandaskan sistem feodalisme telah berlaku di berbagai daerah di Indonesia.Semisal, di daerah Kerajaan Mataram, yaitu Surakarta dan Yogyakarta sekarang, serta daerah-daerah sekitarnya. Pendek kata, politik tanah dipegang penuh oleh Sultan dan Sunan (kagungan dalem), sementara rakyat hanya berhak meminjam (wewenang anggaduh).

Tidak berlebihan bila sistem feodalisme di Indonesia sampai saat ini pun masih bergentangan dan mewarnai sendi-sendi kehidupan masyarakat. Kita sadari, bahwa masyarakat feodalisme merupakan wajah perbudakan dalam hal ekonomi, politik, dan sosial. Wajah perbudakan ini ditampilkan melalui politik tanah oleh sang raja. Apalagi, wajah perbudakan ini diselubungi oleh kata-kata “manunggaling kawula-gusti” (persatuan antara raja dan rakyat, dimana raja dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi).

Akan tetapi, ketika penaklukkan raja-raja oleh Belanda, sejak zaman Kompeni (VOC), maka berarti hal itu menunjukkan perampasan atas kekuasan raja. Dimana hak raja atas tanah dan tenaga rakyatnya tidak lebih sebagai kekuasaan de jure, sedang kekuasaan de facto ada pada pegawai-pegawai raja di bawahnya.

Salah seorang raja Belanda yang cukup familiar di kalangan masyarakat kita adalah Reffles. Reffles menerapkan politik agraria yang merugikan rakyat jelata dengan menarik sewa tanah (landrente) atas dasar tafsiran bahwa semua tanah yang ada di tangan rakyat adalah milik raja. Setelah raja ditaklukkan, maka jatuhlah hak raja itu kepada kekuasaan pemerintahan Belanda. Tidak heran, bila politik agraria yang dijalankan oleh Hindia Belanda sebagian besar didasarkan atas teori Reffles tentang hak milik tanah (domein theorie).

Mengedepankan Rasa Keadilan

Kita mendamba kebijakan pemerintah (khususnya birokrasi agraria) sesuai dengan keinginan rakyat dan diharapkan bisa menjadi kekuatan sosial yang mampu mempertahankan perwujudan kemakmuran dan kesejahteraan bagi petani miskin di pedasaan, sehingga mereka tidak hanya menjadi objek eksploitasi, penindasan, dan penaklukkan oleh kaum feodal.

Pada titik inilah, Mochammad Tauchid (2009) mengatakan bahwa rakyat jelata pada waktu itu semakin menderita akibat-akibat penguasaan tanah, produksi pertanian, dan kesejahteraan para petani yang terabaikan. Apalagi dengan kebijakan struktural, politik, dan hukum agraria yang merupakan warisan feodalisme dan kolonialisme tidak pernah memberikan rasa keadilan dan keberpihakan.

Itulah sebabnya,untuk memastikan keberpihakan setiap kita para pembaca, termasuk jajaran birokrasi agraria agar dengan suka rela memperjuangkan bangunan keindonesiaan yang dapat menyokong penguasaan dan pengusahaan sumber-sumber agraria bagi kemakmuran rakyat (amanat fasal 33 UUD 1945).

*Mohammad Takdir Ilahi,
Peneliti Utama The Annuqayah Institute Jogjakarta dan Staf Riset The Mukti Ali Institute Fakultas Ushuluddin UIN Jogjakarta.

Komentar