Pudarnya Romantisme Kekerabatan di Yogya

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Selain dikenal sebagai kota budaya dan pendidikan, Yogya juga dikenal sebagai kota metropolitan yang mencerminkan kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan. Kota metropolitan memberikan landasan bahwa kota itu sudah menerima kehadiran modernisasi dan globalisasi yang membawa perubahan signifikan bagi kemajuan masyarakatnya. Kehadiran globalisasi di tengah-tengah masyarakat Yogya, ternyata membawa malapetaka bagi romantisme kekerabatan yang telah terjalin sejak lama.

Tulisan ini hendak memberikan kesadaran bagi masyarakat Yogya agar tidak mudah tergiur dan terbuai dengan romantisme kemajuan yang ditawarkan antek-antek kapitalis. Itulah sebabnya, saya mencoba meneliti lebih jauh potret kekeberatan masyarakat Yogya, terutama antara penghuni kos dan pemilik kos. Setelah sekian lama tinggal di Yogya, saya merasakan perubahan yang cukup menonjol di kalangan masyarakat Yogya sendiri ketika menerima kehadiran anak-anak kos yang hendak menimba ilmu pengetahuan di Yogya.

Ketika masa-masa awal kuliah di Yogya, saya merasakan romantisme kekerabatan masih sangat kental dan tetap dipertahankan di tempat-tempat kos. Antara penghuni dan pemilik kos masih terjalin ikatan kekeluargaan yang cukup erat sehingga memberikan kenyamanan dan ketenangan kepada saya sendiri bila sedang belajar. Akan tetapi, ditengah gempuran modernitas dan globalitas, iklim kekerabatan dan kekeluargaan mengalami kerenggangan, bahkan boleh dibilang menurun tajam.

Sikap Individualistik

Iklim tegur sapa dan sekedar menanyakan perkembangan kuliah, makin jarang terjadi. Sementara sikap acuh tak acuh antara penghuni dan pemilik kos makin kental sekali sehingga menyebabkan kesenjangan dan ketimpangan di tempat kos. Terjadinya kerenggangan tersebut, tidak bisa lepas dari sikap individualistik yang tumbuh berkembang di lingkungan kos. Apalagi, ikatan kekerabatan tidak lagi dijadikan landasan fundamental guna menjalin kekuatan persaudaraan antar sesama.

Sikap indivudualistik menyebabkan setiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri. Sementara kepentingan orang lain berada di luar tanggung jawabnya. Padahal, kita hidup sebagai mahluk sosial yang pasti membutuhkan bantuan orang lain. Jika kesenjangan terus menerus berlangsung di tempat kos, maka hal itu menunjukkan bahwa tradisi yang telah lama kita bangun di Yogya benar-benar pudar dan tenggelam.

Sebagai kota yang masih menjaga nilai-nilai kearifan lokal, Yogya seharusnya bisa mempertahankan predikat ini sampai kapan pun. Dalam artian, mempertahankan tradisi lama lebih penting daripada terbuai oleh rayuan konsumerisme, kapatalisme, dan hedenonisme yang telah merasuki kalangan muda di Yogya. Kita tidak boleh termakan rayuan kemewahan maupun sikap pragamatis yang hanya mengorbankan tradisi lokal dan identitas jati diri kita sebagai kota pendidikan, budaya, dan religius.

Sikap individualistik yang mengakar kuat di tempat-tempat kos, semakin memperlebar keakraban yang seharusnya terjalin kuat. Di tengah gempuran modernitas, semua pihak sejatinya bertanggung jawab agar memperkuat iklim persaudaraan dan kekerabatan di antara sesama, apalagi di lingkungan kos.

Belajar dari Sistem Pesantren

Pudarnya ikatan kekerabatan antara penghuni dan pemilik kos, menjadi pelajaran berharga bagi kita semua agar tetap mempertahankan tradisi lama, layaknya sistem yang ada di pesantren. Ketika seorang anak hendak belajar di pesantren, orang tua terlebih dahulu memasrahkan (menitiptkan) anak mereka untuk dibimbing dan dididik dengan baik.
Istilah menitipkan anak dalam sistem pesantren, berarti memberikan kepercayaan dan keyakinan penuh kepada seorang kiai (pimpinan pesantren) guna mengikuti seluruh peraturan yang ada di pesantren tersebut. Ketika itulah, antara kiai dan santri terjalin ikatan emosional yang sangat kuat, layaknya orang tua dan anak.

Sisitem inilah yang seharusnya diterapkan di lingkungan kos, apalagi di kota metropolitan. Dalam artian, setiap orang yang kos harus dipasrahkan (diserahterimakan) orang tuanya kepada pemilik kos. Bahkan, sangat diperlukan setiap anak yang kos diminta memperkenalkan orang tuanya. Tradisi ini hampir tidak ditemuai lagi di Yogya yang semakin urban, metropolis, dan metropolitan. (Kompas, 23/3/2010).

Bila orang tua telah menitipkan anaknya langsung kepada pemilik kos, maka anak tersebut harus mematuhi segala peraturan yang diterapkan di lingkungan kos. Demikian pula dengan pemilik kos, harus memiliki kepedulian untuk mengarahkan dan memberikan nasehat bila melanggar peraturan sesuai dengan kesepakatan yang telah tertulis. Pemilik kos juga berkewajiban menanyakan perkembangan studi mereka agar orang tua bisa tahu mengenai aktifitas belajar yang telah ditempuh seorang anak.

Saya memahami bahwa fenomena memudarnya ikatan kekeluargaan di tempat kos merupakan bagian dari tantangan zaman. Dengan kata lain, gempuran modernitas telah memberikan tekanan luar biasa bagi sikap, perilaku, karakter, dan pola pikir masyarakat kita sekarang ini. Tekanan modernitas itu membawa perubahan mindset kita yang terbingkai dalam paradigma instan dan ambivalen. Akibatnya, sikap individualistik semakin tampak menghantui lingkungan kita sekitar sehingga ikatan kekerabatan pun perlahan-lahan pudar-untuk tidak mengatakan hilang sama sekali.

Akan tetapi, yang perlu kita sadari bahwa kita hidup ditengah masyarakat yang majemuk dan multibudaya. Oleh karena itu, kenyataan ini harus menjadi pelecut semangat bagi kita untuk memperkuat integrasi dan sinergitas agar terjalin dengan seimbang dan berkelanjutan. Sudah saatnya, kita bulatkan tekad dan jernihkan hati serta pikiran untuk merancang bangunan keindonesiaan yang sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal kita.

Sejak sekarang, kita mencoba menghilangkan sikap individualistik demi memperkuat ikatan emosional dan kekerabatan kita. Dalam artian, kita harus membangun persatuan dan kesatuan nasional baik yang bernuansa struktural maupun kultural (solidaritas sosial), sebab bangsa ini bukan didirikan atas dasar falsafah primordialisme, melainkan atas dasar rasa penderitaan yang sama (sense of common suffering).

Mohammad Takdir Ilahi, Peneliti Utama The Annuqayah Institute Jogjakarta, Sedang Studi Perbandingan Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Komentar